Beberapa waktu lalu, jagat media dibuat geram oleh pernyataan Menteri Warisan Budaya Israel, Amichai Eliyahu. Pernyataan kontroversialnya tentang penghapusan bulan Ramadan memicu kemarahan dari berbagai pihak, terutama dari para umat muslim. Menurut Eliyahu, Ramadan menjadi salah satu ketakutan mereka karena ketegangan antara Palestina dan Israel seringkali muncul di bulan tersebut.
Namun, tulisan ini tidak akan mendiskusikan lebih jauh terkait ketegangan dua negara. Terlepas memang ada banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kekerasan yang dilakukan Israel. Sebagai gantinya, mari membayangkan hal yang sukar dibayangkan. Yakni, apa yang akan terjadi jika Ramadan benar-benar dihapuskan? Tak perlu memikirkan dampaknya pada dunia, cukup membayangkan efeknya bagi Indonesia.
Salah satu aspek yang langsung merasakan dampaknya adalah aspek keagamaan dan ritual-ritual di dalamnya. Kita tentu tak akan bisa merasakan lagi suasana teduh di siang maupun malam Ramadan. Masjid akan tetap sepi seperti biasa karena ketiadaan aktivitas tahunan yang biasa dilakukan di Ramadan. Kemeriahan malam Idul Fitri juga akan musnah beserta budaya kental Indonesia seperti takbiran, sungkeman, dan mudik.
Hilangnya Ramadan otomatis juga menghilangkan momentum spiritual bagi masyarakat, yaitu ibadah puasa wajib. Menurut survei Pew Research Center di 39 negara, hampir 93 persen peserta survey mengaku senantiasa berpuasa pada bulan Ramadan. Belum lagi data terkait peningkatan intensitas ibadah lain seperti salat dan sedekah di bulan tersebut. Banyak orang yang menganggap bulan puasa adalah momen tepat untuk memperbaiki diri, memulai kembali, dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Ketiadaan bulan Ramadan juga memberikan tantangan bagi identitas keagamaan umat muslim. Bahkan menurut data dari Gallup, sekitar 93 persen umat muslim di seluruh dunia menganggap bahwa Ramadan adalah bagian penting dari identitas keagamaan. Banyak aktivitas yang semakin marak di bulan itu, bahkan ada sederet aktivitas yang hanya dilaksanakan di bulan Ramadan.
Musnahnya Efek Sosial Ekonomi
Tidak dapat dipungkiri, Ramadan juga membawa berkah di bidang ekonomi dan bisnis. Kebutuhan akan makanan dan minuman saat berbuka membuka peluang bisnis dadakan bagi masyarakat. Sebagian membuka beberapa warung atau outlet saat bulan puasa untuk menambah penghasilan. Tidak jarang, usaha kecil-kecilan itu terus berjalan meski bulan puasa sudah usai. Hal itu tentu semakin mempercepat roda ekonomi yang sedang berjalan.
Mendekati akhir Ramadan, kebutuhan akan pakaian, sajian lebaran, dan hal-hal lain meningkat beberapa hari sebelum bulan puasa berakhir. Angka yang dihasilkan juga tidak main-main mengingat muslim adalah umat mayoritas di negara ini. Menurut data, peningkatan yang terjadi bisa mencapai lebih dari 30 persen di negara-negara mayoritas muslim, termasuk Indonesia.
Di samping itu, budaya mudik juga memberikan keuntungan untuk bisnis transportasi, perhotelan, dan wisata. Pada tahun 2023 lalu, terhitung ada lebih dari 132 juta orang yang melakukan perjalanan mudik. Jumlah yang luar biasa dan menjadi berkah bagi mereka yang berkecimpung di dalamnya. Pemasukan yang diperoleh tentu akan berlipat ganda dan membantu memutar roda ekonomi negara.
Begitu pun jumlah mobilisasi masyarakat yang lebih banyak. Menurut data dari World Travel & Tourism Council, kunjungan wisatawan selama Ramadan meningkat hingga lebih dari 20 persen di beberapa destinasi. Selama perjalanan, mereka juga pasti melakukan transaksi ekonomi dengan membeli kebutuhan untuk perjalanan serta oleh-oleh untuk keluarga di rumah.
Pada akhirnya, hal ini akan bermuara pada dampak positif yang luar bisa di bidang ekonomi dan bisnis. Jika Ramadan dihapuskan, efek baik untuk ekonomi juga akan menurun, bahkan kemungkinan terburuknya adalah hilang.
Selain bidang ekonomi, akan banyak aspek sosial juga yang terganggu. Bagi banyak orang, Ramadan seringkali menjadi momentum untuk menggalang solidaritas dan kebersamaan. Bulan suci ini tidak hanya berbicara tentang ibadah, tapi juga tentang kebersamaan melalui pengajian sebelum berbuka, bersedekah secara massal, berbuka bersama, sahur on the road, dan lainnya.
Sensitivitas kepada mereka yang membutuhkan semakin meningkat sehingga memperbanyak aktivitas bermanfaat yang tidak melulu soal uang. Coba kita lihat, ada berapa banyak kelompok yang membagikan takjil gratis atau sahur on the road sepanjang bulan puasa?
Di tempat kerja saya saja, tiap unit pasti melakukan aktivitas ini. Belum lagi di kantor lain, sekolah lain, dan komunitas-komunitas lain. Semua elemen masyarakat saling bahu membahu untuk memperkuat hubungan antar manusia dengan menggalang kebaikan. Fenomena unik ini bisa dibilang hanya muncul pada momen Ramadan.
Berkat Ramadan pula, potensi ketegangan antara agama bisa dibendung berkat kegiatan yang mendorong masyarakat untuk saling menghormati. Tak jarang, kegiatan berbagi tidak hanya dilakukan bagi sesama muslim. Adapula mereka yang turut berbagi dengan saudara dengan latar belakang agama berbeda. Misalnya saja dengan mengunjungi panti asuhan atau panti jompo yang dijalankan oleh agama lain.
Poin-poin di atas hanya sebagian kecil dampak positif yang dihadirkan bulan Ramadan untuk manusia, khususnya umat muslim. Ada banyak hal lain yang mungkin luput dari pandangan kita. Jadi, apakah kita akan rela jika Ramadan dihapuskan? Jika tidak, seberapa jauh kita akan memanfaatkan bulan suci ini? (*)