.
Thursday, December 12, 2024

Berantas Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh Fajrina Azzuhra Maysarah

Mahasiswa Kesesejahteraan Sosial

Universitas Muhmmadiyah Malang

Kasus kekerasan seksual semakin hari semakin bertambah jumlahnya, terlebih di lingkungan sekolah berasrama. Tidak bisa dipungkiri, kasus-kasus tersebut juga terjadi di pondok pesantren. Dilansir pada 28 Desember 2022, SIMFONI PPA merilis data terkait dengan kekerasan seksual. Tercatat sebanyak 26.522 kasus kekerasan seksual, 4387 korban berjenis kelamin laki-laki dan 24.082 berjenis kelamin perempuan. Mirisnya, mayoritas korban adalah anak berusia 13-17 tahun.

KPAI mendata kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pondok pesantren selama bulan Januari hingga bulan Juli 2022 sebanyak 12 kasus. Penulis yakin, jumlah yang tidak dilaporkan lebih banyak dibanding data yang disajikan. Tercatat pelaku dari kekerasan seksual ini tidak lain adalah oknum pendidik itu sendiri; guru, pengasuh bahkan sosok yang notabennya paling dihormati di lingkungan tersebut, yakni pemimpin mereka sendiri.

World Health Organization (WHO) menegaskan bahwa kekerasan seksual merupakan semua tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan seksual atau tindakan lain yang diarahkan pada seksualitas seseorang dengan menggunakan paksaan tanpa memandang status hubungannya dengan korban.

Peraturan terkait dengan Kekerasan Seksual terhadap anak sudah tertuang dalam UU No.35 Tahun 2014 yang merupakan bentuk perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Pada Pasal 76D dan 76E diatur tentang perlindungan anak terhadap tindakan pencabulan dan juga pemerkosaan. Sudah banyak undang-undang yang meregulasi isu ini, namun faktanya kekerasan seksual terhadap anak masih saja terjadi di lingkungan terdekat mereka.

Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oknum yang berpredikat sebagai anak Kiai terhadap santri pondok pesantren di Jombang sempat ramai dibicarakan pada tahun 2019 lalu adalah salah satu contoh nyata. Pada tahun 2021, oknum guru ngaji yang juga sebagai pimpinan pondok pesantren di Bandung juga melakukan pencabulan terhadap 13 santriwatinya. Beberapa korban mengalami kehamilan dan beberapa telah melahirkan. Dua kasus tersebut merupakan kasus nyata yang membelalakkan mata.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren jarang terungkap karena biasanya pelaku memiliki power atas korbannya. Sebagian dari mereka memilik kedudukan tinggi, mereka sosok yang dihormati dan disegani atau sosok pelindung yang ada dalam lingkup aktivitas harian terkecil santri, asrama.

Hal ini menyebabkan sulitnya menumbuhkan rasa percaya terhadap apa yang sudah dilakukan pelaku terhadap korban. Tak hanya itu, ancaman yang diberikan pelaku terhadap korban juga membuat para korban tidak punya keberanian untuk melaporkan perbuatan keji tersebut.

Kasus kekerasan seksual di lingkungan pondok pesantren ini tentunya mencoreng nama baik pondok pesantren itu sendiri. Akibatnya, kepercayaan para orang tua dan khalayak ramai menipis. Hal ini tentunya bisa merusak reputasi pondok pesantren yang telah menjadi lembaga pendidikan bercirikan Islam dan kental budaya nusantara.

Idealnya, pondok pesantren merupakan tempat untuk menimba ilmu agama dan ilmu kehidupan yang menjadi tempat aman dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Namun rasa aman tersbut kini mulai terusik dengan adanya kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum pendidik pada para santrinya.           Keberadaan pendidik dan santri di kawasan yang hanya bisa diakses oleh komunitasnya dapat membuat kekerasan seksual ini tersamarkan dan sulit dijangkau. Hal ini tentunya akan sangat berbahaya jika tidak segera dituntaskan.

Pendidikan seksualitas atau yang lebih dikenal dengan tarbiyatul jinsiyyah bisa menjadi solusi untuk pencegahan kasus ini. Pendidikan seksualitas tersebut tentunya harus diberikan sesuai dengan usia santri. Pendidikan seksualiats akan berperan dalam memberikan pemahaman kepada para santri tentang kendali dan hak yang dimiliki oleh tubuhnya dan organ seksual yang dimiliki agar santri mampu bertanggug jawab dengan cara merawat dan menjaga tubuh mereka sendiri dari kekerasan seksual.   

Selain itu, dalam pendidikan seksualitas juga ditanamkan etika terkait bagaimana menghormati tubuh orang lain dan cara untuk bersikap pada lawan jenisnya. Edukasi ini penting untuk membuka tabir tabu dan menepis kekhawatiran orang tua atas salah persepsi dalam memahami pendidikan seksualitas. Orang tua masih memahami bahwa pendidikan seks itu adalah tentang bagaimana melakukan hubungan seksual. Hal ini sering menjadi faktor penghambat implementasi pendidikan seksualitas di dunia pendidikan.

Sosialisasi pencegahan dan alur penanganan saat terjadi kasus kekerasan seksual hendaknya menjadi perhatian utama. Faktanya, banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di lapangan dan mendapat pengabaian lantaran ketidaktahuan masyarakat untuk melakukan apa dan melaporkan kepada siapa. Sehingga poin ini menjadi esensial untuk ditindaklanjuti.

Posko layanan pengaduan khusus juga bisa menjadi solusi. Posko ini dapat berupa layanan yang cepat tanggap yang membantu untuk mempermudah dalam memberikan bantuan kepada korban secara cepat. Selain itu pembentukan tim khusus yang dibentuk di pondok pesantren juga diperlukan dalam menangani kasus kekerasan seksual ini.

Tim ini berfokus dalam pencegahan, penanganan dan pendampingan kekerasan seksual internal pondok pesantren. Keterbukaan dan kerja sama pihak internal pondok dengan satuan tugas lapangan dalam hal penanganan kekerasan seksual menjadi kunci penting dalam setiap penanganan kasus ini.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img