Masih tentang pertanian. Kunjungan ke Kantor Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Malang, menarik untuk diulas lebih lanjut.
Terkhusus tentang sumber daya manusia, yaitu petani. Berbicara tentang pertanian, maka petani adalah tokoh sentralnya. Ternyata ada problem serius, perihal regenarasi petani.
Kebetulan, saya sebagai alumni Fakultas Teknologi Pertanian UB, sedikit banyak memahami tentang urusan yang satu ini. Bahkan pernah satu tahun ‘kuliah’ di Fakultas Pertanian.
Minimnya minat generasi muda untuk jadi petani, tak bisa dipandang sebelah mata. Karena tidak lucu, Indonesia sebagai negara agraris, harus sampai kehabisan petani.
“Tahun lalu, target produksi tebu Kabupaten Malang 3,9 juta ton, sampai akhir November baru 3 juta ton yang terpanen,” info Kepala DTPHP Kabupaten Malang, Avicenna Medisica Saniputera.
Artinya kurang 900 ribu ton belum terpanen, kendalanya buruh tani untuk panen yang kebanyakan sudah lanjut usia. Produksitivitas mereka terbatas, regenarasi tidak jalan.
“Akhir November, pabrik gula itu harusnya tutup, akhirnya terpaksa molor sampai Desember, nunggu panen tebu selesai,” lanjut Pak Kepala Dinas saat dialog di ruang kerjanya.
Misal tak terpanen maksimal, atau produksi tebu tak sesuai target, produksi gula terganggu. Pastilah juga mengganggu kondisi pasar dan kebutuhan gula di masyarakat. Baru satu contoh.
Kementerian Pertanian sudah mencoba membuat program pembinaan petani. Sebagai upaya kaderisasi. Melakukan pelatihan di bidang pertanian, termasuk pasca panen dan pengolahannya.
Lagi-lagi, namanya gerenarasi muda ini lebih suka yang pengolahan, daripada harus menjadi petaninya. Ya, tetap saja peminat di bagian produksi atau bercocok tanam masih minim.
“Satu tahun dari 500 peserta pelatihan, paling banyak 25 yang mengambil plilihan khusus tanaman pangan padi,” sebut Pak Avicenna tentang minimnya peminatan bidang pertanian.
Ada yang namanya Youth Entrepreneur and Employment Support Services (YESS), program kerjasama Kementerian Pertanian dengan International Fund For Agricultural Development (IFAD).
YESS Program dirancang untuk menghasilkan wirausahawan muda pedesaan serta menghasilkan tenaga kerja yang kompeten di bidang pertanian. Ya, namanya juga program dari pusat.
Kalau data peserta mungkin cukup besar angkanya, menyasar 320.000 generasi muda di pedesaan. Tapi soal tepat sasaran atau tidak, sekadar formalitas atau berkualitas, urusan lain.
Demikianlah faktanya. Seperti kebutuhan ekspor kopi dari Malang itu sekitar 45 ribu ton per tahun, namun kemampuan petani kopi hanya bisa 13 ribu ton. Kok bisa ya?
Apel Malang yang dulu sangat terkenal, di mana sekarang lahan pertaniannya. Nyaris tak banyak dijumpai lagi petani di Malang memproduksi buah yang lagend ini.
Rasanya perlu juga dicek passing grade fakultas di bidang pertanian, jangan-jangan memang sudah mengalami penurunan tajam. Mungkin memang kurang diminati calon mahasiswa.
Menurut Badan Pusat Statistik, per Agustus 2022, dari 135,3 juta penduduk yang bekerja, 29,96% bekerja di sektor pertanian. Artinya jumlah petani mencapai 40,64 juta orang.
Angka ini terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Saat ini tenaga petani didominasi petani senior yang rentang usianya 45-64 tahun. Minat pemuda di pertanian masih rendah.
Menurut data BPS per 2021, persentase pemuda usia 16-30 tahun yang bekerja di sektor pertanian terus turun. Kini hanya ada 3,95 juta petani muda, atau 21,9% dari total petani di Indonesia.
Lama-lama petani akan habis? Bisa saja terjadi. Apalagi kalau alumni dari fakultas pertanian lebih suka bekerja di dunia perbangkan, atau bidang lainnya yang bukan dunia pertanian.
Padahal data BPS per Agustus 2022 itu menunjukkan bahwa pengangguran banyak berasal dari usia muda rentang usia 20-24 tahun, yakni 2,54 juta orang. Kenapa tidak jadi petani muda?
Ya, harus diakui tidak semudah itu menjadikan pemuda sebagai petani. Terbukti program Kementan itu belum juga kelihatan sebagai solusi. Saya sendiri saja, alumni FTP, berprofesi sebagai jurnalis.
Maklum, jadi petani adalah pilihan hidup. Apalagi yang tak punya warisan lahan pertanian, jadi petani hanya angan-angan. Inginkan pertanian yang maju dan canggih, hanya cita-cita.
Memiliki industrialisasi pertanian hanya mimpi. Miriplah seperti bisnis atau usaha yang lain, jadi pengusaha atau jadi petani, butuh modal kuat. Yang tak sekedar tekad dan semangat.
Kadang meneruskan pertanian milik orang tua saja tidak mau. Apalagi yang modal dengkul. Jujur, banting setir adalah pilihan. Mencari hasil yang bisa segera dipanen tiap bulan.
Entahlah, siapa yang bertanggung jawab ‘menciptakan’ petani muda? Harus ada yang meyakinkan, usaha pertanian cukup menjanjikan. Ya kalau berhasil panen, di waktu yang tepat. (*)