.
Friday, December 13, 2024

Janji (Manis) Makan Siang Gratis

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Dalam kontestasi politik di pilpres 2024, adu gagasan ditunjukkan dengan program-program unggulan yang tercantum dalam visi dan misi masing-masing calon presiden (capres). Gagasan dari salah satu capres yang sering diperdebatkan adalah “Memberi makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren, serta bantuan gizi  untuk anak balita dan ibu hamil”, agenda pertama dari “Delapan Program Hasil Terbaik Cepat.”

Sering disebut dengan quick win program, sebab program ini sanggup memberikan dampak atau hasil yang cepat bagi penerima manfaat, meskipun terkadang lemah aspek sustainability-nya.

Intensnya sorotan atas program tersebut terjadi karena diperkirakan menyedot anggaran fantastis hingga Rp 450 triliun per tahun, nyaris setara dengan total dana yang diperlukan untuk proyek pembangunan ibu kota negara (IKN) di Kalimantan Timur sebesar Rp 466 triliun. Dengan lebih dari 82 juta penerima manfaat, maka persoalan ketepatan sasaran, kelancaran distribusi, serta keadilan bantuan masih menjadi tantangan utama.

Keterbatasan Ruang Fiskal

Keterbatasan anggaran untuk program bersekala jumbo seperti di atas akan terus menjadi isu sentral. Musababnya, tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih rendah dan belum pernah melebihi 12 persen dalam satu dekade terakhir. Selain itu, tambahan penerimaan pajak Indonesia tidak pernah menyentuh Rp 500 triliun rupiah dalam delapan tahun terakhir (CNBC Indonesia, 28/12/2023).

Sejumlah jurus utama peningkatan ruang fiskal telah dipaparkan oleh tim capres. Salah satunya melalui optimalisasi cukai untuk mendorong hidup sehat seperti cukai terhadap minuman berpemanis. Peningkatan penerimaan negara ditargetkan sebesar 15 miliar dolar AS atau lebih dari Rp 220 triliun rupiah, setara sekitar 1,5 persen tax ratio.

Angka Rp 220 triliun terasa terlalu ambisius dan tampaknya tidak realistis, mengingat kementerian keuangan memperkirakan potensi penerimaan cukai terhadap minuman berpemanis siap konsumsi seperti teh kemasan, minuman karbonasi, dan minuman berenergi serta kopi, hanya sebesarRp  6,5 triliun.

Jurus peningkatan penerimaan negara lainnya adalah optimalisasi bea masuk untuk pangan impor. Target penerimaannya juga sebesar 15 miliar dolar AS. Proyeksi angka penerimaan negara ini juga dinilai sangat fantastis dan kurang realistis. Sebagai contoh adalah komoditas gandum yang seluruhnya diperoleh dari impor.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022, Indonesia mengimpor gandum sebanyak 9,46 juta ton senilai lebih dari Rp 32 triliun. Seperti diketahui, tarif bea masuk gandum ke Indonesia, masih termasuk yang terendah di dunia, yaitu hanya lima persen sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 07/2009.

Ketergantungan Impor

Salah satu tantangan terbesar untuk industri persusuan di Indonesia adalah fakta bahwa harga komoditas bahan baku susu impor tidak selalu lebih mahal ketimbang produk susu segar dalam negeri (SSDN). Disparitas harga seolah menjadi alasan, bahkan bisa menjelma menjadi candu impor.

Saat ini, bahan baku susu di Indonesia memiliki rasio ketergantungan impor atau import dependency ratio (IDR) yang sangat tinggi, bahkan mengarah kepada krisis. Merujuk data BPS (2022), produksi SSDN hanya sebesar 0,969 juta ton dari kebutuhan susu nasional yang mencapai 4,4 juta ton, sehingga nilai IDR-nya hampir 80 persen.

Data BPS (2022) juga menyebutkan, populasi nasional sapi perah baru mencapai 592.897 ekor. Jumlah ini juga relatif mandek dari tahun ke tahun. Dengan estimasi sederhana, sebetulnya masih dibutuhkan sapi perah hingga sebanyak dua juta ekor lagi, agar seluruh kebutuhan bahan baku susu tercukupi sepenuhnya dari produksi dalam negeri.

Produktivitas sapi perah juga masih menjadi persoalan. Di Indonesia rata-rata sapi perah hanya memproduksi 10-11 liter per ekor per hari. Masih jauh dari produksi susu sapi negara lain yang bisa mencapai 30 liter, bahkan 60 liter per hari. Tetapi, hingga kini, isu produktivitas tidak banyak mengalami perubahan.

Diperkirakan saat program susu gratis dilaksanakan, maka dibutuhkan tambahan ketersediaan susu setara SSDN sebesar empat juta ton per tahun, atau hampir dua kali lipat dari angka kebutuhan susu nasional saat ini. Perhitungan tersebut merujuk pada jumlah total murid di Indonesia, sesuai data Kemendikbud Ristek pada semester gasal tahun ajaran 2023/2024, sebanyak 53,14 juta orang.

Jumlah kebutuhan susu tersebut jelas hanya bisa dipenuhi dari bahan baku susu impor jika produksi susu nasional terus stagnan. Konsekuensinya, ruang fiskal makin menyempit karena devisa negara akan tergerus untuk membiayai kebutuhan impor.

Gagasan istimewa makan siang dan susu gratis hanya akan menjadi program utopis apabila realitas peningkatan jumlah penerimaan negara yang mumpuni tidak terwujud. Pun program menjadi tidak realistis, jika rasio ketergantungan impor bahan baku susu masih tinggi dan tidak segera teratasi.

Semoga presiden terpilih lebih bernyali dan ahli mengatasi setidaknya kedua persoalan fundamental tersebut.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img