Tahapan pencoblosan Pemilihaan Umum (Pemilu) 2024 akan segera diselenggarakan pada 14 Februari 2024 mendatang. Seluruh Partai Politik (parpol) peserta pemilu 2024 tampak mulai memanaskan mesin politiknya agar tampil prima dalam menjemput kemenangan pemilu 2024. Secara umum pola wait and see masih dilakukan oleh masing-masing parpol dalam menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Fenomena ini tentu menjadi realitas politik yang patut dibaca secara serius jika tidak ingin dilumat oleh pragmatisme politik yang suka hadir tiba-tiba. Sejarah segar dalam ingatan kita, bagaimana pemufakatan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) dalam komposisi 3 partai politik (Nasdem, PKS, Demokrat) yang sudah menandatangani nota kesepakatan pada 24 Maret 2023 remuk dan gagal berlayar justru melahirkan narasi pengkhianatan.
Ruang Pragmatisme Politik
Saksi bisu, Hotel Yamato Surabaya pada 2 September 2023 adalah salah satu bukti nyata bagaimana politik bekerja dengan sangat pragmatis demi tujuan kemenangan pemilu 2024. Kalkulasi pragmatis yang dilakukan Anies Rasyid Baswedan dan Surya Paloh dengan memilih Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai calon wakil presiden (cawapres) telah membuat dentuman politik dahsyat yang menekuk Demokrat untuk keluar secara terhomar dari KPP.
Ilmuwan Politik Harold Dwight Lasswell sudah sangat awal mendefinisikan bagaimana politik bekerja dalam pernyataan terkenalnya who gets what when and how (politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana). Situasi ini memang bersesuaian dalam realitas politik tanah air yang rentan terpapar perubahan cuaca politik yang hampir tak terduga.
Ruang-ruang pragmatisme politik itu mendasarkan pada kalkulasi kemenangan semata, sehingga rentan mendapatkan resistensi dari mereka yang masih memegang erat fatsun politik dalam praktik taat etika politik. Realitas politik yang seperti ini telah melahirkan dan menyodorkan kalkulasi pragmatis ke hadapan publik yang mendahului kalkulasi etis dan melanggengkan pertentangan dialektis politik yang abadi.
Kehadiran Kaesang Pangarep yang diluncurkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai Ketua Umum adalah salah satu contoh lain dari bagaimana pragmatisme politik bekerja. Tanpa mengurangi rasa hormat, secara pengalaman Kaesang tentunya tak memiliki jejak-jejak gemilang dalam dunia politik. Tetapi gerakan PSI yang penuh kejutan ini telah mengorbitgkan putra bungsu Jokowi hadir sebagai salah satu tokoh yang diperhitungkan dalam ruang politik nasional.
Secara sederhana dapat digambarkan bahwa kehadiran Kaesang sebagai ketum PSI adalah latar belakang kuat sebagai Putra Jokowi. Kaesang menjadi istimewa karena posisi bapaknya sebagai presiden, jika bukan, maka Kaesang hanyalah anak-anak muda biasa yang harus menapaki karir politik dengan sangat berdarah-darah dan berdiri antri dari posisi paling belakang.
Situasi ini tentu merubah pola-pola politik yang dipenuhi dengan senioritas politik yang sudah pakem dipraktikkan. Meski demikian, posisi Kaesang bukanlah tanpa masalah dalam menghadapi badai politik masa depan PSI yang pasti terjadi. Hal ini dikarenakan Kaesang tak memiliki akar tunggang yang kuat untuk menari di arena politik setelah Jokowi lengser.
Secara kapasitas, Kaesang memang tidak memiliki wawasan kepemimpinan yang lengkap, sehingga kalangan yang kontra akan menganggap Kaesang adalah anak ingusan yang tak pernah berproses di PSI secara tertib.
Merebut Pemilih Nahdiyin
Peta politik koalisi parpol yang mengusung capres dan cawapres memang terlihat sudah sangat solid. Tiga pasangan Capres-cawapres sudah ditetapkan dan sudah diambil pengundian nomor urut. Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar nomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor 2 dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD nomor urut 3.
Semakin dekatnya Pemilu Februari 2024 mendatang, dipastikan akan membuat ruang-ruang pragmatisme politik akan terbaca dengan jelas. Koalisi Prabowo Subianto yang di dalamnya ada Golkar, PAN Gerindra, Gelora, Prima, Garuda dan Demokrat tampaknya masih saling rayu agar kepentingan parpol pengusung mulus diterima tanpa gesekan antar parpol pengusung Prabowo.
Prabowo juga harus mampu belajar membaca kepentingan partai pengusung jika Koalisi Indonesia Maju (KIM) tidak gagal berlayar seperti karamnya perahu perjuangan politik KPP. Pertimbangan merebut pemilih nahdiyin memang cukup terasa dalam kalkulasi politik, mengingat jumlah pemilih terbesar sangat terfokus di pulau Jawa.
Tiga capres-cawapres ini memang harus benar-benar matang dalam menentukan kalkulasi pemilihnya. Kalangan nahdliyin sebagai mayoritas penduduk di Indonesia memang menjadi prioritas ketiga capres-cawapres ini dalam memenangkan pertarungan di Pemilu 2024 mendatang. Siapa yang cerdas dan cakap memenangkan hati mereka, dialah pemenangnya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada, Minggu 2 Juli 2023 telah menetapkan 204.807.222 pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024. Penetapan DPT itu telah memberikan gambaran awal bagaimana kemenangan akan disumbangkan oleh tiga provinsi dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia.
Jawa Barat menjadi provinsi terbesar pertama dengan total pemilih mencapai 35.714.901 pemilih. Kedua, Jawa Timur sebanyak 31.402.838 pemilih. Ketiga, Jawa Tengah sebanyak 28.289.413 pemilih, disusul akumulasi pemilih di Provini Banten dan DKI Jakarta sekitar 17.095.543 pemilih. Itu artinya terdapat sekitar 55 persen pemilih bermukim di Pulau Jawa, sebuah angka besar yang akan menjadi kompas dalam memandu koalisi partai politik peserta pemilu untuk memenangkan pemilu 2024 mendatang.(*)