Oleh: Faridi
Dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Malang
Secara substantif risalah utama yang dibawa semua agama memiliki kesamaan. Sama-sama menyejukkan dan memberi penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dapat disimpulkan ajaran semua agama membuka wawasan martabat kemanusiaan secara universal, bukan sebatas internal agama, warga suku, kelompok, atau kelas sosial tertentu.
Kesamaan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan banyak ditemukan dalam ajaran agama-agama dan dapat dijadikan dasar bagi tumbuh suburnya beragama yang menyejukkan. Misalnya: “…….dan berbuat baiklah kepada semua orang sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. al-Qashas (28): 77); “Apa yang kamu sendiri tidak inginkan janganlah kamu lakukan kepada orang lain” (Confusius,551-486 SM); “Apa yang kamu inginkan dari orang lain untuk dilakukan kepada kamu, maka lakukan juga kepada mereka” (Yesus dari Nazareth);
“Keadaan yang tidak menyenangkan ataupun menyenangkan bagiku akan demikian juga bagi dia, dan bagaimana aku bisa membebani orang lain dengan keadaan yang tidak menyenangkan bagiku” (Budhisme). “Ia adalah kamu, saya adalah kamu dan semua makhluk adalah sama, sehingga bila kita menolong orang lain berarti juga menolong diri kita sendiri” (Tat Twan Asi dalam Kitab Weda).
Ajaran tersebut menunjukkan sesungguhnya semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan, cinta kasih, keadilan dan menentang semua bentuk kekerasan. Tidak pernah ditemukan dalam ajaran agama bahwa semakin sering mencaci, menjelek-jelekan agama atau keyakinan orang lain, semakin sempurna iman seseorang. Kita memang dituntut meyakini sepenuhnya agama yang kita yakini, namun dilarang merendahkan agama orang lain, apalagi menyakiti penganut agama lain.
Dalam sejarah kehidupan manusia, agama acapkali tidak selalu artikulatif, suasana paradoks sering menyertai kehidupan penganut agama. Agama kerap dipolitisir demi kepentingan sesaat. Akibatnya agama tidak lagi mencerahkan, sebaliknya rentan memicu timbulnya prahara
kemanusiaan, penuh dengan muatan-muatan sentimen yang dapat memburamkan misi dari agama itu sendiri, yakni rahmatan lil-alamin.
Tidak sulit menemukan narasi-narasi dari tokoh-tokoh agama baik di televisi, radio, tempat ibadah, maupun pengajian-pengajian yang kurang menguntungkan bagi pencerahanan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka tidak segan-segan mengibarkan kebencian, permusuhan satu sama lain, saling mengkafirkan dan memvonis orang lain (yang bukan golongan mereka) sebagai calon penghuni neraka.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada bulan September 2019 merilis laporannya mengenai intoleransi keagamaan di Indonesia. Hasil survei tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas warga, sebanyak 62,1 persen tidak pernah mendengar ajakan untuk saling menghormati kelompok agama lain terutama kelompok minoritas. Sementaraa itu 34,6 persen pernah mendengar ajakan tersebut dengan variasi dan intensitas yang beragam (Tim CNN Indonesia, 2019).
Hasil survei di atas memang tidak sepenuhnya mencerminkan realitas yang sebenararnya di lapangan, namun hasil survei itu setidaknya dapat menjadi alarm dini bahwa semua elemen tak terkecuali organisasi sosial keagamaan perlu bersama-sama mengambil langkah-langkah antisipatif guna mencegah menjamurnya kekerasan di masyarakat.
Narasi-narasi yang tidak mencerahkan tersebut menjadi salah satu penyebab timbulnya “kegagapan” dalam menyikapi masalah keragaman. Keterbatasan pengetahuan memahami agama, memunculkan pemahaman skripturalisme. Pemahaman yang menempatkan agama hanya sebatas teks-teks yang terkandung di dalamnya, mengabaikan substansialisasi dan kontekstualisasi keagamaan itu sendiri.
Quraish Shihab (2020) menggambarkan bahwa ekstremisme dan radikalisme seringkali muncul akibat kesalahan dalam menginterpretasikan ajaran agama. “Para pelaku” kesalahan ini sering menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi, tetapi dengan pemahaman yang tesktual dan keluar dari konteksnya.
Mereka juga biasa merujuk pada karya-karya ulama lama yang memberikan solusi untuk kondisi masyarakat pada zamannya, namun solusi tersebut tidak selalu sesuai dengan kondisi yang berlaku saat ini.
Konflik yang terjadi antar pemeluk agama disebabkan arogansi klaim kebenaran dan pemaknaan yang tidak tepat. Selain karena minimnya pemahaman mengenai realitas keragaman suku, agama, etnis, dan budaya di Indonesia (Prasojo, 2023).
Arogansi klaim kebenaran dan doktrin pemaknaan yang kurang tepat tidak bisa disederhanakan karena dapat melahirkan doktrin eskatologis yang sangat kuat di benak sebagian masyarakat, dan menganggap apapun yang ia lakukan merupakan jalan terbaik untuk bisa membawanya berikut keluarganaya ke surga.
Tidak bisa dipungkiri, keberagaman di Indonesia merupakan realitas obyektif, baik dalam tataran sosial maupun keagamaan, penolakan terhadap keragaman dapat menimbulkan ketegangan dan perpecahan di tengah masyarakat. Karena itu, menjadi penting bagi tokoh-tokoh agama untuk tidak lelah memberi pencerahan kepada jamaahnya agar memahami keragaman sekaligus mengembangkan tradisi toleransi, dengan tetap meyakini kebenaran agama masing-masing.
Setiap individu bangsa sebisa mungkin menghindari segala bentuk pemaksaan, kehendak, ancaman dan penyiaran agama yang dapat menimbulkan ketegangan antar pemeluk agama. Menjadi jelas bahwa penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan atas dasar misi semua agama menjadi sangat penting untuk ditanamkan di masyarakat.
Hal ini bertujuan agar mereka memiliki kemampuan dan kesediaan menghargai perbedaan keyakinan maupun perbedaan dalam pelaksanaan ritual keagamaan dari setiap penganut agama. Pemahaman tentang pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan menjadi krusial karena seringkali konflik intoleransi antar agama bermula dari pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan.(*)