spot_img
Sunday, April 20, 2025
spot_img

Strategi ABC untuk Memberantas Korupsi

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Najamuddin Khairur Rijal

Dosen Hubungan Internasional FISIP

-Advertisement- HUT

Universitas Muhammadiyah Malang

Presiden Prabowo Subianto sesumbar ingin memaafkan koruptor asal mengembalikan uang negara yang dikorupsinya. Pernyataan tersebut disampaikan Prabowo di hadapan mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir (18/9), di sela-sela menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Developing Eight (D-8). D-8 sendiri merupakan forum kerja sama ekonomi negara-negara berkembang yang merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar. Terdiri dari Indonesia, Malaysia, Iran, Mesir,  Turki, Pakistan, Bangladesh, dan Mesir.

Pernyataan Prabowo terkait rencana memaafkan koruptor tersebut telah menuai kontroversi dan polemik publik di tanah air. Parahnya, wacana itu dilontarkan hanya kurang dua pekan setelah kita sama-sama memperingat Hari Antikorupsi Sedunia, 9 Desember lalu.        Menurut pemerintah, hal tersebut merupakan bagian dari upaya menyelamatkan aset negara (asset recovery). Sementara bagi kelompok masyarakat sipil dan pegiat antikorupsi, wacana tersebut telah mencederai kepercayaan publik terhadap usaha pemberantasan korupsi selama ini.

Korupsi adalah musuh bersama. Kejahatan ini bahkan disejajarkan dengan kejahatan perdagangan manusia, terorisme, dan kejahatan transnasional lain karena dampaknya yang masif dan sistemik. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), penegakan hukum harusnya menciptakan efek jera, alih-alih memberikan pengampunan (amnesti) dengan alasan penyelamatan aset.

Pemberian pengampunan terhadap koruptor jelas tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan hanya akan semakin menciptakan lingkaran setan korupsi di semua lini. Karena itu, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara holistik, komprehensif, dari hulu ke hilir dan dengan keterlibatan semua sektor.

Salah satu strategi yang bisa dipertimbangkan dalam usaha memberantas mata rantai korupsi adalah Strategi ABC. ABC di sini punya dua makna. Pertama, ABC sebagai Aksi, Budaya, dan Cegah. Kedua, ABC sebagai Adoption, Block, dan Cooperation.

Aksi, Budaya, Cegah

Pertama, Aksi menekankan pentingnya tindakan nyata dan tegas terhadap korupsi. Aksi di sini melibatkan penegakan hukum yang independen, transparan, dan tidak kompromistis. Ide untuk memaafkan koruptor justru dapat dianggap sebagai bentuk “kompromi” politik yang melukai makna keadilan.

Korupsi sejatinya bukan hanya tentang uang negara yang dicuri, melainkan juga tentang pelanggaran kepercayaan publik. Jangan sampai, dengan memaafkan koruptor hanya karena mereka mengembalikan uang, pesan yang disampaikan adalah bahwa hukum bisa dinegosiasikan. Pengembalian dana adalah kewajiban minimal, tetapi hukuman yang tegas tetap diperlukan untuk memberikan efek jera.

Kedua, Budaya, dalam arti pentingnya membangun ekosistem yang mendorong terwujudnya integritas para pejabat publik sehingga akses dan peluang untuk melakukan tindakan koruptif bisa diminimalisir. Gagasan untuk memaafkan koruptor, jangan-jangan hanya akan memperkuat budaya permisif terhadap korupsi sehingga publik berisiko menormalisasi perilaku tersebut. Budaya di sini juga berarti pentingnya pendidikan antikorupsi secara menyeluruh yang mendorong masyarakat untuk melihat korupsi sebagai tindakan yang tidak dapat ditoleransi.

Ketiga, Cegah menggarisbawahi pentingnya upaya preventif untuk mencegah korupsi sebelum terjadi. Hal ini berkaitan dengan penguatan sistem pengawasan, reformasi birokrasi, transparansi dan akuntabilitas. Dalam konteks ini, sulit untuk membayangkan bagaimana rencana memaafkan koruptor dapat berkontribusi pada upaya pencegahan.

Bagaimana kita memastikan bahwa proses pengembalian uang hasil korupsi tidak dimanipulasi oleh pejabat atau lembaga yang korup? Tanpa sistem pengawasan yang ketat, kebijakan ini malah bisa menjadi ladang subur untuk penyalahgunaan.

Adoption, Block, Cooperation

Sementara itu, strategi ABC yang kedua mencakup Adoption, Block, Cooperation. Adoption menekankan perlunya mengadopsi kebijakan dan aturan hukum yang tegas dan ditegakkan dengan sebagaimana seharusnya. Kebijakan seperti pengembalian uang negara bisa dilihat sebagai langkah restoratif, tetapi tanpa disertai hukuman yang tegas jelaslah tidak adil bagi publik. Hukuman tetap diperlukan untuk memastikan bahwa korupsi adalah kejahatan serius dan merusak sendi-sendi kehidupan bernegara.

Adapun kerangka Block adalah memblokir atau menutup peluang untuk korupsi, baik melalui perbaikan regulasi maupun pengawasan ketat. Memblokir peluang korupsi melalui reformasi sistemik, menghapus celah dalam regulasi, memperkuat sistem pengawasan, dan memanfaatkan teknologi melalui sistem digital seperti blockchain untuk memastikan transparansi dalam pengelolaan anggaran dan pengadaan barang/ jasa.

Sementara itu, dalam konteks Cooperation, langkah kolaboratif diperlukan melalui kerja sama lintas sektor untuk memberantas korupsi, termasuk kerja sama internasional untuk melacak aset hasil korupsi. Karena korupsi adalah musuh bersama, maka menghadapinya juga membutuhkan kolaborasi bersama semua pihak (multiaktor) di semua level (multilevel).

Kedua strategi ABC di atas harus diintegrasikan sebagai bagian dari usaha pemberantasan korupsi yang holistik. Menggabungkan pencegahan, penindakan, dan kolaborasi adalah jalan yang lebih optimistis untuk menciptakan Indonesia yang bebas korupsi.

Lebih lanjut, Prabowo perlu segera memberikan klarifikasi, agar pernyataan tersebut tidak berkembang liar menciptakan kontroversi yang mereduksi legitimasi pemerintah. Budaya kita, bangsa Indonesia, mungkin memang mudah memaafkan, tetapi memaafkan koruptor adalah sebuah jalan kemunduran.

Hanya dengan keberanian untuk bertindak tegaslah, Indonesia dapat membangun masa depan yang bersih dan bermartabat menuju cita-cita Indonesia Emasi 2045.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img