Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si
MALANG POSCO MEDIA – Santri sebagai pemuda pesantren menjadi entitas yang tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi keagamaan, menjadi organisasi besar di antara kelompok modernis maupun pihak Belanda. Sesuai dengan visi dan misi NU, bahwa NU tetap konsisten dalam mengembangkan sosial keagamaan, NU terus berbenah diri dengan cara membangun sayap-sayap yang menjadi corong dalam pengembangan organisasi NU.
Pada 1929, tiga tahun setelah berdirinya NU, lembaga al-Ma’arif didirikan yang concern pada pengembangan institusi pendidikan di bawah naungan NU. Menurut Greg Fealy, kiprah NU yang paling berhasil dalam kurun waktu 1926-1930 adalah bidang pendidikan. Banyak cabang besar NU yang mendirikan madrasah dan menambah jumlah pesantren.
Metode pengajaran dan kurikulum juga beragam, tetapi sebagian besar masih mengombinasikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Sistem pangajarannya juga sama dengan sekolah-sekolah modernis. Meskipun output yang dihasilkan masih kalah dengan sekolah-sekolah modern.
Dalam bidang ekonomi, NU melanjutkan misi dari Nahdhatul Tujjar (kebangkitan pedagang), salah satu organisasi yang menjadi embrio berdirinya NU, dengan cara mendirikan koperasi pada 1937 yang mewadahi praktik dagang bagi kalangan petani, buruh yang kemudian dikenal dengan nama Syirkah Mu’awanah.
Hanya saja, karena sebagian besar dari anggota NU berasal dari ekonomi lemah, bukan kumpulan pemilik modal sebagaimana halnya Syarikat Islam, maka perputaran ekonominya juga menjadi kecil. Maka tidak heran, kalau NU pada masa awalnya tidak memiliki basis dana yang kuat karena pemasukan dari iuran anggotanya juga sangat kecil.
NU dalam hubungannya dengan aspek gender, selama dua belas tahun pertama, keanggotaan NU hanya untuk pria. Wanita boleh saja datang pada pertemuan-pertemuan NU tetapi tidak memiliki suara dan diberikan tabir. Dengan kata lain, wanita masih dalam posisi inferior di hadapan laki-laki. Keterbukaan kepada partisipasi politik perempuan di NU terbuka ketika para wanita mengancam untuk bergabung di Aisyiah, organisasi Perempuan Muhammadyah. Ancaman para wanita tersebut, yang sebagian besar dari kalangan berpengaruh terutama dari keluarga Kiai, ternyata berhasil.
Pada 1938, akhirnya wanita diperbolehkan menjadi anggota, hanya saja belum diberikan hak untuk menduduki jabatan. Perjuangan para wanita tersebut terus berlanjut untuk diberikan badan otonom yang bertanggung jawab langsung kepada Pengurus Besar. Akhirnya pada tahun 1946, satu tahun sebelum meninggalnya Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari, maka dibentuklah sebuah divisi wanita yang diberi otonomi bernama Muslimat NU.
Politik Pasang Surut
Prestasi-prestasi di atas tentu saja tidak boleh dilepaskan dari peran Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari, yang waktu itu duduk sebagai pimpinan NU. Keterbukaannya kepada pendapat orang lain serta dedikasi dan integritasnya dalam membangun umat, terutama kelompok yang dicap tradisional, telah memberikah ghirah tersendiri terhadap NU sebagai representasi kelompok tradisional. Hanya saja, NU dalam hubungannya dengan aspek politik mengalami pasang surut sebagaimana pasang surutnya hubungan antara kelompok tradisional dan kelompok modernis.
Kondisi ini kemudian memunculkan tuduhan bahwa NU pada awalnya cenderung akomodatif terhadap pemerintah Hindia Belanda. Tuduhan ini muncul ketika anggaran dasar NU sama sekali tidak menyebutkan tujuan didirikannya NU untuk melawan penjajah.
Bahkan dalam muktamarnya pada 1938, NU menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda adalah Dar al Islam artinya negeri yang dapat diterima umat Islam. Alasan NU pada waktu itu adalah penduduk muslim dapat melaksanakan syariat. Syariat dijalankan oleh para pegawai yang juga muslim dan negeri ini dulu dikuasai oleh raja-raja muslim.
Akan tetapi, sikap seperti ini tidak mengindikasikan pemihakan kepada penjajah. Setahun sebelum NU dilahirkan, KH. Abdul Wahab Hasbullah, bahwa kemerdekaan adalah tujuan utama karena Islam tidak akan leluasa sebelum kita merdeka. Tindakan anti penjajah juga tampak pada Pesantren Tebuireng, dimana Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari menjadi pimpinannya, pada setiap hari Kamis, santri menyanyikan lagu kebangsaan setelah mata pelajaran berakhir. Demikian juga buku-buku yang dilarang oleh Pemerintah Belanda beredar bebas di Pesantren. Bahkan santri dilarang memakai topi, dasi dan sepatu kalau itu dijadikan simbol keangkuhan pemerintah Belanda.
Sikap politik Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang cenderung akomodatif terhadap penguasa yang waktu pemerintah Hindia Belanda sebenarnya berasal dari doktrin politik sunni sebagaimana yang dikembangkan oleh al-Mawardi dan al-Ghazali.
Doktrin ini muncul mengingat kondisi umat Islam pada waktu itu mengalami kemunduran dan tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan. Prinsip inilah kemudian yang diadaptasi oleh Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari dengan cara bermitra dengan pemerintah baik yang muslim maupun yang non muslim.
Sembari mendukung penguasa pada waktu itu, Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari tetap menyerukan pentingnya persatuan umat Islam baik dari kelompok tradisional maupun dari kelompok modern. Ajakan persatuan ini disampaikannya dalam berbagai forum, dan puncaknya ketika tampil dalam muktamar NU yang kesebelas di Banjarmasin.
Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari menyerukan perdamaian antara kaum tradisional dan kaum modernis. Di mana dalam dunia politik Islam pada waktu itu tensi antara tradisional dan modernis meningkat. Ajakan Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari mendapat pujian dari tokoh modernis Buya Hamka dengan mengatakan bahwa pidato ini tidak saja penting bagi kalangan NU bahkan untuk seluruh umat Islam baik yang hidup pada waktu itu maupun orang-orang setelah meninggalnya Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Mempertahankan Kemerdekaan
Dalam konteks politik, Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari juga prihatin dengan kondisi politik umat Islam pada waktu itu. Ia sedih dengan banyaknya orang yang menjadikan Islam sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Agama dijadikan tameng untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu. Ia selanjutnya membandingkan dengan kondisi politik ketika itu dengan masa pemertintahan awal Islam.
Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari mencontohkan bagaimana Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar As Shidiq ra dan Umar bin Khotob ra mengarah kepada tiga tujuan pokok; (1) Memberi persamaan bagi setiap muslim, (2) Melayani kepentingan rakyat dengan jalan perundingan, (3) Menjaga keadilan.
Ia menyatakan lebih lanjut bahwa bentuk pemerintahan Islam tidak ditentukan. Ketika Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, beliau tidak meninggalkan pesan apapun mengenai bagaimana memilih kepala Negara. Jadi, pemilihan kepala negara dan banyak hal lagi mengenai kenegaraan tidak ditentukan, tidak terikat untuk mengikuti sistem. Semua sistem dapat dilaksanakan pada masyarakat Islam sesuai kondisi masyarakat setempat.
Meskipun dicap sebagai kelompok tradisional, tetapi pikiran-pikiran kaum santri sudah modern. Gagasan NU yang dalam perjalanan politiknya tidak pernah ingin berjuang untuk mendirikan negara Islam. Dalam konteks politik praktis, pemuda pesantren mulai terlibat dalam sebuah konfederasi umat Islam yang kemudian dikenal dengan Majelis Islam A’la Indonesia.
Keterlibatan NU sebagai organisasi pemuda pesantren merupakan langkah pertama dalam menentukan posisi terhadap penjajahan Belanda menjelang perang dunia II. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim mendorong pemuda pesantren seperti Mahfud Shiddiq dan Wahid Hasyim (putra Kiai Hasyim) untuk ikut bergabung di GAPI (Gabungan Politik Indonesia).
Mereka mewakili NU di MIAI. Setelah MIAI bubar, Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Organisasi ini beranggotakan anggota Muhammadiah dan NU. Organisasi ini dibentuk oleh Pemerintah Jepang. Dalam Masyumi, Kiai Hasyim sebagai Presidennya sementara putranya Wahid Hasyim dan Mas Mansur (Muhammadiyah) sebagai wakil Presidennya yang berkedudukan di Jakarta. Kiai Wahab dan Ki Bagus Hadikusumo, masing-masing ketua NU dan Muhammadiah menjadi penasehat eksekutif Masyumi.
Kiprah pemuda pesantren tidak berhenti sampai di situ, organisasi kaum santri ini juga intens pada persiapan kemerdekaan. Pemuda pesantren melalui NU, bahkan turut andil atas terpilihnya Soekarno sebagai calon Presiden pada waktu itu mengalahkan Muhammad Hatta dengan perbandingan sembilan banding satu.
Dan puncak perlawanan kaum santri adalah ketika Belanda kembali lagi datang menjajah Indonesia. Kemudian dikeluarkanlah fatwa yang kemudian dikenal dengan resolusi jihad yang dikeluarkan pada bulan Oktober 1945 yang isinya antara lain bahwa Kemerdekaan Indonesia harus dipertahankan.
Fatwa ini tentu saja mematahkan pendapat yang mengatakan bahwa NU tidak pernah kooperatif terhadap penjajah. Kalaupun dia bermitra, itu adalah bagian dari strategi melawan penjajah. Demikianlah sekelumit peran, perjuangan pemuda pesantren. Begitu banyak prestasi yang telah diukir santri sebagai pemuda dalam lembaran sejarah bangsa. Lika-liku perjuangannya tertanam dalam sanubari generasi-generasi pesantren hingga saat ini.(*)