.
Friday, November 22, 2024

Mengungkap Fenomena Food Shaming

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Sunardi Siswodiharjo
Penulis Buku Narasi Nutrisi dan Kesehatan
di Zaman Pasca-Kebenaran

          Meskipun tidak seheboh body shaming, namun fenomena food shaming tetap menjadi perhatian banyak pihak. Diilustrasikan sebagai situasi ketika seseorang merasa dihakimi atau direndahkan atas pilihan makanannya. Bahkan sekelas harian The Washington Post (3/4/2024), membahas secara serius terkait protes yang dilontarkan oleh raksasa produsen makanan General Mills yang berbasis di Amerika Serikat, yakni keluhan seputar food shaming yang dianggap telah merugikan produk mereka.

          Acapkali melibatkan penilaian moral terhadap makanan tertentu, di mana makanan yang tinggi kalori, gula, garam, dan lemak, kerap dianggap tidak sehat dan dilabeli sebagai makanan yang “buruk.” Sementara makanan rendah kalori, tinggi protein, dan tinggi serat, kerapkali diasosiasikan lebih sehat sehingga dianggap sebagai makanan yang “baik.”

          Hal semacam ini tentu tidak hanya membuat orang merasa tidak nyaman dengan pilihan makanan mereka, namun juga dapat menciptakan stigma buruk yang menghalangi korban food shaming untuk menikmati makanan yang disukai.

Makanan vs Pola Makan

          “You are what you eat” merupakan adagium lawas yang sangat populer, terutama dalam konteks gizi dan pola hidup sehat. Seorang filsuf Jerman, Ludwig Feuerbach (1862) menulis “Manusia adalah apa yang ia makan” untuk menunjukkan bagaimana pilihan makanan berdampak pada kesehatan fisik dan mental seseorang.

          Namun, nyatanya kualitas kesehatan seseorang tak hanya ditentukan oleh sekadar apa makanan yang dikonsumsi (what to eat), tapi lebih oleh bagaimana makanan dikonsumsi atau pola konsumsi (how to eat), serta kapan atau seberapa sering makanan tersebut dikonsumsi (when to eat).

          Penjelasan menarik dipaparkan oleh Made Astawan, seorang ahli gizi dan Guru Besar IPB, melalui bukunya “Jangan Takut Makan Enak” (2012). Subjudul buku tersebut seolah menjadi penegas bahwa unsur how to eat-nya sangat dominan, yaitu “Tidak ada makanan yang baik atau buruk. Yang ada adalah pola makan yang baik atau yang buruk.”

          Penulis meyakini, munculnya buku tersebut di atas didorong oleh seringnya masyarakat awam yang gemar memisahkan makanan ke dalam dua kategori yang saling berlawanan. Misalnya, makanan baik dan buruk, makan sehat dan tidak sehat, atau terkadang membaginya menjadi clean food dan junk food.

          Oleh karena itu banyak orang yang secara serampangan, tanpa pertimbangan yang rasional, berpantang konsumsi berbagai jenis makanan tertentu demi menjaga kesehatan. Contoh yang sangat populer misalnya jeroan, amat sering dianggap sebagai sumber penyakit dan dengan cepat dimasukkan ke dalam black list atau daftar hitam makanan yang wajib dihindari.

          Padahal, organ dalam hewan tersebut sebenarnya hanya berisiko bagi individu yang telah menderita asam urat. Jeroan tetap bisa menjadi pilihan makanan yang sehat jika dikonsumsi dengan bijak, terutama jika dipadukan dengan sayuran, yang dapat meningkatkan nilai gizi secara keseluruhan.

          Hal serupa juga berlaku untuk durian dan rajungan. Bersama dengan beberapa makanan lainnya, durian dan rajungan sudah lama dicap sebagai sumber kolesterol. Padahal, jika diolah dengan tepat, buah dan hidangan lezat tersebut sebenarnya tidak perlu dihindari sama sekali.      Contoh lainnya adalah berbagai makanan tradisional yang tidak hanya lezat tetapi juga memiliki manfaat kesehatan. Misalnya, rendang yang bersifat antioksidan berkat kandungan rempah-rempahnya, serta tempe yang dapat melawan radikal bebas penyebab penuaan dini.

Filosofi “sekali-sekali ”

          Kita sering mendengar pernyataan yang sejatinya agak bias, “Sekali-sekali makan mi instan tidak masalah dan aman bagi kesehatan tubuh.” Setiap makanan dan minuman umumnya mengandung nutrisi seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air, yang dibutuhkan oleh tubuh agar tetap sehat.

          Namun, makanan apa pun dapat memicu munculnya penyakit degeneratif jika dikonsumsi secara tidak seimbang. Kita harus ingat kaidah umum dalam ilmu toksikologi, “The dose makes the poison.” Artinya, apapun jenis makanan, jika dikonsumsi secara berlebihan akan memberikan efek layaknya racun yang membahayakan kesehatan tubuh.

          Kewaspadaan terhadap makanan tetap diperlukan agar konsumen dapat tetap rasional dan lebih bijaksana dalam memilih makanan. Nah, pertanyaan menarik selanjutnya, sebenarnya “sekali-sekali” itu seberapa sering?

          Mi instan selalu menjadi contoh yang sangat relevan, sebab menurut data dari World Instant Noodles Association, selama tahun 2023, Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi mi instan terbesar di dunia (14,54 miliar porsi) selain China (42,21 miliar porsi) dan Korea Selatan (4,04 miliar porsi).

          Peneliti senior dari Harvard School of Public Health (HSPH), Dr. Frank B. Hu, menyebutkan, konsumsi satu hingga dua porsi mi instan per bulan masih bisa dikategorikan aman. Risetnya bertajuk “Instant Noodle Intake and Dietary Patterns Are Associated with Distinct Cardiometabolic Risk Factors in Korea” (2014) juga menegaskan bahwa wanita yang mengonsumsi mi instan setidaknya dua kali seminggu memiliki kemungkinan 68 persen lebih besar untuk mengalami sindrom metabolik.

          Pendekatan dan analogi serupa dapat diterapkan untuk menentukan frekuensi aman dalam mengonsumsi makanan ultra-olahan lainnya selain mi instan. Seperti keripik kentang, keripik jagung, nugget, sosis, minuman berkarbonasi, dan sejenisnya. Makanan ultra-olahan bukanlah makanan yang buruk, sepanjang pola konsumsinya terkontrol. Artinya tetap boleh dan aman untuk mengonsumsinya “sekali-sekali.”

          Hindari food shaming, nikmati dan syukuri makanan apa saja, namun tetaplah menjadi konsumen yang cerdas dengan selalu mengendalikan jumlah dan cara mengonsumsinya.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img