MALANG POSCO MEDIA – Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan berita maraknya Warga Negara Indonesia (WNI) yang memilih pindah ke kewarganegaraan ke Singapura. Berdasarkan data yang dihimpun Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), jumlah perpindahan WNI menjadi WN Singapura periode 2019 hingga April 2023 sebanyak 4.241 WNI.
Tentu hal ini menjadi perihal serius yang harus menjadi perhatian semua pihak, karena menurut data yang sama, WNI yang hengkang menjadi WN Singapura ini merupakan orang-orang dari kalangan terdidik dimana salah satu motif mereka pindah adalah permasalahan pragmatis gaji, pekerjaan, kehidupan dan masa depan.
Mereka yang pindah kewarganegaraan mayoritas berpendapat bahwa di Singapura lebih memberikan jaminan bagi kehidupan mereka, dibandingkan dengan Indonesia. Selain itu fasilitas dan daya dukung infrastruktur di Singapura yang lebih memudahkan bagi mereka yang sedang produktif menjadi alasan penguat untuk beralih kewarganegaraan.
Dalam banyak literatur disebutkan bahwa “Brain drain” atau “human capital flight” merupakan hengkangnya kaum intelektual, ilmuwan, cendekiawan dari negerinya sendiri dan menetap di luar negeri. Alasan yang melatarbelakanginya juga bisa beragam, ada alasan politis, ekonomi, sosial budaya, dan juga pilihan hidup.
Siapa yang tidak mengenal Albert Einstein, Fisikawan teoritis genius yang mengembangkan teori relativitas ini pada tahun 1933 masa sulit. Ketika ia dan istrinya berkunjung ke AS, ia tidak bisa kembali ke Jerman. Rumahnya digerebek dan diambilalih oleh Nazi di bawah pemerintahan baru Kanselir baru Adolf Hitler.
Ia dan ilmuwan keturunan Yahudi lainnya diburu, dan inilah awal dari pelarian modal manusia atau brain drain dari seorang Ilmuwan dunia peraih Nobel Albert Einstein, Ia adalah contoh Human Capital Flight atau Brain Drain akibat perubahan politik.
Kasus brain drain banyak dirasakan oleh negara negara berkembang. Di India, sejak tahun 1960an banyak ilmuwan dan tenaga ahli muda India yang berkualitas memilih untuk bekerja di luar negeri. Banyak anak muda India lulusan Indian Institute of Technology (IIT) Bombay, New Delhi, Madras dan lulusan universitas lainnya di India yang memilih untuk bekerja di perusahaan perusahaan Amerika, Canada, Inggris dan negara maju lainnya.
Hal yang sama juga terjadi di China, kasus “brain drain” di China pada awalnya juga sangat mengkhawatirkan, laporan brain drain in China (Stanford Edu, 2011) menyebutkan bahwa dari 1,06 juta mahasiswa asal China yang belajar di berbagai universitas di AS, hanya 275 ribu orang saja yang kembali ke China. Selebihnya, sebagaian mereka adalah pelaku brain drain dengan bekerja di berbagai perusahaan di AS.
Bahkan pada tahun 1990-an di AS, kaum profesional muda India menguasai lebih dari 8.000 perusahaan di bidang teknologi komunikasi. Dengan demikian potensi devisa mengalir deras ke Amerika. Sementara India, negeri asal hanya gigit jari.
Mengutip dari CNBC Indonesia yang mengacu pada data Wage Centre, yang menyajikan rata-rata gaji penduduk di Asia Tenggara pada tahun 2022, dimana data ini berasal dari statistik resmi negara setempat yang turut memasukkan penghitungan dari agen perekrutan internasional.
Data tersebut menunjukkan bahwa Singapura berada di posisi teratas sebagai negara dengan rata-rata gaji penduduk tertinggi di Asia Tenggara, sebanyak US$ 4585 atau Rp 68,63 juta (kurs Rp 14.969). Sementara Indonesia sendiri berada di urutan keempat dengan rata-rata gaji penduduknya sebesar US$ 595 atau Rp 8,90 juta (kurs Rp 14.969).
Bukan tidak mungkin fenomena ‘brain drain’ ini akan terus berlangsung dan semakin hari semakin besar gerakannya, bukan hanya ke Singapura namun bisa juga ke negara-negara maju lainnya yang hari ini mayoritas mengalami ‘winter population.’ Fenomena ini seperti bara dalam sekam, meskipun terlihat kecil jumlah pergerakan WNI yang menjadi WNA, akan tetapi lama kelamaan dia akan membesar jika tidak dilakukan langkah-langkah antisipatif.
Terlebih ‘Winter population’ yang sekarang terjadi dihampir sebagian negara-negara maju, dimana mereka mulai kehabisan stok Sumber Daya Manusia, karena ‘trend fertility ratenya’ yang terus menurun. Untuk menggerakkan ekonomi dan industri yang ada di negaranya tentu mereka membutuhkan pasokan SDM yang memadai, dan tentu mereka akan melakukan segala cara untuk melakukan hal tersebut, karena tidak bisa dipungkiri driver kemajuan eknomi sebuah bangsa tetaplah Sumber Daya Manusia.
Strategi yang dilakukan oleh Pemerintah China dalam menyikapi brain drain bisa dikatakan cukup bagus. Pada tahun 2011, dalam ‘China targets top talents from overseas’ melaporkan bahwa pemerintah China selain meningkatkan sistem pendidikan di dalam negeri, mereka juga meningkatkan iklim berusaha dan iklim bisnis di dalam negeri.
Selain itu mereka juga membuat program ‘Thousands Talent Program’, yakni pemerintah China menawarkan subsidi khusus bagi profesional brillian yang mau pulang kampung. Mereka selain mendapat gaji rutin di perusahaan dalam negeri, mereka juga diberi tunjangan tambahan. Jumlahnya tak tanggung- tanggung, bagi yang memenuhi syarat, mereka diberi grant sebanyak 1 juta RMB dari pemerintah.
Indonesia adalah bangsa yang gemah ripah lohjinawe, untuk mengoptimalisasi potensi tersebut dibutuhkan daya dukung Sumber Daya Manusia Indonesia yang mumpuni. Oleh karenanya anak-anak bangsa yang tercipta menjadi kaum ilmuwan, intelektual dan cendekiawan harus bisa di konsolidasi dengan serius oleh pemerintah, agar cita-cita Indonesia emas, Indonesia menjadi negara maju di kancah global bisa benar-benar terwujud.(*)