Oleh: Sayyidatul Awalia Nuzula, S.Si
Laboran SMA Islam Sabilillah Malang Boarding School
Memperoleh peringkat atas belum tentu artinya menjadi yang terbaik. Indonesia menduduki peringkat keempat penduduk terbanyak di antara negara G20. Bersumber dari World Population Review menyebutkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,5 juta orang per 1 November 2022. Jumlah penduduk yang banyak berbanding lurus dengan jumlah sampah yang dihasilkan.
Indonesia menyandang gelar penyumbang sampah terbesar kedua di dunia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2021 mencatat volume sampah di Indonesia sebanyak 68,5 juta ton dan tahun 2022 meningkat menjadi 70 juta ton. Terdapat 24 persen atau sekitar 16 juta ton sampah yang tidak dikelola. Hanya 7 persen yang terdaur ulang dan 69 persen yang masuk di TPA.
Kesadaran masyarakat terkait sampah ini berpengaruh sangat besar. Masyarakat masih beranggapan TPA adalah Tempat Pembuangan Akhir sehingga mereka tidak memperdulikan sampah yang dibuang. Padahal, Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, TPA merupakan singkatan dari Tempat Pemrosesan Akhir, yaitu tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman, baik bagi manusia maupun lingkungan.
Undang-Undang tersebut juga menekankan tentang perlunya perubahan pola pengelolaan sampah konvensional menjadi pengelolaan sampah yang bertumpu pada pengurangan dan penanganan sampah. Metode dan penanganan sampah secara benar akan mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Pengurangan sampah dapat dilakukan dengan kegiatan pembatasan timbunan sampah, mendaur ulang dan memanfaatkan kembali sampah dengan 3R (Reduce, Reuse,dan Recycle).
Berdasarkan data KLHK, komposisi sampah didominasi oleh sampah organik, yakni mencapai 60 persen dari total sampah. Sampah plastik menempati posisi kedua dengan 14 persen disusul sampah kertas 9 persen dan karet 5,5 persen. Sampah lainnya terdiri atas logam, kain, kaca, dan jenis sampah lainnya.
Bagian dari sampah organik tersebut berdasarkan data pengolahan sampah tahun 2017/2018, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) limbah makanan menyumbang sebesar 46,75 persen dari total sampah di Indonesia.
Kenyataannya, limbah makanan yang berjumlah besar tersebut disumbang dari rumah tangga, bukan dari supermarket atau pasar tradisional. Kebiasaan rumah tangga seperti melebihkan porsi dan latah membeli makanan viral yang belum tentu disukai menjadi faktor besarnya jumlah limbah makanan di Indonesia.
Meskipun terlihat tidak berbahaya dibanding sampah anorganik yang tidak dapat terurai, ternyata sampah organik yang tidak dikelola dengan baik dapat menghasilkan cairan leachate yang berbahaya. Cairan ini dapat mengurangi kualitas tanah dan air di sekitarnya. Selain itu, tumpukan sampah organik juga menciptakan gas metana yang apabila disimpan dalam kondisi tertutup, kekurangan sinar matahari dan oksigen, dapat meledak.
Gas rumah kaca juga dihasilkan dari proses anaerobik sampah organik. Gas tersebut dapat memerangkap panas 30 kali lebih besar daripada karbondioksida yang tentunya mempercepat pemanasan global. Bencana yang diakibatkan gas dari sampah organik ini pernah terjadi di TPA Leuwigajah di Cimahi, Bandung. Akibatnya 157 warga tertimbun longsoran sampah dan 8,5 hektar lahan milik warga rusak.
Mengurangi limbah makanan di rumah artinya harus mengubah kebiasaan buruk. Bijak dalam memilih, mengolah dan mengonsumsi makanan akan mengurangi jumlah limbah makanan di Indonesia. Jika dalam satu rumah tangga dapat mulai mengurangi pembuangan limbah sebanyak 10 persen, maka dalam satu wilayah limbah makanan akan berkurang cukup signifikan.
Sampah dapur menjadi salah satu limbah rumah tangga yang tidak dapat dihindari. Contohnya kulit sayur, kulit buah dan bagian dari buah dan sayur yang tidak dapat dikonsumsi. Bahan-bahan yang sudah tidak dapat dimakan tersebut dapat dimanfaatkan kembali menjadi produk yang multiguna dan bernilai ekonomi.
Memanfaatkan kemampuan metabolik dari mikroorganisme dalam memfermentasi, Dr. Rosukon Poompanvong pendiri Asosiasi Pertanian Organik Thailand memperkenalkan metode pengolahan sampah organik yang disebut dengan ecoenzyme. Ecoenzyme adalah hasil dari fermentasi limbah dapur organik seperti ampas buah dan sayuran yang ditambahkan dengan gula (gula coklat, gula merah atau gula tebu), dan air dengan perbandingan 3:1:10 selama 3 bulan.
Hasil dari sampah, bukan berarti menjijikkan. Tampilan dari ecoenzyme ini berwarna coklat gelap dan memiliki aroma fermentasi asam manis segar yang kuat. Ecoenzyme dapat menjadi cairan multiguna yang dapat diaplikasikan di rumah tangga, pertanian dan juga peternakan.
Ecoenzyme mempercepat reaksi bio-kimia untuk menghasilkan enzim bermanfaat menggunakan ampas buah atau sayuran. Enzim mengubah amonia menjadi nitrat (NO3), hormon alami dan nutrisi untuk tanaman. Perubahan CO2 menjadi karbonat (CO3) yang dilakukan enzim juga bermanfaat tidak hanya bagi kehidupan darat saja, tetapi juga bagi tanaman laut dan kehidupan laut.
Karena kandungannya, ecoenzyme membantu siklus alam seperti sebagai penyubur dan mengembalikan kondisi tanah dan air yang tercemar. Selain itu karena sifat desinfektannya, ecoenzyme dapat diaplikasikan ke produk pembersih rumah tangga seperti shampoo, pencuci piring, deterjen dan lain-lain.
Kemampuan ecoenzyme dalam melakukan desinfektan terjadi karena adanya kandungan alkohol dan asam asetat yang dihasilkan dari proses metabolisme mikroorganisme yang terjadi secara alami pada kulit buah dan sayur. Respirasi anaerob atau dikenal juga dengan fermentasi, dilakukan oleh mikroorganisme untuk memperoleh energi dari karbohidrat dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen) yang dapat menghasilkan alkohol atau asam asetat, tergantung dari jenis dan aktivitas enzim dari mikroorganisme yang terdapat pada ampas buah atau sayur tersebut. Yeast (ragi) dan beberapa tipe bakteri menghasilkan alkohol sedangkan bakteri yang lain menghasilkan asam asetat.
Mengelola limbah rumah tangga yang dihasilkan sendiri menjadi produk multiguna dan bernilai ekonomis tentunya menambah kebiasaan yang tidak pernah dilakukan sejak lama. Awal percobaan mungkin akan terasa sulit dan takut gagal.
Namun, apabila telah tertanam niat dalam hati untuk dapat melindungi lingkungan, maka sedikit demi sedikit akan terbiasa dalam melaluinya. Perubahan tidak datang dari orang lain melainkan dari diri sendiri. Bijak mengelola sampah akan membawa hasil positif bagi lingkungan dan diri kita sendiri.(*)