Oleh : Gus H. Achmad Shampton, M.Hi
Kepala Kemenag Kota Malang
Beberapa kali saya ditanya kawan-kawan petugas, tentang murur, tentang mabit muzdalifah, mabit mina dan prosesi ibadah haji yang lain. Saya hanya menggunakan satu kitab al-idloh fi manasik haji Imam Nawawi yang filenya saya bawa kemana-mana di handphone. Sebagai salah satu orang yang disempilkan menjadi salah seorang yang memberi layanan bimbingan ibadah. Tentu saya harus berupaya mencarikan rujukan untuk para penanya.
Malam 10 Dzulhijjah adalah malam pertama yang dikatakan Kolonel Harun Kepala Bidang Perlindungan Jamaah, semua petugas harus siap. Dan benar, meski harus kucing-kucingan dengan polisi, saya melihat ibu-ibu sepuh, kakek-kakek bertumbangan di area jamarat.
Salah seorang jamaah yang hotelnya hanya 200 meter dari jamarat, ngotot kembali ke tenda Mina yang jaraknya ada 4-7,8 kilo meter dari jamarat. Sambil saya rayu untuk kembali ke hotel saya jelaskan seperti apa Mina itu dan mana batasan Mina itu. Beberapa orang yang mendengar mengerutkan dahi seperti akan protes, bahkan ada jamaah dari embarkasi Medan, ngotot diantarkan kembali ke tenda Mina, tidak percaya penjelasan saya. Melihat kondisi tubuhnya dan isterinya, saya merayu mereka untuk tidak memaksakan diri bahkan saya harus menjelaskan bahwa saya menyatakan ini tidak ngarang, saya orang pesantren, mengelola pesantren dan di tanah air saya Kepala Kementerian Agama yang sangat berpantangan untuk membohongi jamaah tentang prosesi ibadah.
Di hotel terdekat itu, meski saya harusnya bertugas di sepanjang jalan di Jamarat, akhirnya tertahan di hotel itu, mulai Subuh sampai jam 20.00 mengatasi jamaah yang bertumbangan tanpa pengetahuan medis, saya hanya berbekal kanebo untuk mendinginkan kepala jamaah, membelikan kopi, roti, teh apa saja yang diminta jamaah, agar mereka merasa tenang dan kembali sehat.
Saya memberi pertimbangan kepada jamaah untuk lebih baik kembali ke Hotel dibanding ke tenda Mina melihat jarak tempuhnya yang hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki. 7,8 kilometer dibandingkan dengan 1,5 km. Yang membuat saya sangat geram adalah jamaah manula yang “ditakut-takuti” oleh pemimpin yang memandu mereka, bahwa hajinya tidak sah bila tidak melempar sendiri, jauh-jauh dari Indonesia kok semua hanya diwakilkan, harus membayar dam dan “teror” lainnya.
Seorang ibu yang terkena osteoporosis akut, menangis kesakitan karena berjalan sekian kilo dan tersesat dan masih harus merawat kawannya yang pingsan. “Saya sangat kecewa dengan para pemandu ibadah yang tidak mampu membedakaan mana ibadah yang sunnah, wajib dan rukun yang tidak boleh ditinggalkan.” Menggregetkan!!!
Dalam konteks saat ini, jamaah haji dengan “umur”nya yang rata-rata sudah sepuh dan kondisi tempat yang tidak berkembang seiring bertambahnya jamaah, mereka tidak bisa diberi “penekanan ideal” atau afdloliyah amal yang berakibat merugikan mereka. Tanpa penanganan medis, kami harus menjaga bapak ibu yang sepuh-sepuh, yang kelelahan dan kepanasan di Jamarat.
Minimnya bekal agama bagi para “pengampu jamaah” membuat mereka memberikan aturan manasik “ala mereka sendiri” yang berakibat fatal bagi para jamaah. Terlalu banyaknya jamaah yang bertumbangan membuat kami para petugas kewalahan. Hingga seorang jamaah marah-marah menuding jamaah hanya bilang “ramah lansia” tetapi sama sekali tidak ramah karena ada yang pingsan tidak dirawat. Istirahat kami yang cukup dengan terpejam sesaat, karena banyaknya jamaah belum cukup. Karena rasio yang kepanasan dan butuh bantuan lebih banyak dibanding para petugas. Nenek-nenek dan kakek-kakek yang untuk menjaga mereka di”murur”kan untuk menjaga kondisi mereka, malah berjalan sekian kilo untuk melempar yang sebenarnya boleh diwakilkan.
Waktu lempar jumrah juga banyak yang tidak paham. Untuk tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah yang semestinya hanya bisa dilempar pada usai Subuh, banyak yang melakukannya setelah Maghrib atau tengah malam sesuai dengan “fikih buatan mereka sendiri”.
Jam 20.00 saya mulai bisa istirahat, saya pulang ke hotel penampungan. Tiba-tiba ada bel masuk, salah seorang kawan petugas bertanya lagi waktu lempar jamarat. Saya menjadi teringat bagaimana dulu kita mengedukasi bahwa melempar sebelum Dzuhur itu sah, berdasar penjelasan Imam Thowus dan Imam Asnawi. Tetapi sekarang malah berijtihad sebelum Subuh yang hampir tidak ada ulama yang memperkenankannya. Secara berkelakar saya menjawab; “kalau lempar sekarang, setannya sedang istirahat, jam dinasnya bakda Subuh. Jadi rugi kalau melempar sebelum Subuh.”
Lucu juga ketika melihat ada rombongan menggunakan ruhshoh shalat jamak qosor terus setiap hari tetapi untuk lempar jumrah mereka tidak mau mewakilkan, hingga orang-orang sepuh itu harus bertumbangan. Mereka tidak bisa membedakan mana ibadah yang urgen dan bisa ditinggalkan dan yang mungkin diwakilkan.
Imam Ibn Ruslan dalam kitab zubadnya mengingatkan; “wakullu man bighairi ilmin ya’malu, ‘amaluhu mardudatun laa tuqbalu.” Mereka yang beramal yang tidak membekali diri sebelumnya dengan ilmu, maka amalnya tertolak. Wallahu a’lam. (*)