MALANG POSCO MEDIA, MALANG- Sidang putusan kasus pencabulan santriwati yang diduga dilakukan M. Tamyis Al Faruq, pengasuh pondok pesantren di Kecamatan Tajinan, digelar Senin (8/1) mendatang. Aktivis dan organisasi yang mendampingi korbannya mendesak majelis hakim PN Kepanjen menjatuhkan vonis berat.
Tri Eva Oktaviani, pendamping hukum dari YLBHI-LBH Surabaya Pos Malang mengatakan pihaknya bersama Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara serta LPSK beranggapan perkara Gus Tamyis, sapaan terdakwa merupakan kejahatan yang berat, dan mendapatkan perhatian publik.
“Kami memberikan dukungan terhadap majelis hakim PN Kepanjen untuk memeriksa dan memutus perkara yang seadil-adilnya, sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Eva sambil menunjukkan surat dukungan ke PN Malang, Kamis (4/1). “Surat dukungan ini bisa memberikan pertimbangan hakim untuk memutuskan,” ujarnya.
Dengan perbuatan cabul yang diduga dilakukan terdakwa, dikatakan dia, telah berdampak terhadap psikologis korban. Sampai saat ini para korban mendapat perlindungan LPSK. “Sebab, selama jalannya persidangan, para korban kerap mendapat intimidasi dan teror dari sejumlah pihak, salah satunya diduga dari keluarga terdakwa,” tudingnya.
Menyikapi tuntutan dari YLBHI-LBH Surabaya Pos Malang, advokat MS. Alhaidary, SH, MH, penasihat hukum Gus Tamyis menegaskan perkara dugaan pencabulan itu sudah cacat sejak dilimpahkan JPU Kejari Kepanjen, ke PN Kepanjen. “Sudah kami sampaikan dalam pembelaan. Perkaranya cacat,” tegasnya.
Dia menerangkan, hakim sudah memerintahkan JPU untuk menghadirkan terdakwa, alat bukti dan barang bukti. “Tapi barang bukti tidak pernah ada,” ujar dia. Kedua, lanjut Haidary, semua saksi JPU, tidak ada satupun yang mengetahui peristiwa yang disangkakan kepada Gus Tamyis, kliennya.
“Artinya, saksi hanya berupa keterangan dari saksi korban. Hanya satu orang saja, bukan saksi. Kalaupun ada saksi lain, hanya mendengar saja. Semua saksi, kami tanya satu persatu. Dan mereka tidak ada yang tahu peristiwanya. Kalaupun ada yang tahu, itu adalah ayah korban dan seseorang bernama Fajar. Itupun hanya mendengar cerita,” terangnya.
Dipaparkan Haidary, testimonium de auditu atau kesaksian karena mendengar dari orang lain tidak bisa menjadi dasar untuk menghukum terdakwa. “Tidak bisa menjadi alat bukti. Sebab itu, menurut kami sebagai penasihat hukum Gus Tamyis, dia harus dibebaskan. Ini juga sesuai dengan fakta dalam persidangan,” ungkapnya.
“Kami sepakat bahwa kejahatan terhadap anak adalah kejahatan serius dan menjadi perhatian semua kalangan dan orang tua. Tetapi lantaran karena motif lain, yang menggunakan isu masalah perlindungan anak, jadi kepentingan pribadi untuk menjatuhkan orang lain. Jangan berdalih untuk melindungi anak dari kejahatan seperti yang didakwakan, lalu memvonis orang yang tidak bersalah,” urainya. (tyo/mar)