.
Thursday, November 14, 2024

Aktif Mengajar, Anak Didiknya Berprestasi

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Sadikin Difabel Melukis dengan Kaki dan Mulut

Sadikin, difabel fisik tanpa kedua tangan melukis dengan kaki dan mulutnya. Ia dikenal luas karena karyanya. Sadikin pun membagi ilmunya di sejumlah sekolah di Kota Malang.

MALANG POSCO MEDIA – Sadikin, difabel yang lahir tanpa lengan berharap dan terus  berusaha agar difabel mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dengan orang pada umumnya.

Sadikin menegaskan bahwa difabel mempunyai hak yang sama dan bisa berprestasi.  Ia berharap agar difabel tidak dipandang sebelah mata.

“Bahwa difabel ini bukan menjadi suatu halangan. Difabel itu mempunyai hak yang sama, prestasi yang sama, dan saya menggagap difabel ini bukan hambatan,” tutur Sadikin ditemui, Senin (11/11) kemarin.

Sadikin sejak tahun 2010 mulai mengajar di sekolah-sekolah. Ia mengajar di SLB Bhakti Luhur Malang dan SD Santa Maria Malang.

Kemudian sekitar tahun 2016 Sadikin membuka les melukis di galeri miliknya. Disebut Sadikin Pard Gallery, berlokasi di Jalan Selat Sunda Kota Malang.

“Yang saya ajar di sekolah anak SD Santa Maria. Yang di Bhakti Luhur itu anak SD, SMP SMA. Kalau yang di galeri mulai dari anak berusia 4,5 tahun sampai ada juga yang sudah insinyur,” urai pria berusia 50 tahun tersebut.

Sadikin mengajar difabel. Selama mengajar, ia  menemukan hasil karya anak didiknya tak  kalah jauh dengan orang pada umumnya.

Bahkan salah satu karya anak didiknya di SLB Bhakti Luhur Malang dapat terjual dengan harga Rp 45 juta.

“Ternyata setelah mengajari anak-anak, saya merasakan bahwa anak-anak ini kalau ada perhatian khusus sebetulnya sama dengan orang lain. Cuma progresnnya harus sabar dan tekun untuk mendidik,” kata alumnus SMA Santa Maria Kota Malang tersebut. 

Perubahan anak didiknya pun disebut signifikan. Hal ini picu oleh cara mendidik, termasuk dengan memberikan kasih sayang, bukan hanya ilmu.

“Perubahan signifikan ini caranya memberi kasih sayang. Umumnya para pengajar itu hanya membagikan ilmu, belum sampai ke kasih sayang yang mendalam,” katanya. 

Sadikin belajar melukis secara otodidak sejak ia duduk di bangku taman kanak – kanak (TK). “Waktu TK kegemaran melukis muncul. Karena zaman TK dulu pelajarannya melukis, menyanyi, dan menari,” lanjutnya.

Anak didiknnya terkadang diajak melukis secara on the spot di Jalan Ijen Kota Malang, ke air terjun, hingga ke Bromo.

Sadikin berpikiran bila difabel harus sama dengan orang pada umumnya. Bahkan, sampai kini pun, kata Sadikin, dirinya mengikuti perlombaan melukis dalam kategori umum.

“Saya kalau mau bertanding bukan cuma dengan difabel, bagi saya kurang tantangan. Tapi kalau dengan umum itu lebih menantang,” tegasnya.

Awalnya Sadikin tidak mau sebagai pengajar. Tapi karena adanya tawaran untuk mengajar di sekolah-sekolah, Sadikin menjadikannya sebagai sesuatu tantangan. Juga  untuk membagi ilmu.

Sadikin tergabung dalam assosiation of mouth and footh painting artist (AMFPA) yang ada di Swiss. Setiap tahunnya, Sadikin mengirimkan 15 karya lukisan ke Swiss untuk diseleksi oleh dewan juri.

AMFPA sebuah organisasi  yang mewadahi seniman-seniman disabilitas yang melukis menggunakan mulut atau kaki dari berbagai penjuru negara.

Dengan berbagai jadwal yang padat untuk mengajar, Sadikin tidak lupa membagi waktunya untuk tetap berkarya dan mengisi waktu dengan keluarga.

“Saya membagi waktu Senin sampai Rabu untuk berkarya. Kamis, Jumat, Sabtu saya berbagai ilmu, mengajar. Minggu saya istirahat,  termasuk  berkumpul dengan keluarga,” tutupnya. (den/van)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img