Malang Posco Media – Sejak berabad lalu, tulisan menjadi prasasti abadi yang menerjemahkan banyak hal. Juga jembatan antar masa yang terus menjadi saksi tentang sejarah, perkembangan dan mimpi masa depan. Saat ini, hadirnya media sosial, menghadirkan “banyak tulisan” menyeruak dalam berbagai bentuk.
Jika dahulu, tulisan hanya hadir dalam deretan kata pada paragraf dalam buku, surat kabar maupun majalah, kini berkat media sosial, tulisan bisa muncul dalam banyak bentuk, dimana saja kapan saja.
Hadirnya berbagai bahan bacaan, utamanya yang bernuansa ringan, masuk ke dalam masyarakat secara halus dan perlahan. Kondisi ini menaikkan minat baca, meski tak selalu tentang sesuatu yang “penting.”
Namun diakui atau tidak, distribusi sebuah informasi melalui teknologi digital, memangkas ruang dan waktu dalam seketika. Orang kemudian berlomba menjadi yang tercepat. Lebih cepat tahu, lebih cepat tanggap.
Sayangnya, kecepatan ini menimbulkan kedangkalan yang tidak disadari. Masyarakat jadi terbiasa puas dengan informasi yang didapat. Cukup tahu, cukup “duluan tahu.” Budaya kritis untuk menggali lebih dalam seakan hilang. Padahal rasa cepat berpuas diri dengan informasi ala kadarnya, dapat melenyapkan berbagai intisari dalam sebuah kejadian.
Ada satu hal yang semakin tersisih untuk mengisi ceruk ini, yakni buku. Pilihan terpercaya dan juga sumber ilmu yang tak lagi banyak diburu. Kebiasaan instan dan serba cepat yang berkembang saat ini, menciptakan ritme yang saling berkejaran. Semua berlomba untuk sampai duluan. Duluan pintar, duluan lulus, duluan bekerja, duluan kaya. Dan di antara ketergesaan itu, buku tak lagi dirindu.
Sajian Instan dalam Kesimpulan
Meski telah banyak informasi tersedia secara digital, namun budaya membaca buku harus tetap hidup di masayarakat. Ilmu, sejarah, dan banyak hal lainnya tak selalu dapat disingkat. Ada sangat banyak hal yang perlu tetap diruntut, dijabarkan satu persatu agar kita benar-benar tahu.
Bayangkan saja, arus sebuah informasi yang berkembang di media sosial. Sebelum hadir secara sederhana, seseorang di balik layar telah dengan sangat hati-hati dan mengerahkan seluruh tenaga serta pikiran untuk menyajikannya sebermanfaat mungkin. Menggunakan tampilan semudah mungkin untuk dikonsumsi.
Singkat, jelas, dan padat. Mimin, demikian panggilan sayang admin media sosial, tidak serta merta menyajikan data begitu saja. Mereka telah berkutat untuk mempelajari sebuah infromasi sebelum diteruskan kepada khalayak yang menjadi sasaran.
Tidak berhenti di situ, mimin si komunikator, akan mendapatkan banyak feedback tentang informasi yang telah ia bagikan. Menjadi perantara antara komunikan dan sumber informasi utama. Ini pekerjaan yang luar biasa. Membutuhkan banyak bekal di dalamnya, mulai dari otak yang cerdas, daya pikir yang kritis, kemampuan bahasa yang mumpuni dan tentu saja selera desain yang luar biasa.
Maha karya yang dihasilkan, kemudian tampil apik melalui berbagai sajian. Informasi tentang kesehatan, seni, sastra hingga teknologi menjadi mudah dicerna oleh siapa saja. Meski demikian, hendaknya kita tak lantas berpuas hati. Kedalaman informasi perlu terus digali. Daya kritis perlu tetap hidup di dalam diri.
Sahabat Sejati Pendiri Negeri
Di tengah sajian berbagai narasi digital tersebut, keberadaan buku semakin tersisih. Meski demikian, menikmati buku, tetap memberikan kepuasan tersendiri bagi pecintanya. Walaupun beberapa judul buku hadir dalam bentuk digital, namun rasa puas membeli buku, membaca setiap halaman nyatanya, membalik lembar demi lembar, dan menuliskan inisial nama serta tanggal beli, tak akan tergantian. Belum lagi rasa bangga dan bahagia, yang muncul dari barisan kata pengantar, semangat berkarya terlihat menyala-nyala di sana.
Buku juga menjadi legitimasi seorang tokoh, tatkala diberikan kepercayaan untuk berkontribusi di halaman awal maupun akhir. Baik saat menuliskan lembar persembahan, kata pengantar, testimoni, hingga resensi. Banyak pihak yang berkontribusi di dalamnya.
Dalam satu buku, roda kehidupan berjalan. Penulis, editor, desainer cover, percetakan, bahkan tukang loak ikut berkontribusi hingga sajian keilmuan dan wawasan ini sampai di tangan pembaca.
Tidak berhenti di situ, menjadi rujukan pendidikan hingga kehidupan, benda ini menjadi nyawa kedua bagi pembacanya. Semangat-semangat menular dengan kuat. Pendidikan karakter dan keuletan muncul sebagai nilai tambah. Cita-cita dibesarkan, dan mimpi untuk hal-hal baik diwujudkan.
Ada sebuah pepatah, “Membaca buku untuk pertama kalinya seperti berkenalan dengan seorang teman baru; membacanya untuk kedua kali seperti bertemu dengan teman lama.” Bagi pecinta buku, kata-kata ini tentu terasa sangat bermakna. Ya, buku menjadi sahabat yang tak pernah ingkar janji. Sahabat yang tak perlu materi atau janji-janji. Sahabat yang tak pernah memikirkan dirinya sendiri.
Kesetiaan ini bisa dirasakan saat berhasil menyelesaikan judul demi judul. Seperti menimba ilmu, entah dalam bentuk apapun, buku selalu mengajarkan hal baru. Baik fiksi maupun non fiksi. Buku tak pernah kehilangan makna kehadirannya. Ia selalu konsisten berada di sana, mendedikasikan diri, untuk hal-hal baik yang perlu manusia pelajari.
Sejak awal masa pergerakan Indonesia, buku juga telah menjadi sahabat baik para pemimpin bangsa. Pilihan paling tepat untuk mendulang informasi dan referensi dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hampir seluruh orang-orang di puncak kepemimpinan, adalah mereka yang menjadikan buku sebagai candu.
Sebut saja Presiden Pertama Indonesi Ir. Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Hatta rela dipenjara juga diasingkan ke Digul, Papua dengan syarat diperbolehkan membawa 16 peti bukunya. Semasa hidup, ia bahkan telah berhasil mengoleksi sekitar 10.000 judul buku.
Sementara itu, saat tinggal di Medan, Sjahrir remaja, telah melahap ratusan buku dengan berbagai pembahasan. Ini membuatnya dikenal sebagai anak yang pandai di lingkungan keluarga. Bahkan kegemaran ini terus ia pertahankan hingga menempuh pendidikan tinggi di Leiden, Belanda. Tempat dimana ia mengumpulkan banyak bekal untuk membawa Indonesia meninggalkan zaman penjajahan dan penindasan.
Memang kondisi dan masa tidak bisa disamakan. Namun kedalaman ilmu dari membaca buku masih belum tergantikan. Bukan hal buruk menguasai banyak kemampuan hanya dipermukaan, namun mengenal sesuatu secara mendalam menghadirkan kesempurnaan pemikiran dalam mengkaji sebuah permasalahan. Mari terus menggali, untuk ilmu yang lebih menyeluruh. Bukumu adalah Bestie-mu.(*)