Bercandaan “pinjam dulu seratus” viral. Banyak anak muda menggunakan diksi ini di TikTok, Instagram, Twitter, dan platform media sosial (medsos) yang lain. Presiden Joko Widodo dalam kesempatan bertemu dengan 100 CEO Forum di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kamis, (2/11/2023) lalu, juga berpantun menggunakan kata-kata yang viral tersebut. “Ikan Lohan ikan Gabus, direndam dulu baru direbus, supaya pembangunan maju terus, pinjam dulu seratus,” ucap Jokowi disambut riuh para hadirin.
Saking viralnya, guyonan “pinjam dulu seratus” juga banyak ditirukan beberapa pembalap MotoGP, seperti pembalap Maverick Vinales, Aprilia, dan tim rider Ducati, Pecco Bagnaia. Tak hanya itu, Chris Martin, vokalis band Coldplay saat manggung di GBK Jakarta pada Rabu, 15/11/2023) lalu, juga membuat pantun dengan kata-kata yang viral tersebut. “Hari Selasa, ujian Fisika. Biar belajar, biar lulus. Apa kabar kota Jakarta. Boleh dong pinjam dulu seratus?,” begitu Chris Martin menyapa yang disambut gelak tawa penonton.
Sebenarnya diksi “pinjam dulu seratus” merupakan guyonan yang dapat bermakna sindiran (satire). Karena biaya yang harus ditanggung sangat besar hingga perlu cari pinjaman. Seperti dalam pantun yang disampaikan Presiden Jokowi bahwa supaya pembangunan IKN maju terus maka “pinjam dulu serratus.” Hal ini bisa bermakna bahwa pembangunan IKN memang menelan biaya yang super besar, hingga Jokowi harus mencari pinjaman atau investor dari banyak pihak.
Ungkapan “pinjam dulu seratus” juga cocok digunakan untuk mengilustrasikan biaya atau ongkos politik yang sangat besar. Tak jarang para calon legislatif (caleg) daerah yang harus keluar ongkos puluhan hingga ratusan juta demi melaju menjadi politisi terpilih. Untuk caleg yang memperebutkan kursi di level pusat tentu ongkosnya lebih gede lagi. Apalagi ongkos politik dalam kontestasi pilpres tentu tak cukup kalau hanya “pinjam serratus.”
Mahalnya Ongkos Politik
Ongkos politik di negeri ini sungguh besar. Ada sejumlah penyebab tingginya ongkos politik. Di antara sebab itu adalah mahalnya biaya mendirikan partai politik. Persyaratan mendirikan partai politik harus mempunyai kantor kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten atau kota, dan 50 persen kecamatan. Selain itu, biaya politik tinggi juga disebabkan berjalannya sistem politik yang mahal.
Untuk jadi bupati atau wali kota butuh biaya mencapai Rp 20-30 miliar, gubenur lebih mahal lagi, antara Rp 30-100 miliar. Biaya itu digunakan untuk agenda rapat-rapat pemenangan, biaya kampanye di media, dan biaya “pembelian” suara lewat aksi bagi-bagi barang. Seperti sembako, sarung, hingga uang tunai yang dibagi-bagikan dalam aksi serangan fajar. Perilaku politik yang membutuhkan dana besar ini terus berulang dari pemilu ke pemilu. Politik uang (money politic) masih terus terjadi dan sulit dihilangkan.
Ongkos politik bervariasi bergantung pada tingkat dan daerah pemilihan. Menurut penelitian LPM FE UI, ongkos politik caleg untuk DPR RI berkisar antara Rp 1,15 miliar hingga Rp 4,6 miliar, sedangkan untuk DPRD berkisar antara Rp 250 juta hingga Rp 500 juta. Menurut Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, yang menyatakan untuk daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta, modal yang harus dikeluarkan demi menjadi caleg DPR RI mencapai sekitar Rp 40 miliar per orang.
Kampanye politik saat ini memerlukan sumber daya tambahan untuk mengelola kehadiran sang kandidat di ruang online. Peran medsos dalam politik sangat signifikan. Berkembangnya peran teknologi dan medsos telah menambah kompleksitas dan biaya kampanye. Sang politisi dituntut mengelola kampanye online, termasuk biaya untuk manajemen platform medsos, kampanye lewat iklan online, dan analisis data.
Untuk beragam keperluan kampanye, branding, dan meningkatkan elektabilitas, para kontestan politik sering mempekerjakan konsultan politik untuk merancang dan melaksanakan strategi kampanye. Di samping itu, jasa konsultan hukum juga sangat diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran hukum. Jasa konsultan politik dan hukum ini bayarannya juga tak murah.
Partai politik dan kontestan politik juga harus mengeluarkan biaya untuk melakukan penelitian atau polling politik untuk memahami pandangan pemilih dan merancang strategi kampanye yang efektif. Biaya riset dan polling ini juga tak sedikit, apalagi kalau untuk keperluan riset dan polling tak dilakukan oleh tim internal sendiri. Kalau menggunakan jasa lembaga survei yang sudah punya nama besar tentu ongkosnya juga mahal.
Tak jarang sang politisi yang ikut berkontestasi politik mengandalkan dukungan finansial dari industri dan kelompok kepentingan. Sering di balik sang politisi yang maju di belakangnya ada sosok pengusaha atau pebisnis. Dukungan ini seringkali datang dengan syarat untuk mendapatkan kebijakan yang diinginkan oleh pemberi dukungan. Situasi ini yang menjadikan terjadinya politik balas budi dan bayar utang.
Kejar Setoran
Jika sang politisi sangat tergantung pada sumbangan dana kampanye dari kelompok kepentingan atau individu yang berusaha mempengaruhi kebijakan untuk keuntungan mereka sendiri, maka hal ini dapat menjadikan sang politisi tersandera. Situasi ini dapat meningkatkan risiko terjadinya korupsi, karena sang politisi harus mengembalikan ongkos politik yang telah mereka pinjam dari pemberi sumbangan.
Upaya kejar setoran untuk mengembalikan modal politik setelah sang politisi terpilih menjadikan dalam menjalankan tugasnya, orientasi untuk mendapatkan sumber pemasukan menjadi prioritas. Di sinilah sering terjadi politik transaksional, politik tahu sama tahu, atau politik bagi-bagi anggaran. Kalau upaya kejar setoran modal politik dengan cara-cara yang manipulatif maka sejatinya sang politisi seperti sedang bermain di tepi jurang.
Tak sedikit politisi di negeri ini yang terpeleset ke jurang korupsi yang akhirnya menyeret mereka harus mendekam di balik jeruji besi penjara. Banyak politisi yang akhirnya hancur karir politiknya karena terlibat kasus korupsi. Partai politik pengusung sang politisi pun harus menanggung citra buruk partainya di mana hal ini tentu dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat pada partai dan sang politisi.
Tingginya ongkos politik dalam kontestasi caleg dan pilpres tentu memiliki dampak buruk bagi demokrasi. Ongkos politik yang tinggi sesungguhnya dapat mengurangi kualitas representasi rakyat karena sang politisi yang mengeluarkan biaya besar cenderung berusaha mengembalikan modal yang mereka keluarkan saat mereka telah terpilih kelak.(*)