MALANG POSCO MEDIA – Dulu, puasa dan lebaran selalu diwarnai dengan petasan. Bahkan selepas salat hari raya, di daerah daerah tertentu ada tradisi menyalakan petasan berukuran besar. Ada yang dijuluki Dul, ada juga Blanggur. Petasan raksasa ini juga selalu dinyalakan dan menjadi penanda waktu berbuka puasa. Blanggur juga menjadi penanda dimulai dan berakhirnya puasa.
Dalam buku Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Orang yang Mengalaminya dituliskan ‘’Dua tempat di Jakarta yang sejak dulu menjadi pedoman masyarakat, yang pertama Masjid Kwitang, yang kedua Masjid Tanah Abang, Baitul Rahman. Pada setiap masuk waktu maghrib di bulan Ramadan, termasuk juga pada waktu Jaman Jepang selalu diledakkan mercon besar sebagai untuk tanda waktu berbuka puasa. Suara ledakan tersebut terdengar sampai Senen, Kwitang, Kramat dan tempat-tempat lainnya. Kami selalu salat Jumat dan taraweh di masjid itu,’’ kata Mohamad Saleh Hadjeli yang hidup di zaman kolonial.
Di Solo, menjelang maghrib, warganya juga duduk duduk di depan rumah menunggu suara gelegar dari mercon raksasa yang menandai waktu berbuka puasa. Karena suara mercon itu berbunyi ‘duul!’ maka orang Solo menyebut ‘Dul’ sebagai saat berbuka puasa,’’ tulis Panji Masyarakat, No 45 Tahun II/24 Februari 1999.
Ramadan tinggal tujuh hari lagi. Namun kita sudah dihebohkan setidaknya dengan dua peristiwa besar yang terjadi di Blitar dan Kabupaten Malang. Kapolres Blitar Kota Ajun Komisaris Besar Polisi Argowiyono mengemukakan ledakan yang terjadi di Dusun Tegalrejo Desa Karangbendo, Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Minggu (19/2) diduga berasal dari bahan pembuatan petasan yang tersimpan di salah satu rumah warga.
Satu korban meninggal atas nama Darman (65) pemilik rumah, 3 orang tertimbun reruntuhan dan sedikitnya delapan orang mengalami luka-luka akibat ledakan yang menggemparkan itu. Mayoritas mereka mengalami luka gores akibat tertimpa reruntuhan atap atau plafon rumah.
Sementara di Kabupaten Malang, polisi menemukan bubuk diduga bahan petasan yang meledak dan menewaskan Ahmad Hasan Rifai, 20 tahun di Dusun Pulosari Desa Sukosari Kecamatan Kasembon Kabupaten Malang, Sabtu (11/3) malam. Jumlah bubuk yang ditemukan sekitar 20 kilogram.
Selain menewaskan Ahmad Hasan Rifai, peristiwa tragis tersebut juga mengakibatkan dua korban luka. Yakni Sarifuddin 11 tahun dan Rizki Abdullah 14 tahun. Sementara satu korban bocak TK bernama Kisna Selamat. Dia berada di rumah yang mengalami kerusakan ringan di sisi selatan rumah sumber ledakan.
Dua peristiwa besar yang sudah menelan korban jiwa ini jelas menjadi atensi kepolisian. Ini juga menjadi peringatan dini bagi masyarakat agar tidak bermain-main dengan petasan dan segala hal yang bisa menyulut ledakan dan mengancam keselamatan jiwa. Tidak hanya yang berbuat tapi juga masyarakat di sekitarnya yang keamanan dan kenyamanan hidupnya bisa terancam sewaktu waktu.
Tanpa petasan memang terasa sepi. Tapi lebih baik sepi namun kondisi aman tenteram dan nyawa tak terancam. Karena itu, aparat kepolisian harus benar-benar mengawal dari awal, segala hal yang bisa membuat masyarakat bergerak bebas dengan bahan bahan yang bisa meledak.
Dua tahun lalu, semua hingar binger petasan bisa ditekan. Meski belum maksimal 100 persen, setidaknya petasan bisa diminimalisir sejak awal. Apalagi didukung saat itu kondisi pandemic Covid-19. Yang patut diwaspadai, pasca Covid dimana segala aktivitas masyarakat sudah kembali normal dan cenderung leluasa. Maka jangan pernah lagi kecolongan hal-hal yang bisa merusak ketenangan, mengancam keselamatan jiwa dan nyawa masyarakat jadi melayang.
Merujuk jurnal berjudul Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pembuatan Bahan Peledak Low Explosive Tanpa Izin (2016), bunga api atau disebut dengan petasan termasuk dalam salah satu bahan peledak low explosive. Artinya bahan peledak ini punya daya ledakan yang rendah dengan kecepatan detonasi antara 400-800 meter per detik.
Dalam peraturan Kapolri No.17 Tahun 2017 tentang Perizinan Pengamanan, Pengawasan dan Pengendalian Bahan Peledak Komersial, Pasal 3, menyebutkan bahwa petasan berisikan mesiu yang lebih dari 20 gram dengan ukuran lebih dari dua inchi. Sementara mesiu merupakan bahan atau campuran yang dapat menyebabkan terjadinya ledakan.
Sanksi pidana terhadap seseorang yang menggunakan bahan peledak dan menimbulkan kebakaran, yaitu pasal 187 KUHP. Disebutkan barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir diancam: Pertama, Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang.
Kedua, Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain. Ketiga, Dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.
Cukup sudah dua peristiwa di Blitar dan Kasembon Kabupaten Malang yang sudah menelan korban jiwa. Jangan ada lagi ledakan-ledakan dari petasan-petasan atau bahan peledak lainnya. Mari kita sambul Ramadan dengan bahagia. Kita menjalani puasa dengan penuh khidmat dan berharap Allah SWT memberi kekuatan, ketabahan, kesabaran agar segala usaha kita, semua cita-cita kita semua dimudahkan. Hidup kita bahagia dan berkah. Amin (*)