Oleh: Ernawati dan Inun Fariha Nuhba
Mahasiswa Sekolah PascaSarjana
Universitas Brawijaya
Program Magister Kajian Wanita
KPU Jawa Timur telah menetapkan tiga calon yang akan meramaikan pemilihan Gubernur Jawa Timur pada 27 November 2024. Menariknya, ketiga calon gubernur adalah para tokoh perempuan yang kerap diberi julukan ‘Srikandi.’ Dari fenomena ini, sambutan antusiasme masyarakat mulai tampak sebagai bentuk keterwakilan perempuan dalam ranah politik.
Namun, apakah pencalonan tiga Srikandi ini, yakni Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini, dan Luluk Nur Hamidah, sudah benar-benar memenuhi ekspektasi keterwakilan perempuan dalam warna politik Indonesia?
Mengenal 3 Srikandi Cagub Jatim
Merujuk pada Dinas Kominfo Provinsi Jawa Timur, pasangan petahana Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak diusung dan didukung oleh 15 partai politik (parpol). Yakni Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, Nasdem, PAN, PKS, PPP, PSI, Perindo, Partai Buruh, Partai Gelora, PBB, PKN, dan Partai Garuda.
Untuk pasangan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans), diusung dan didukung PDI Perjuangan dan Hanura. Sedangkan pasangan Luluk Nur Hamida-Lukmanul Hakim diusung dan didukung hanya oleh satu parpol, yakni PKB.
Historis sepak terjang Khofifah Indar Parawansa yang asli arek Suroboyo dalam ranah politik sudah berjalan cukup lama. Awal karir politiknya dimulai pada tahun 1992 sebagai kader PPP, mengantarnya menduduki posisi DPR pada usia 27 tahun. Pada era Presiden Jokowi, Khofifah pernah menjabat sebagai Menteri Sosial dengan masa jabatan 2014-2019, namun mengundurkan diri pada tahun 2018 untuk maju pada Pilkada Jatim dan akhirnya mendapatkan perolehan suara terbanyak dengan pasangannya, Emil Elestianto Dardak, setelah dua kali gagal mencoba.
Kiprahnya di Jawa Timur juga diperkuat dengan jabatannya sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (PP Muslimat NU) selama 20 tahun atau empat periode kepengurusan. Khofifah kerap mendapat julukan reformis politik dengan rekam jejaknya yang cukup aktif mempresentasikan perempuan dalam ranah politik.
Pada kontestasi pemilihan Gubernur Jatim tahun ini, Khofifah maju dengan visinya untuk Jawa Timur maju yang adil, makmur, unggul, dan berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045.
Banyak kalangan menilai pesaing kuat Khofifah dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur kali ini adalah Tri Rismaharini, yang biasa akrab dipanggil Bu Risma, perempuan asli kelahiran Kediri dan seorang politikus andalan PDI Perjuangan di Jatim.
Menurut Kompas Pedia, ia adalah perempuan pertama yang memimpin kota Surabaya selama dua periode 2010-2020 dan membawa perubahan nyata bagi Kota Surabaya dengan berhasil meraih tujuh kali Piala Adipura secara berturut-turut sejak tahun 2011 sampai dengan 2017 dalam kategori kota metropolitan.
Pada tahun 2020, ia dipercaya presiden Jokowi sebagai Menteri Sosial dalam resshuffle Kabinet Indonesia Maju selama kurang lebih empat tahun. Dari berbagai jejak politiknya, penutupan Dolly atau area lokalisasi prostitusi di Surabaya menjadi salah satu prestasi Risma yang perlu dicatat dalam sejarah. Meski menghadapi berbagai kritik dan krisis, upaya ini berhasil demi memberantas perdagangan manusia dan seks, terutama bagi anak-anak dan perempuan.
Pada pemilihan Gubernur Jawa Timur perdananya, Risma mengusung visinya yang berfokus pada Jawa Timur RESIK untuk masyarakat yang adil, makmur, berkepribadian, dan berkeadaban.
Pendatang baru dalam kontestasi pemilihan Gubernur Jawa Timur kali ini adalah Luluk Nur Hamidah, yang merupakan politikus asli Jombang dari PKB. Luluk adalah seorang Ketua DPP PKB yang juga anggota Komisi IV DPR RI periode 2019-2024 dan berperan aktif dalam organisasi NU.
Selama menjabat sebagai DPR, Luluk secara vokal mengusulkan dan mendukung perlindungan perempuan dengan disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU TPKS), RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA), juga menolak pengesahan RUU Pilkada.
Ia juga aktif menyuarakan wacana hak angket DPR untuk menyelidiki kecurangan dalam Pemilu 2024. Dalam debutnya ini, Luluk mengedepankan Jawa Timur sejahtera, berdaya saing, inklusif, berwawasan lingkungan, dan mendunia sebagai visinya.
Perkembangan Keterlibatan Perempuan
dalam Politik Indonesia
Dalam budaya Indonesia, perempuan kerap kali diposisikan untuk mengatur keperluan domestik. Terkhusus dalam budaya Jawa yang menganggap perempuan sebagai pihak inferior, dengan adanya ungkapan teman dapur atau ‘kanca wingking’ yang mengarahkan perempuan untuk selalu berada di posisi belakang.
Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu tantangan perempuan untuk tampil menjadi sosok pemimpin di tengah-tengah budaya patriarki yang masih kental, dimana anggapan perempuan sebagai pemimpin di atas laki-laki dianggap tidak lazim. Bahkan, di era modern ini anggapan tersebut masih berlangung, dibarengi dengan beban ganda yang diemban perempuan dalam ranah rumah tangga dan sosial.
Dalam ranah sosial, masyarakat berekspektasi perempuan memberikan performa terbaiknya, bersamaan dengan urusan rumah tangga seperti mencuci dan memasak yang lebih banyak ditujukan kepada ibu sebagai perempuan. Dengan beban ganda tersebut, perempuan kerap diremehkan, atau lebih buruknya, dianggap menjadi ‘beban’.
Bahkan, dengan diberlakukannya affirmative action untuk memberikan ruang lebih bagi perempuan untuk duduk di kursi parlemen, hingga tahun 2024 kita belum dapat mencapai jumlah porsi yang ditargetkan, yakni 30 persen.
Pada pidatonya, Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI menyampaikan bahwa Indonesia mencetak rekor baru untuk Pemilu tahun ini. Namun sayangnya, rekor baru yang disampaikan hanya mencapai 22 persen, yang mana masih jauh dari target nasional.Padahal, keterlibatan perempuan dalam politik memiliki peran yang krusial untuk menciptakan kebijakan publik yang lebih inklusif, terutama terkait isu-isu seperti kesehatan reproduksi, pendidikan, kekerasan berbasis gender, dan kesejahteraan keluarga. Perempuan juga memiliki kebutuhan khusus dalam ranah ekonomi, kesehatan, dan perlindungan hukum.
Maka dari itu, hadirnya perempuan dalam perumusan kebijakan publik untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan seluruh masyarakat, bukan hanya sebagian. Keterwakilan perempuan dalam politik juga bagian dari prinsip kesetaraan gender yang sejalan dengan asas demokrasi yang kita anut, bahwa semua orang memiliki hak yang sama, termasuk dalam berpolitik.
Meskipun belum optimal dan masih jauh dari target, perkembangan partisipasi perempuan dalam ranah politik, mulai dari sebagai pemilih hingga menjadi yang dipilih semakin meningkat. Data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur contohnya, menyebutkan bahwa keterlibatan perempuan dalam parlemen Indonesia menunjukkan tren positif, dari 19,17 persen pada tahun 2022 naik menjadi 20 persen pada tahun 2023.
Indeks Pembangunan Gender (IPG) di Jawa Timur juga menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Disebutkan 90,91 persen pada tahun 2019, 91,07 persen pada tahun 2020, dan naik menjadi 91,67 persen pada tahun 2022.
Secara keseluruhan, majunya 3 tokoh Srikandi untuk menjadi calon Gubernur Jawa Timur memang belum memberi gambaran positif untuk perkembangan perempuan dalam politik Indonesia. Namun fenomena menarik ini dianggap dapat memberikan angin segar dalam budaya patriarki dan memutuskan tali stigma perempuan dalam kehidupan sosial, yang diharapkan dapat menjadi pendongkrak motivasi untuk perempuan lainnya, terkhusus dalam memberikan kontribusinya dalam ranah politik.(*)