.
Monday, December 16, 2024

Dilema Social Commerce

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Aneka platform media sosial (medsos) yang digunakan sebagai sarana berdagang kini semakin marak. Beragam platform medsos yang semula digunakan sebagai media pertemanan, kini menjelma jadi ajang jual beli. Namanya social commerce (s-commerce), yakni model berdagang lewat medsos. Cara ini jadi dilema. Di satu sisi, banyak yang diuntungkan, namun s-commerce ternyata dapat mengancam keberlangsungan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Seperti dua sisi mata pisau, s-commerce bisa digunakan banyak orang, termasuk UMKM dalam menjalankan bisnisnya. Namun, ternyata barang yang laku dijual adalah kebanyakan aneka produk import, tak banyak produk UMKM. Aneka produk asing itu dijajakan dengan harga yang super murah. Pelan namun pasti, cara ini tentu berbahaya bagi keberlangsungan pedagang kecil dan menengah di tanah air.

Salah satu s-commerce yang banyak digunakan adalah TikTok. TikTok yang awalnya sebagai sarana hiburan penggunanya dalam bernyanyi dan berjoget, kini bertransformasi sebagai sarana jual beli. Alih-alih pakai electronic commerce (e-commerce), seperti Tokopedia, Lazada, Shopee, Blibli, Bukalapak, kini banyak penjual dan pembeli tergiur pakai s-commerce.

Menurut Teten Masduki, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, saat ini terdapat 64,2 juta pelaku UMKM. Sebanyak 97 persen tenaga kerja Indonesia di sektor usaha kecil dan mikro. Mayoritas UMKM ada di bidang kuliner, yakni sebesar 65 persen. Belum semua UMKM sudah go online, sekitar 22 juta UMKM yang menggunakan platform perdagangan digital.

Pengguna aneka platform media sosial di Indonesia sangat besar. Orang yang men-download dan menggunakan TikTok saja ada 113 juta, belum akun medsos yang lain. Indonesia tercatat sebagai negara terbesar kedua di dunia sebagai pengguna TikTok saat ini. Awalnya para pengguna TikTok untuk tujuan mencari hiburan dan pertemanan, namun saat ini lewat medsos itu telah juga berfungsi sebagai sarana perdagangan.

Diuntungkan dan Dirugikan

Tak bisa dipungkiri bahwa banyak pelaku usaha tanah air yang telah memanfaatkan s-commerce dalam bisnisnya. Penjual (seller) di TikTok misalnya, ada sekitar 6 juta penjual dengan omzet perdagangan mencapai Rp 8-9 triliun per bulan. Memang ada yang diuntungkan dari TikTok shop, tetapi banyak juga yang dirugikan karena algoritma TikTok lebih mengarahkan produk-produk asing (Tiongkok), bukan produk UMKM.

Dalam perdagangan lewat s-commerce memunculkan profesi baru. Di TikTok misalnya, ada yang namanya afiliator. Afiliator adalah pengguna TikTok (content creator) yang mempromosikan produk dari penjual di TikTok shop. Rantai perdangan melalui s-commerce meliputi seller-afiliator-buyer. Tak sedikit orang yang menjadi afiliator di Tiktok shop di Indonesia, terutama dari kalangan artis dan influencer.

Peran para afiliator ini terbilang cukup besar. Lewat acara live di TikTok dan sejumlah platform media sosial yang lain seperti Instagram atau Facebook, para afiliator mampu menjual barang dengan omzet miliaran dalam sekali siaran langsung. Para afiliator ini mendapatkan bayaran 10 persen komisi dari penjualan produk. Jadi munculnya s-commerce dapat menguntuhkan para afiliator.

Salah satu yang menjadi daya tarik transaksi lewat s-commerce karena ada faktor kedekatan antara afiliator dengan para pembelinya. Karena kebanyakan afiliator adalah para figur publik dan influencer yang memiliki penggemar (subscribers) sangat banyak. Lewat para afiliator itu banyak pembeli yang terhipnotis, hingga aneka barang yang ditawarkan laris manis.

Para afiliator ini tak semuanya menjajakan produk dalam negeri. Justru banyak produk-produk asing yang banyak ditawarkan dan laku keras. Banyak barang dijual dengan harga super murah. Bahkan telah terjadi yang namanya jual rugi (predatory pricing), yakni penjualan barang di bawah harga pokok. Predatory pricing jelas dapat menciptakan ekosistem dan iklim perdagangan yang tidak sehat.

Para pemilik s-commerce seperti TikTok juga dapat melakukan pengendalian algoritma. Para afiliator juga tak bebas bergerak karena mereka juga harus menjajakan aneka produk asing pilihan platform s-commerce-nya. Jika para afiliator tak menjual produk-produk asing maka akan terkena shadow banned yakni penyebaran konten mereka akan dibatasi bahkan disembunyikan sama sekali oleh pemilik platform s-commerce.

Mengunci Ruang Social Commerce

Kemunculan s-commerce berpotensi merugikan banyak pihak, selain ada juga yang diuntungkan. Dalam jangka panjang, kalau praktik perdagangan seperti yang diterapkan s-commerce terus berlanjut maka bisa berbahaya. Banyak pihak yang dirugikan. Negeri bisa kehilangan sumber pemasukan dari sektor pajak barang. Barang yang masuk ke Indonesia juga tanpa melalui standar mutu dalam negeri atau SNI.

Dalam kasus TikTok Shop telah terjadi penguasaan dan monopoli. Bahkan bisa jadi nanti barang bisa langsung (direct) dijual dari pabrik langsung ke pembeli. Apalagi juga ada peluang pengelola platform perdagangan akan sekaligus dapat dapat melakukan produksi barang hingga penyelenggaraan pembayarannya. Kalau benar rencana “Project S” TikTok terjadi maka akan merusak ekosistem perdagangan di Indonesia.

Pemerintah telah resmi mengunci model bisnis s-commerce seperti TikTok Shop untuk berjualan. Aturan itu ditetapkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).

Fungsi medsos dan e-commerce dipisah. Permendang Nomor 31 Tahun 2023 melarang adanya penyatuan bisnis antara medsos dengan e-commerce yang disebut sebagai s-commerce. S-commerce hanya diperbolehkan sebagai sarana untuk memberikan penawaran barang dan atau jasa, bukan transaksi secara langsung di platform. PPMSE dengan model bisnis s-commerce dilarang memasilitasi transaksi pembayaran pada sistem elektroniknya.

Per 4 Oktober 2023, TikTok Shop resmi ditutup pukul 17.00 WIB.  Berdasarkan rilis resmi yang dikeluarkan oleh TikTok, s-commerce ini menghormati dan mematuhi peraturan dan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebanyak 13 juta pengguna TikTok yang terdiri dari 6 juta penjual dan 7 juta kreator kehilangan peluang untuk meraup pendapatan dari platform TikTok. Sesungguhnya penutupan s-commere TikTok ini memang dilema.

Munculnya s-commerce sesungguhnya adalah disrupsi bagi perusahaan teknologi yang bergerak di bidang bisnis. Kita memang tak boleh anti inovasi. Revolusi teknologi memang bisa menghasilkan kesejahteraan, tetapi juga bisa melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan. Kita perlu bijak memanfaatkan teknologi dan mengantisipasi disrupsi teknologi berikutnya.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img