Oleh: Ali Roziqin
Dosen Ilmu Pemerintahan,
Universitas Muhammadiyah Malang
Salah satu tugas penting pemerintah adalah merumuskan kebijakan publik. Kebijakan publik dapat menjadi instrumen penting suatu negara untuk mencapai tujuan bersama. Dalam model tatakelola pemerintahan di Indonesia, kebijakan publik dapat dikatakan sebagai ruang pertemuan antara dimensi teknokratis dan mekanisme politik. Namun yang terjadi seringkali kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah Indonesia cenderung bernuansa politis.
Secara sederhana kebijakan publik dimaknai sebagai usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuang negara. Adanya kebijakan publik diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan publik. Meskipun faktanya, tujuan awal ini terkadang kabur dalam pelaksanaannya. Dalam mekanisme penyusunannya, kebijakan publik tidak lepas dari aktor politik dan lembaga politik sehingga tidak mengherankan terkadang kita sulit membedakan apakah kebijakan tersebut kebijakan publik atau akomodasi kepentingan politik para elit.
Beberapa kebijakan publik yang terindikasi bernuansa politis di antaranya adalah pemindahan ibukota negara di Kalimantan Timur, Revisi UU KPK, subsidi BBM, dan Omnibus Law. Bahkan terbaru revisi UU Kementerian dan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Kebijakan-kebijakan tersebut menurut kacamata penulis belum memiliki urgensi sebagai pemecahan masalah sosial secara konkret.
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan Evidence Based Policy (EBP) atau kebijakan berbasis bukti merupakan salah satu strategi agar kebijakan publik berfokus pada penyelesaian masalah. Secara teoritis, kebijakan berbasis bukti (EBP) muncul antara akhir tahun 1990an dan awal tahun 2000an. Ide sentral dari model ini adalah bahwa pengambilan kebijakan harus berpedoman pada bukti terbaik yang tersedia (Little & White, 2018). EPB akan menjadi solusi sistematis mengurangi kebijakan yang hanya mengakomodir kepentingan politik saja.
Kajian dan Penelitian
EBP telah menjadi pendekatan populer dalam penelitian sosial. Sebagian besar negara maju dalam mekanisme perumusan kebijakannya selalu mengedepankan proses saintifik dan bukti. Hal ini telah diterapkan di berbagai bidang seperti ekonomi pembangunan, pencegahan kejahatan, pendidikan, kebijakan perumahan, dan reformasi hukum. Proses saintifik yang dapat dilakukan untuk mendorong kebijakan berbasis bukti adalah melalui kajian dan penelitian.
Kajian dan penelitian yang dilakukan oleh pemerintah bisa menjadi alternatif basis pengambilan kebijakan. Kajian dan penelitian yang dipakai tentunya harus melalui validasi dan sistematika yang logis.
Di samping itu juga disusun oleh pakar-pakar yang mumpuni di bidangnya. Melalui mekanisme penelitian dan pencarian bukti yang valid, pengambilan kebijakan akan menemui titik terang dan menjadi problem solving.
Penyusunan penelitian dan kajian sebagai basis kebijakan juga bisa melibatkan kampus dan lembaga penelitian seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) maupun Daerah (BRIDA). Sebagai lembaga yang memiliki core bisnis di bidang penelitian dan kajian, fungsi kampus dan lembaga riset akan berdampak positif jika ikut andil berkontribusi menyumbangkan hasil penelitianya kepada pemerintah.
Sayangnya, masih banyak penelitian yang kurang berkualitas dan terstandar karena minimnya anggaran dan kualitas peneliti itu sendiri. Sehingga upaya kolaboratif kampus dan pemerintah perlu didorong lagi dalam memanfaatkan sumber daya dan hasil penelitian dari lembaga kampus maupun penelitian.
Penerapan EBP yang berbasis penelitian dan kajian dapat meningkatkan kualitas kebijakan yang dihasilkan. Dengan menggunakan data dan bukti empiris dari temuan penelitian, pemerintah dapat membuat keputusan yang lebih rasional dan efektif. Sehingga hal tersebut dapat membantu mengurangi kesalahan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan.
Integrasi dan Validasi Data
Penerapan EBP pada sektor pemerintahan juga harus didukung dengan ketersediaan data yang valid. Karena bagaimanapun salah satu tantangan utama dalam penerapan EBP di Indonesia adalah keterbatasan data yang berkualitas dan terpercaya.
Sistem pengumpulan data yang masih belum optimal dan kurangnya akses terhadap data yang akurat dapat menjadi hambatan besar dalam implementasi EBP. Tidak hanya itu, standarisasi data yang dijadikan sebagai acuan akan mempermudah para policy maker mengambil kebijakan.
Integrasi data antar level pemerintahan harus terwujud jika ingin menerapkan EBP dalam sektor pemerintahan secara penuh. Tanpa integrasi tersebut, EBP hanya akan berjalan parsial dan sebatas utopia belaka. Jangan sampai karena perbedaan standarisasi data justru akan melahirkan kebijakan yang berbeda.
Alih-alih menjadi solusi atas permasalahan yang ada, kebijakan dengan data yang variatif akan berdampak pada kebingungan masyarakat. Selain juga berpotensi terjadi tumpang tindih kebijakan.
Ke depan, Penerapan evidence-based policy di Indonesia memiliki potensi besar untuk memperbaiki efektivitas dan efisiensi kebijakan publik. Upaya yang berkelanjutan untuk meningkatkan dampak penelitian dan kualitas data akan menjadi penentu keberhasilan dalam implementasi EBP di sektor pemerintahan.
Jika penulis sederhanakan, kebijakan berbasis bukti tidak akan terwujud jika bukti itu dikaburkan dan cara mendapatkanya tidak terstandar dengan valid.(*)