Mengambil langkah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi merupakan cita-cita bagi banyak pelajar. Terutama bagi mereka yang baru saja menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA. Impian untuk kuliah di universitas sering kali menjadi tujuan yang sangat diinginkan.
Nyatanya, upaya dan usaha saja belum cukup sebagai modal untuk dapat merasakan nikmatnya menimba ilmu di bangku kuliah bagi sejumlah calon mahasiswa. Faktor finansial menjadi hambatan yang mampu meredam segala usaha keras yang telah dilakukan agar dapat memakai almamater impian.
Lagi dan lagi, biaya menjadi permasalahan utama. Kenaikan biaya kuliah yang terjadi setiap tahunnya menjadi kabar buruk terutama bagi orang tua mahasiswa yang berada dalam kategori pendapatan menengah ke bawah. Situasi ini juga menjadi ancaman serius bagi mahasiswa yang memiliki tekad untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, namun terbatas oleh faktor finansial.
Universitas Brawijaya (UB) menjadi contoh universitas yang kini ramai diperbincangkan di media sosial. Bagaimana tidak, terdapat calon mahasiswa baru yang dinyatakan lulus namun akhirnya memilih untuk mengundurkan diri. Sebanyak 513 calon mahasiswa mengundurkan diri. Di antaranya 430 berasal dari jalur Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) dan 83 lainnya dari jalur Seleksi Nasional berbasis Prestasi (SNBP).
Hemat penulis, problem tersebut tidak jauh dari dampak kebijakan baru yang telah disahkan oleh rektor UB. Kebijakan ini terkait dengan Peraturan Rektor Universitas Brawijaya Nomor 44 Tahun 2023 tentang tarif layanan pendidikan program diploma dan sarjana.
Dalam aturan tersebut, diatur berapa jumlah golongan UKT yang harus dibayarkan oleh calon mahasiswa baru. Sebelum Pertor tersebut berlaku, UB hanya memiliki 6 tingkatan golongan UKT. Namun, dengan adanya peraturan ini, terdapat penambahan 2 tingkatan golongan biaya yang berlaku untuk semua fakultas di UB. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan biaya kuliah yang harus ditanggung.
Padahal baru berlalu kurang dari dua tahun sejak UB meraih status sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), kebijakan terbaru yang diberlakukan sudah membuktikan prediksi yang sebelumnya telah ditegaskan oleh mahasiswa dan akademisi UB. Bahwa salah satu dampak ketika berstatus PN-BH adalah kenaikan drastis biaya kuliah. Nahasnya kenaikan tersebut langsung menghantam calon mahasiswa baru.
Sejatinya, tujuan pengelompokan biaya UKT agar biaya kuliah dapat disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua mahasiswa. Konsep ini diharap dapat membantu meringankan biaya kuliah bagi mahasiswa. Namun kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Pengelompokan UKT yang semestinya dianggap sebuah solusi, malah berdampak sebaliknya.
Banyak mahasiswa yang merasa frustrasi karena golongan UKT yang ditetapkan tidak sesuai dengan kondisi ekonomi keluarganya. Dan hal ini masih menjadi keluhan yang sering terdengar. Bahkan, beberapa mahasiswa yang mencoba mengajukan bantuan keuangan seperti penurunan biaya, pembebasan sementara, pengangsuran, menghadapi penolakan dari pihak kampus.
Alasan dari penolakan pun tidak dijelaskan secara transparan, dan tampaknya pihak kampus tidak berupaya mencari alternatif solusi lain yang dapat membantu mahasiswa agar tetap bisa melanjutkan pendidikannya.
Bagaimana Peran Negara?
Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan NKRI yang tertera pada pembukaan UUD 1945. UU NRI Tahun 1945 Pasal 31 Ayat (1) juga menegaskan bahwa, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dalam hal ini berarti negara memiliki kewajiban untuk memenuhi hak warga negaranya dalam pendidikan.
Pertanyaannya apakah pendidikan di negeri ini sudah bisa diakses oleh berbagai kalangan? Sudahkah menggunakan konsep keadilan? Kesetaraan? Agar semua mampu merasakan pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi? Faktanya saat ini makin memperlihatkan dan membuktikan bahwa pendidikan kian tahun makin mahal dan terasa sulit untuk diakses.
Tentu ini tidak lepas dari peran pemangku kebijakan. Ketidakjelasan aspek yang dinilai saat menyusun regulasi. Faktor pertimbangan yang abstrak dalam menentukan kategori biaya. Serta mekanisme yang ambyar dilakukan ketika merumuskan regulasi. Merupakan segenap kecacatan yang dilakukan dan pada akhirnya akan menimbulkan biaya mahal dan tidak terjangkau.
Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kesalahan dalam mengelola sistem pendidikan disebabkan oleh para pembuat kebijakan, terutama mereka yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Konstitusi UUD 1945 tidak dijadikan acuan dan landasan dasar dalam merumuskan kebijakan yang strategis. Akibatnya, terjadi pergeseran nilai dalam pendidikan yang cukup signifikan, dari yang sebelumnya bersifat konstruktif menjadi lebih cenderung bersifat diskriminatif dan destruktif.
Pendidikan Model Bisnis
Saat ini, situasi pendidikan di Indonesia tidak tampak netral, independen, dan bebas dari pengaruh berbagai kepentingan. Sebaliknya, terlihat makin terjerat oleh pengaruh maha besar yang menjadikan pendidikan terlihat sebagai alat bagi para penguasa.
Moh. Yamin (2020) menjelaskan bahwa pendidikan selama ini berada dalam tarik menarik dua kepentingan besar. Pertama adalah kepentingan material bagaimana pendidikan mampu dijadikan ladang bisnis untuk menguras habis uang rakyat dan negara.
Kedua, masih dalam kepentingan material yaitu pendidikan dimanipulasi sebagai alat “memperluas akses dan memperkuat jejaring” sehingga akan memperbanyak peluang untuk memanfaatkan pendidikan sebagai lahan bisnis yang melipatgandakan pendapatan.
Orientasi pendidikan sebagai “barang dagangan” sesungguhnya sudah menjadi keprihatinan dari pemikir-pemikir dunia terdahulu semacam Ivan Illich, Margaret Mead, Pierre Bourdieu, Paulo Freire, dan para pemikir lainnya. Dalam beberapa literaturnya mereka telah memperingatkan bahwa neoliberalisme yang semula hanya berfokus pada sektor ekonomi, telah merembes ke pelbagai bidang, khususnya pendidikan.
Kini ruang pendidikan, utamanya kampus terlihat tak lebih dari sekadar perusahaan yang sedang berdagang (tempat bisnis). Pendidikan layaknya komoditas yang diperjualbelikan. Bahwa untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, harus memiliki banyak uang. Konsep semacam ini hanya akan melahirkan penyakit-penyakit kebodohan, kemiskinan, dan akan menimbulkan masalah besar bagi bangsa dan negara.
Sehingga perlu upaya keras yang harus dilakukan oleh pemangku kebijakan untuk menata ulang konsep pendidikan. Sekiranya, Paulo Freire berpendapat bahwa pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia.
Sudah waktunya pendidikan memiliki visi dan misi yang kokoh, tidak berganti-ganti seiring pergantian kabinet. Pendidikan Indonesia harus dibawa dengan sedemikian reformatif, transpormatif, dan pastinya mampu diakses oleh semua lapisan masyarakat demi masa depan bangsa yang lebih baik. Bravoo!!! (*)