spot_img
Sunday, September 8, 2024
spot_img

Berkurban: Semangat Memberi dan Mental Pemenang

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Imam Afudloli
Plt Kepala TU SMAN 1 Sumbermanjing

          Sering kita mendengar guyonan ala Malangan terkait hari raya idul adha. Diksi cerdasnya seperti ini: ‘’Yokpo rioyo kurban iki beh?  Kurban perasaan ta?.’’ Sekilas kalimat dalam pertanyaan ini sepertinya guyonan sepele. Namun bila ditinjau dari perspektif religius, makanya teramat sangat dalam.  

          Ada periodisasi waktu dari Idul Adha tahun lalu ke Idul Adha tahun ini. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah Idul Adha tahun ini kembali kita hanya bisa berkurban perasaan alias hanya bisa membatin tanpa bisa berkurban sesungguhnya. Padahal ada waktu satu tahun untuk kita menabung atau apapun caranya sehingga saat Hari Raya Idul Adha kita bisa berkurban, minimal kambing atau urunan untuk berkurban sapi.

          Kalau jawabannya tahun ini kita hanya kembali berkurban perasaan (terkhusus perasaan menyesal sembari bertanya mengapa kita tidak mampu berkurban), itu artinya kehidupan spiritual kita sama dengan tahun sebelumnya. Hanya diri kita dan Tuhan yang tahu. Tapi bila Idul Adha tahun ini kita mampu berkurban, minimal kambing maka jelas ada peningkatan kehidupan spiritual dalam diri kita sebagai muslim.

          Pemerintah melalui Kementerian Agama telah menetapkan Hari Raya Idhul Adha jatuh pada 17 Juni 2024. Penetapan ini terkait 1 Dzulhijah jatuh tanggal 8 Juni 2024, sehingga hari raya Idul Adha diputuskan tanggal tersebut. Saudi Arabia pun telah menetapkan Hari Raya Idul Adha jatuh pada 16 Juni 2024. Mengenai perbedaan ini, Kemenag berpesan untuk menciptakan suasana kedamaian agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang penuh dengan kedamaian.

          Perintah berkurban sendiri bagi kaum muslim terdapat di Alquran surat Alkautsar ayat 2. “Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.’’ Asbabun nuzul surat Alkautsar ayat 2 pada buku Bunda Saya Anak Shalih (2020) adalah, pertama orang kafir Quraisy menganggap Nabi Muhammad sebagai orang yang lemah dan tidak memiliki pengikut. Kedua Kaum Quraisy merasa gembira atas meninggalnya putra beliau Qasim dan Ibrahim. Dan ketiga adalah Kaum Quraisy bersuka cita orang-orang mukmin ditimpa musibah.

          Sebagai penjelas perintah berkurban diterangkan pula pada surat Al Hajj ayat 28, 34-35 serta As Saffat ayat 102. Hari Raya Idul Adha erat kaitannya dengan kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Hal ini juga kita dapati dipenjelas perintah berkurban di surat As Saffat 102. Sungguh tingkat keimanan serta keyakinan yang sangat tinggi kepada Tuhannya karena kemampuan untuk melaksanakan perintah penyembelihan anaknya. Luar biasanya, Nabi Ibrahim mampu melakukannya.

          Berkaca pada tingkatan pengorbanan seorang Ibrahim, mari bertanya pada diri kita sendiri apa yang sanggup kita korbankan? Sementara kebanyakan dari kita masih sering memiliki perasaan bahwa apa yang kita cintai di dunia ini adalah milik kita seutuhnya. Kita masih berat untuk melepas atau mengorbankan harta, tahta, dan lainnya untuk kepentingan Allah dan agama Allah.

          Kembali pada makna pengorbanan, kita sebagai manusia yang memiliki tingkat religius yang berbeda-beda, wawasan yang berbeda, serta lingkungan yang berbeda pula, maka pemahaman dan perwujudan pengorbanan juga akan berbeda pula. Semangat Idul Adha adalah wujud penghambaan kepada Allah SWT serta rela berkorban demi sesama. Idul Adha adalah wujud penasbihan diri seorang hamba memiliki manfaat untuk orang lain.

          Pada sisi lain, seorang yang mampu berkurban berarti telah mampu ‘menyembelih’ sifat-sifat yang buruk dalam dirinya. Sifat rakus dan berkuasa atas dirinya adalah pribadi yang tidak membutuhkan orang lain telah mampu dikalahkan. Kemampuan seperti inilah yang dibutuhkan dalam setiap Hari Raya Idul Adha.

          Beralih pada sisi ekonomi, kemampuan berkurban menunjukkan semangat dan etos kerja untuk bisa mewujudkan hewan kurban. Ini bukan soal kaya dan miskin. Tapi soal niat dan ketulusan hamba melaksanakan perintah bverkurban. Karena dengan berkurban maka berpengaruh pada kehidupan sosial. Berkurban tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga tumbuhnya sifat kerukunan sosial yang baik.

          Ilmuwan telah meneliti bahwa perilaku “memberi” dapat memicu terlepasnya endorfin di otak yang efeknya akan menimbulkan perasaan positif. Sebuah penelitian di University of Pittsburgh yang dilakukan oleh Tristen Inagaki, serta penelitian Naomi Eisenberger di University of California tentang studi The Neurobiology of Giving Versus Receiving Support: The Role of Stress-Related and Social Reward-Related Neural activity menjelaskan bahwa fungsional magnetic resonance imaging (FMRI) untuk memonitor kinerja saraf saat seseorang memberi dan menerima. Ternyata otak lebih memancarkan citra positif saat memberi.

          Berpedoman pada penelitian di atas, sebagai makhluk sosial dan tumbuh kembang dengan orang lain dalam masyarakat, berbagi dengan sesama harusnya bukanlah sesuatu hal yang sulit. Disadari atau tidak ketergantungan setiap orang akan orang lain bersifat mutlak. Baik untuk memenuhi kebutuhan manusia secara pribadi maupun kelompok.

          Ibrahim sudah mengajarkan secara nyata; demi kecintaan dan wujud penghambaan kepada Allah SWT, Ibrahim rela mengorbankan anak kesayangannya Ismail. Begitu juga Ismail, sebagai putra juga ikhlas ketika Ibrahim menyampaikan perintah Allah untuk menyembelihnya. Bahkan Ismail memberikan keyakinan dan jaminan kepada Ibrahim, bila perintah itu dilaksanakan maka Ibrahim akan mendapati putranya sebagai orang yang sabar.

          Idul Adha mengajarkan kita semua untuk memiliki sifat taat, sabar, ikhlas dan berani berkurban. Karena siapa yang berani berkurban, dia lah yang dijanjikan Allah sebagai pemenang. Karena Allah pasti akan membalas pengorbanan kita dengan balasan yang lebih baik.(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img