.
Sunday, December 15, 2024

Merdeka di Negeri Influencer

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Sugeng Winarno

Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

          Tahun ini Kemerdekaan Republik Indonesia memasuki usia yang ke 79 tahun. Secara resmi Indonesia memang telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Namun dalam setiap perayaan kemerdekaan sering muncul polemik terkait benarkah bangsa ini sudah benar-benar merdeka? Merdeka dari apa? Buktinya, masih banyak penjajahan dalam wujudnya yang baru. Perang narasi arti merdeka pun bermunculan di media sosial (medsos) dari para netizen dan influencer.

          Influencer bisa diartikan pemengaruh. Influencer itu bukan orang yang kena flu yang encer, seperti yang ditulis Putu Setia di koran Tempo beberapa waktu lalu. Influencer adalah mereka para pesohor, penyanyi, pemain film, komika, pembawa acara TV, dan profesi lain, yang banyak punya penggemar dan pengaruh di dunia maya. Para influencer inilah yang sekarang banyak mempengaruhi opini publik, termasuk opini tentang kemerdekaan Indonesia.

          Makna kemerdekaan di negeri para influencer bisa berbeda dengan masyarakat biasa. Di negeri influencer, semua orang bisa mendengungkan apa saja. Yang positif digaungkan, yang negatif juga. Yang asli bergema, demikian pula yang abal-abal. Narasi yang tulus dan tendensius bercampur. Narasi tentang keberhasilan Indonesia mengisi kemerdekaan bercampur dengan narasi tentang kegagalan negeri ini menjadi bangsa merdeka.

          Narasi para pendengung itu adu kuat. Narasi yang jumlahnya banyak akan menindih narasi yang minim. Narasi yang berhasil viral dianggap sebagai yang benar. Perang narasi antar pendengung menjadi seteru yang terus berlangsung. Ini yang bikin situasi makin gaduh. Era banjir informasi (Information overload) benar-benar telah terjadi dipicu ulah para netizen dan influencer bayaran yang disewa orang atau pihak tertentu.

          Para influencer memang mendapat tempat dengan ruang gerak yang leluasa di negeri ini. Lihat saja saat Presiden Jokowi pamer Ibu Kota Nusantara (IKN) pada awal Agustus lalu. Yang diajak bareng rombongan presiden berkeliling sambil naik motor di beberapa sudut IKN adalah para influencer, pendengung, atau pemengaruh dan bukan insan pers.

Distorsi Informasi

          Tak semua influencer atau pendengung itu buruk. Masih ada pendengung yang baik dan sering menyuarakan hal-hal yang positif dan obyektif. Namun harus diakui bahwa banyak influencer bayaran yang bekerja berdasarkan keinginan pihak yang membayarnya. Tak jarang influencer bayaran ini yang tak obyektif dalam menyampaikan informasi. Tak jarang mereka membuat narasi tak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya.

          Para pendengung bayaran seringkali menyebarkan informasi yang telah dimanipulasi atau dipilih secara selektif untuk mendukung agenda tertentu. Hal ini dapat menyebabkan masyarakat memiliki pandangan yang keliru atau tidak lengkap tentang suatu isu. Informasi tentang keberhasilan pembangunan misalnya. Sering informasi terkait keberhasilan pembangunan disampaikan dalam satu sudut pandang saja.

          Propaganda dan disinformasi yang disebarkan influencer bayaran tentang narasi kemerdekaan yang tendensius dapat mengikis kepercayaan publik terhadap beberapa institusi penting seperti media massa dan lembaga hukum. Ketika masyarakat tak lagi percaya pada sumber informasi yang sah maka mereka lebih rentan terhadap manipulasi. Informasi yang salah dapat menyebabkan masyarakat dan pembuat kebijakan membuat keputusan yang tak berdasarkan fakta atau data yang akurat.

          Opini yang dibangun oleh pendengung bisa memperkuat polarisasi di masyarakat, membagi kelompok-kelompok berdasarkan pandangan yang ekstrem dan membuat dialog yang konstruktif jadi mati. Narasi yang tak akurat selanjutnya diviralkan dan dipercaya justru sebagai yang benar. Jika opini publik dibentuk oleh informasi yang keliru dan manipulatif maka ini dapat merusak demokrasi.

Merdeka dari Influencer Bayaran

          Para influencer punya pengikut (followers) yang banyak dan terus bertumbuh. Sebut saja sejumlah influencer yang diajak Presiden Jokowi keliling IKN beberapa waktu lalu seperti Raffi Ahmad punya 60 juta pengikut, Atta Halilintar 30 juta pengikut, Gading Martin punya 32 juta followers, Irwansyah 16 juta, Willie Salim 11,8 juta pengikut, Meicy Villia 11,1 juta, Dian Ayu Lestari 1,7 juta, dan Ferry Maryadi 1,2 juta pengikut.

          Banyak pihak menggunakan jasa pemengaruh untuk kepentingannya. Merujuk riset dari Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dari Universitas Oxford (2019) menyebutkan, Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan pemengaruh untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019.

          Dalam laporan ini disebutkan bahwa para pengguna influencer ini adalah politisi, partai politik, hingga swasta dengan tiga tujuan, yakni menyebarkan propaganda pro pemerintah atau pro partai, menyerang oposisi, dan membentuk polarisasi.

          Di negeri para pendengung kata merdeka dalam kebebasan berpikir, berbicara, dan mengakses informasi banyak dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang mencoba mendikte narasi atau opini publik. Peran influencer dalam menggiring opini tertentu sesuai keinginan pihak tertentu sangat rawan terjadinya pembelokan dari fakta yang sebenarnya termasuk beragam fakta tentang kemerdekaan negeri ini.

          Merdeka sejatinya bukan hanya kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga kebebasan dari penjajahan pikiran dan informasi yang dilakukan oleh para pendengung bayaran yang berusaha mengontrol narasi publik demi kepentingan dan pihak-pihak yang membayar mereka. Untuk itu sebagai masyarakat yang merdeka harus mampu menentukan pikirannya sendiri tanpa mau disetir oleh para influncer bayaran itu.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img