Oleh:
Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Muhammadiyah Malang
Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang digulirkan pemerintah menuai protes. Aksi penolakan muncul dari kalangan PNS maupun pegawai swasta di sejumlah tempat. Informasi terkait program ini tak cukup jelas. Tiba-tiba pemerintah berencana memotong gaji pegawai negeri dan swasta sebesar 3 persen dari gaji pokok mereka. Pesan komunikasi terkait Tapera sangat buruk, tak kompak, dan simpang siur.
Program Tapera sebenarnya sudah lama diluncurkan Presiden Jokowi. Program ini dicanangkan presiden dengan tajuk Program Satu Juta Rumah pada 29 April 2015 di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Program ini digadang-gadang bakal jadi salah satu program strategis nasional yang dimaksudkan untuk mengatasi tantangan kesenjangan antara kebutuhan rumah dan pasokan rumah atau backlog di Indonesia.
Pada awal digulirkan, kepesertaan atau kewajiban pemotongan upah untuk Tapera baru menyasar PNS, tiba-tiba muncul kewajiban perluasan kepesertaan Tapera ke penerima upah alias pegawai atau karyawan swasta BUMN/ BUMD/ BUMDes,TNI/ Polri. Pesan komunikasi terkait kebijakan ini tak cukup memadai. Informasi terkait Tapera justru liar, terutama yang muncul di beragam platform media sosial (medsos).
Mengomunikasikan sebuah kebijakan pemerintah sungguh tak mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dengan matang. Tak boleh grusah-grusuh. Dalam mengomunikasikan program Tapera perlu diperhatikan dengan seksama lima unsur dalam proses komunikasi. Unsur sosok penyampai pesan (komunikator), pesan, media, penerima pesan (komunikan), dan respon khalayak (feedback) harus tepat.
Komunikasi Buruk
Memperhatikan lima unsur komunikasi bisa menjadi kunci sukses dalam berkomunikasi. Menyadari bahwa dalam berkomunikasi juga mungkin terjadi beragam gangguan (noise) juga penting. Desain pesan yang tepat dengan memperhatikan khalayak sasaran yang dituju dan pemilihan media yang tepat juga menjadi faktor penting. Semua unsur komunikasi perlu dipertimbangkan dengan matang.
Tak jarang sebuah program pemerintah yang bagus gagal gara-gara cara mengomunikasikannya buruk. Sering pemerintah menggunakan cara-cara berkomunikasi yang searah, top down, instruktif, arogan, tanpa melibatkan khalayak yang menjadi sasaran program. Faktor keterlibatan khalayak justru yang menjadi sangat penting karena mereka yang akan terlibat langsung dalam sebuah program.
Masalah lain terkait Tapera adalah rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah yang melakukan pungutan pada rakyat. Tak sedikit dalam pengelolaan pungutan terjadi penyelewengan. Beberapa program yang berbasis pungutan kerap tidak memberi manfaat yang jelas. Hal ini dapat berimbas pada minimnya dukungan masyarakat karena sudah terlanjur kecewa.
Rasa kecewa yang dialami masyarakat akan menyulitkan dalam proses komunikasi. Siapapun komunikatornya maka akan sulit menyampaikan pesan dan meyakinkan masyarakat. Tak sedikit masyarakat justru takut jangan-jangan iuran yang dibayarkan bakal dikorupsi oleh oknum pengelola program. Maka, rasa khawatir masyarakat perlu dijawab dengan pesan-pesan komunikasi yang bermakna membuat kepastian dan keamanan dana yang terkumpul.
Faktor pemilihan media komunikasi juga menjadi hal penting. Karena banyak sasaran program ini adalah kalangan generasi Z maka membutuhkan cara berkomunikasi yang berbeda. Kelompok generasi Z menggunakan akses media yang sangat terbuka. Mereka juga banyak menggunakan medsos dalam memenuhi kebutuhan informasinya. Kelompok ini harus didekati dengan pesan dan media sesuai dengan karakternya.
Tak Kompak
Untuk urusan Tapera komunikator yang sering muncul di media massa adalah Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. Beberapa pernyataan Moeldoko dalam beberapa kesempatan diliput media menyatakan bahwa program ini adalah kewajiban masyarakat karena sudah diputuskan dalam PP No 21/2024 tentang Penyelenggaraan Tapera.
Sementara dalam kesempatan yang lain, Menteri Basuki justru merasakan penyesalan atas bergulirnya program Tapera ini. Di tengah arogansi elite politik merespons tuntutan publik, Pak Basuki justru memberikan respons rendah hati dan mau mendengarkan suara rakyat. Menurut Basuki, masyarakat belum siap dan tak perlu terburu-buru memaksakan program ini. Pernyataan Pak Basuki berbeda dengan beberapa pejabat lain yang cenderung menggunakan gaya komunikasi yang arogan.
Dari penyataan sejumlah komunikator kunci dalam program ini terlihat tidak kompak. Program ini seperti belum satu suara di kalangan pemerintah sendiri tetapi buru-buru mau dipaksakan. Pemerintah seperti menutup realita bahwa pungutan wajib yang bakal diberlakukan akan membebani rakyat. Apalagi masyarakat masih merasakan situasi sulit pascapandemi yang hingga kini masih belum pulih total.
Masyarakat tak bisa begitu saja menerima program yang jatuh dari langit. Tiba-tiba mereka diminta wajib membayar iuran rutin. Cara ini yang langsung terbayang dibenak masyarakat adalah beban, bukan solusi. Karena sudah dinilai sebagai beban, maka akan berat dalam mendukung atau melaksanakan program Tapera. Apa yang diinginkan pemerintah bertepuk sebelah tangan.
Program Tapera saat ini akhirnya diundur pelaksanaannya. Untuk selanjutnya, pemerintah perlu membenahi komunikasi Tapera agar niat baik diterima dengan baik. Ketersediaan informasi yang cukup tentang program ini juga penting disiapkan.
Keterlibatan masyarakat juga yang utama. Di samping itu, pemerintah perlu membangun kepercayaan publik dalam hal pungutan. Karena kredibilitas pemerintah dan kepercayaan publik jadi kunci keberhasilan komunikasi program Tapera.(*)