“Saya melihat atraksi politiknya belum selesai, wira-wiri sana-sini saya melihat masih. Saya nggak tahu partai ini ke sana, partai ini ke sini, partai ini ke sana, partai ini ke sini. Jadi masih ngalor ngidul,” kata Jokowi.
Masih ingat kata-kata Presiden Jokowi tentang atraksi politik ini? Disampaikannya saat menghadiri Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) relawan Jaringan Kemandirian Nasional di Kota Cirebon, 29 Agustus 2023 lalu.
Saat itu, Presiden Jokowi mengingatkan agar pendukungnya tak terburu-buru dalam menentukan pilihan di Pilpres 2024. Sebab, menurutnya, atraksi yang dilakukan partai politik saat ini masih belum selesai.
Ya, makin ke sini, makin banyak atraksi. Terbaru, organisasi relawan Pro Jokowi (Projo) menyatakan mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Rasanya semakin mempertegas posisi Presiden Jokowi untuk mendukung kemenangan Prabowo. Seolah membenarkan baliho yang bertebaran bertuliskan “Wayahe Probowo”.
Baliho tersebut memasang foto Prabowo bersanding dengan Jokowi dengan memberi kutipan di bawahnya. Kutipan dari Presiden Jokowi: “Setelah ini jatahnya Pak Probowo”.
Atraksi sebelumnya dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Memilih sang putra presiden, Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI. Di saat sang ayah masih menjadi ‘petugas partai’ lain.
Selain itu PSI juga menggugat Mahkamah Konstitusi perihal batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. PSI meminta MK mengubah batas usia capres-cawapres dari 40 menjadi 35 tahun.
Permohonan ini dianggap politis karena PSI dan koalisi Prabowo disebut-sebut berniat mengusung Gibran Rakabuming yang kini berusia 36 tahun. Lagi-lagi sebuah atraksi politik.
Ada lagi sinyal kuat dukungan Jokowi pada Prabowo. Dalam rangkaian acara HUT ke-25 PAN, Prabowo mengumumkan nama baru kerja sama politik pengusungannya adalah Koalisi Indonesia Maju, dari semula Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
Penggantian nama koalisi pada akhir bulan Agustus 2023 ini mengesankan dukungan Jokowi yang lebih memihak kepada Prabowo. Lantaran Indonesia Maju sudah identik dengan Jokowi.
Atraksi politik lainnya adalah dengan hengkangnya PKB dari Koalisi Indonesia Maju. Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar mungkin sudah paham, dirinya tak akan bisa jadi cawapres dari Prabowo.
Maka bergeserlah PKB dan bergabung dengan Nasdem dan PKS dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Sekaligus mendeklarasikan Muhaimin sebagai cawapres, mendampingi Anies Baswedan.
Dampak atraksi politik ala PKB ini, membuat Demokrat memilih keluar dari koalisi yang dibangun Nasdem dan PKS. Lalu Demokrat gabung Koalisi Indonesia Maju, mengusung Prabowo sebagai capres.
Nasdem, PKS dan PKB percaya diri mengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Meski ada ‘risiko’ besar untuk Nasdem yang disebut-sebut melakukan oposisi terhadap pemerintahan Jokowi.
Terbukti Menteri dari Nasdem ‘dihabisi’. Bisa jadi itu karena Nasdem tak lagi se-koalisi dengan pemerintah, dalam hal ini tentunya PDIP yang menempatkan petugas partainya sebagai presiden.
Mengusung Anies yang bukan dari kader partai mana pun, adalah atraksi cukup berani dari Nasdem. Ya baguslah, setidaknya membuat kasus-kasus korupsi jadi terkuak, meski harus dipolitisasi. (*)