Oleh: Djajusman Hadi
Penemu Kincir Air Kaki Angsa
di Universitas Negeri Malang
Pernahkah terbayangkan kalau tidak lama lagi kita akan mengalami krisis bahan bakar minyak? Keterbatasan akses listrik sekarang ini sudah menjadi sindrom penyakit menular. Ironisnya, kondisi krisis ini tidak hanya melanda kepulauan tertentu saja, tapi sudah berimbas pada ibu kota Jakarta sehingga berakibat lumpuhnya aktivitas perkantoran dan pemerintahan karena pemadaman listrik diatur secara bergiliran.
Kekhawatiran ini akan semakin mengancam tatkala musim kemarau dan badai El Nino yang telah melanda di Indonesia karena dengan menurunnya debit air akan mengakibatkan kekurangan pasokan air untuk pembangkit listrik. Seraya tanggal 27 Oktober diperingati sebagai Hari Listrik Nasional, maka langkah konkrit apa yang harus kita sikapi?
Sebagai contoh di Batam secara krusial mengalami kekurangan listrik, bahkan bukan hanya kurang, daerah tersebut sampai mengalami krisis pasokan listrik yang mana reserve margin atau cadangan daya pembangkit terhadap beban puncak di sana hanya sebesar 3 persen. Dalam menangani permasalahan tersebut bisa dilakukan dengan membangun pembangkit listrik di Batam dengan memanfaatkan energi terbarukan di wilayah tersebut. Dalam membuat pembangkit listrik juga harus mempertimbangkan harus energi bersih yang bisa dimanfaatkan seperti tenaga surya dan tenaga angin (CNBC Indonesia.com, 26/5/23).
Memahami kondisi di atas, maka langkah preventif untuk mencegah datangnya krisis dan biaya listrik yang tinggi tersebut, perlu membumikan budaya hemat energi yaitu dengan upaya penghematan listrik. Selain itu, dapat dilakukan melalui konservasi dan inovasi yang didukung oleh komitmen bersama dari seluruh bangsa Indonesia. Sumber energi, dalam hal ini BBM, yang selama ini menjadi pemasok kebutuhan kita akan energi, disadari atau tidak daya pasoknya semakin lama semakin berkurang. Berkurangnya daya pasok ini lebih disebabkan oleh karena ketersediaannya yang juga semakin hari semakin berkurang.
Parahnya lagi, selama ini kita selalu berperilaku boros terhadap energi. Hal ini mungkin karena kita terlena oleh melimpahnya jumlah cadangan minyak, dibandingkan negara lain yang miskin SDA. Namun, saat ini sudah semakin terasa dengan mahalnya harga BBM hingga berdampak pada biaya produksi listrik.
Kita sama sekali tidak menyadari kalau BBM sebagai sumber energi utama ini merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan (non renewable). Perilaku boros tersebut semakin lama semakin melembaga dan menjadi budaya bagi bangsa kita. Cadangan BBM yang semakin berkurang yang diperparah dengan tingkat kebutuhan yang semakin meningkat merupakan jalan lempang menuju krisis energi (BBM).
Budaya Hemat Energi
Upaya signifikan untuk menghindari krisis dimaksud haruslah menjadi sebuah kebutuhan yang tak terelakkan. Dalam konteks itu, upaya untuk mengefisienkan penggunaan energi merupakan salah satu upaya signifikan yang dapat dilakukan oleh semua orang dengan mudah dan murah. Bahkan untuk mengefisienkan penggunaan energi dapat dimulai dengan suatu kebiasaan. Artinya upaya untuk memulai kebiasaan tersebut adalah dengan ”membumikan budaya hemat energi dengan langkah menghemat listrik” yang orientasinya akan menjadi trend membudaya di masyarakat.
Kebiasaan ini harus mulai ditanamkan mulai anak-anak untuk berperilaku hemat energi. Semisal begitu keluar rumah lampu-lampu yang tidak berfungsi ”wajib” dimatikan. Atau tertib menghidupkan dan mematikan televisi apabila acaranya sudah selesai ditonton. Tugas ini harus ditanamkan oleh orang tua, pendidik, dan para pimpinan di kantor untuk bertindak disiplin menekankan betul budaya efisiensi energi.
Tapi, bila ditilik lebih dalam, kita bisa mencontoh kesuksesan Jepang, bahwa dengan budaya hemat energi ini yang telah ditanamkan dari orang tua ternyata berdampak signifikan terhadap efisiensi (konservasi) energi. Bayangkan kalau setiap orang tua mempunyai dua orang anak, dimana setip anak memiliki ruang tidur sendiri dengan lampu 25 watt, berapa energi yang dapat dihemat dalam satu harinya? Ini menjadi lebih signifikan karena hardikan tersebut tertanam dalam diri sang anak hingga dia dewasa dan mewariskan budaya sadar terhadap kepentingan vital.
Selain itu, dalam rangka efisiensi penggunaan energi, adalah melakukan audit energi. Hal ini terutama ditujukan untuk industri dan gedung-gedung niaga yang menggunakan banyak energi. Dengan melakukan audit energi, jumlah kebutuhan akan energi yang sebenarnya dapat diketahui dengan jelas.
Dari hasil audit kita dapat mengatahui apakah industri atau gedung dimaksud sudah maksimal menggunakan energi dan langkah yang dapat diambil dalam rangka melakukan penghematan. Dengan melakukan audit energi yang didukung dengan implementasi alat baru, penghematan yang dapat dilakukan mencapai 30 persen.
Dengan melakukan efisiensi energi, kita telah menggunakan dan memperlakukan energi secara bertanggungjawab. Selain itu, dalam kerangka konservasi energi, dengan efisiensi yang kita lakukan juga dapat ’memperpanjang’ daya pasok sumber energi yang ketersediaannya semakin hari semakin berkurang.
Untuk melakukan efisiensi penggunaan energi yang dampaknya signifikan maka program efisiensi energi ini bukan saja dilakukan oleh individu perorangan saja tetapi juga harus didukung oleh kesadaran dan komitmen kolektif. Kesadaran dan komitmen ini diwujudkan dengan memberikan berbagai fasilitas bagi terciptanya efisiensi energi. Tanpa adanya kesadaran dan komitmen kolektif, dampak dari efisiensi dirasakan kurang signifikan.
Tak jauh berbeda dengan upaya efisiensi energi, upaya inovasi sumber energi baru dan teknologi yang ramah energi juga memerlukan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Apalagi Untuk melakukan inovasi dibutuhkan investasi yang cukup besar.
Hal ini dapat dikurangi dengan fasilitas-fasilitas yang diberikan pemerintah. Misalnya fasilitas bebas pajak, sebagai wujud komitmen pemerintah dalam mendukung upaya inovasi tersebut. Oleh karena itu, untuk merintis budaya hemat energi, selain dari Jepang kita dapat belajar dari negara Cina karena dalam berbudaya hemat energi dengan upaya menciptakan teknologi yang dapat menkonversi energi dengan biaya investasi yang kecil karena dukungan pemerintah sangat luar biasa.
Harapan besar jika kelak putra-putra bangsa mampu menciptakan peralatan hemat energi dan adopsi energi terbarukan melalui teknologi penghasil listrik yang mumpuni.(*)