Oleh: Elyda K. Rara Tiwi, S.S.
Guru SMAN 1 Lawang
Baru-baru ini, saya menonton film yang cukup memukau dari segi pembawaan karakter dan penggarapan alurnya, berjudul Joker: Folie à Deux. Film ini merupakan kelanjutan dari film Joker (rilis tahun 2019) yang menceritakan kisah Arthur Fleck, pria yang dulunya hanya seorang komedian gagal dengan gangguan mental, kemudian menjadi brutal karena sejumlah perundungan yang ia alami di mana-mana hingga berujung pada penahanannya.
Di sekuelnya kali ini, cerita bermula saat Arthur menghabiskan hari-harinya di Arkham Asylum, penjara yang menjadi rujukan banyak penjahat yang punya masalah kejiwaan. Penjara ini terkenal suram. Di penjara itu, Arthur harus mengikuti terapi perawatan penyakit mental.
Ia harus menjalani berbagai perawatan kejiwaan, sembari menunggu proses persidangannya. Saat melakukan itu semua, Joker bertemu dengan Lee Quinzel. Lewat Lee, Joker seperti menemukan dirinya yang baru. Mereka saling berbagi delusi yang sama dalam dunia yang penuh luka yang dibawa masing-masing.
Kisah Joker ini mengingatkan saya pada beberapa siswa yang pernah saya temui di sekolah. Tidak dalam sisi kebrutalan, namun lebih pada perjalanan muasal Arthur Fleck sebelum menjelma menjadi Joker. Banyak siswa ini membawa luka dari masa kecil yang tak pernah terselesaikan—luka yang dalam dan beragam.
Trauma yang mereka alami mencakup trauma fisik, seperti kekerasan dalam rumah tangga, yang tidak hanya meninggalkan bekas pada tubuh tetapi juga dampak psikologis yang mendalam. Selain itu, ada trauma verbal berupa penghinaan dan perundungan, baik secara personal maupun masif, yang sering kali berakar dari stereotip serta ketidakpahaman di lingkungan mereka.
Sebagian siswa juga harus berurusan dengan pengalaman lebih berat, seperti pelecehan seksual, yang membentuk cara pandang mereka terhadap diri sendiri dan dunia di sekitar.
Luka-luka ini bisa berasal dari interaksi di rumah, di lingkungan sosial, atau pengalaman buruk di sekolah pada masa awal mereka, dan efeknya sering kali berlanjut hingga mereka dewasa. Meskipun dampak dari trauma ini tidak selalu tampak di permukaan, ia memengaruhi interaksi mereka dengan orang lain dan menghalangi kemampuan untuk membangun hubungan yang sehat.
Beberapa siswa tampak rapuh, terjebak dalam perasaan terisolasi dan kesepian, serta kesulitan untuk mengekspresikan diri dengan cara yang konstruktif. Saya kerap bertemu dengan siswa yang, meski masih muda, memikul beban emosional yang jauh lebih berat daripada yang dapat kita bayangkan.
Generasi Z, di mana para siswa saya ini berada, sering digambarkan sebagai generasi yang tangguh di era digital. Namun, di balik kecepatan adaptasi mereka terhadap teknologi dan informasi, ada kerentanan yang tidak boleh diabaikan. Mereka hidup di dunia yang serba terbuka dan penuh tekanan sosial, dari media sosial hingga tuntutan akademik.
Meski mereka terlihat kuat di luar, di dalam, ada banyak yang merasa sendirian dan tak punya tempat untuk berbicara. Trauma yang mereka bawa sejak kecil sering kali muncul kembali di masa remaja, saat mereka harus berhadapan dengan masalah identitas, hubungan sosial, dan ekspektasi dari orang tua dan lingkungan sekitar. Mungkin mereka terlihat baik-baik saja, tetapi sering kali, perilaku mereka mencerminkan ketidaknyamanan dan beban yang mereka simpan.
Suatu hari, saya pernah membawa seorang siswa yang kini sudah menjadi alumni ke Woman Crisis Center: Dian Mutiara di Malang. Siswa tersebut mengalami trauma akibat pelecehan seksual di masa kecil. Setelah melalui sesi pendampingan dengan tenaga profesional, perspektif pada dirinya sendiri menjadi lebih baik, meski proses pemulihan trauma bukanlah hal yang instan.
Saat ini ia masih kerap bertemu psikolog dan psikiater, namun ia juga kerap membagikan pengalamannya sebagai penyitas dalam setiap kesempatan yang dimiliki. Ini hanyalah salah satu contoh bagaimana luka masa kecil yang tidak pernah disembuhkan bisa mempengaruhi kehidupan seseorang hingga ia dewasa, hal baiknya ia bisa bertemu tangan ketiga yang bisa membantunya.
Di sekolah, saya juga pernah bertemu dengan seorang siswa yang pernah didiagnosis bipolar saat ia berani bertemu dengan psikiater. Pengetahuannya tentang kondisinya yang membutuhkan bantuan tangan ketiga adalah langkah pertama yang baik, tetapi menghadapi dan mengelola diagnosis tersebut adalah perjalanan panjang yang memerlukan dukungan, baik dari keluarga, lingkungan sekolah, maupun tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater.
Pertanyaannya sekarang, apa yang akan kita lakukan sebagai pendidik dan orang dewasa yang berada di sekitar mereka? Apakah kita akan membiarkan mereka menyimpan luka itu sendiri, toh ia tidak akan bersama kita selamanya? Atau, apakah kita siap untuk membuka ruang batin mereka, mendampingi mereka menemukan cara untuk menyembuhkan luka-luka itu?
Memang, membuka kunci ruang batin yang tertutup rapat karena luka masa lalu bukanlah tugas yang mudah. Bahkan, siswa yang pernah saya temui yang sudah menemui psikolog atau psikiater, tetap merasa sulit untuk mengungkapkan sepenuhnya apa yang mereka rasakan. Namun, inilah saatnya untuk memulai percakapan itu.
Kita tidak bisa membiarkan mereka sendiri, tersesat dalam trauma yang mereka simpan selama bertahun-tahun. Sebagai pendidik, kita mungkin bukan ahli psikologi, tetapi kita bisa menjadi pintu awal untuk membawa mereka kepada bantuan yang lebih profesional.
Mungkin ini saatnya kita memikirkan kembali bagaimana cara kita mendampingi siswa-siswa yang membawa luka dari masa kecil mereka. Bagaimana kita bisa membuka kunci batin mereka yang terluka? Apakah kita siap untuk menjadi bagian dari perjalanan penyembuhan mereka, atau justru membiarkan mereka berjuang sendiri dalam keheningan?(*)