MALANG POSCO MEDIA – Sejarah literatur Barat mengenal ‘’Three Musketeers’’, sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia mengenal ‘’Tiga Serangkai’’, dan sejarah pergerakan pemikiran Islam Indonesia mengenal ‘’Tiga Pendekar.’’
Three Musketeers adalah tiga pendekar rekaan dalam novel karya Alexander Dumas. Tiga Serangkai Indonesia adalah tiga tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat yang mendirikan Indische Partij pada 1912.
Sedangkan Tiga Pendekar adalah julukan untuk tiga pemikir pembaruan Islam Indonesia, Ahmad Syafii Maarif, Amien Rais, dan Nurcholish Madjid.
Julukan Tiga Pendekar itu dilontarkan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada sebuah kesempatan pada 1993 untuk menggambarkan kiprah tiga tokoh itu dalam gerakan pemikiran pembaruan Islam di Indonesia. Gus Dur, tentu saja, termasuk salah satu pendekar, tapi dia beda perguruan dari Tiga Pendekar itu.
Gus Dur menyebut mereka dalam satu rangkaian karena tiga orang itu sama-sama lulusan Chicago University dan sama-sama mendalami kajian Islam di universitas itu. Tiga orang itu juga sama-sama mencecap ilmu dari suhu pendekar pemikiran Islam Fazlur Rachman.
Tiga pendekar itu sama-sama lulus dari satu padepokan dan belajar ilmu yang sama. Dalam perjalanannya kemudian mereka menjadi pendekar dalam gerakan pemikiran Indonesia. Noercholish Madjid sudah terlebih dahulu wafat pada 2005, dan Syafii Maarif wafat, Jumat (27/5) lalu dalam usia 87 tahun.
Tiga pendekar itu berbeda jalan. Noercholish Madjid, Cak Nur, adalah pendekar pemikiran Islam liberal yang kontroversial. Gagasannya mengenai sekularisasi menjadi kontroversi terbesar dalam sejarah pemikiran Islam Indonesia. Jargon Cak Nur ‘’Islam Yes, Partai Islam Yes’’ ditentang sekaligus dikagumi oleh banyak intelektual Indonesia.
Syafii Maarif memilih jalan yang lebih teduh dan aman ketimbang Cak Nur. Syafii lebih memilih jalan Islam sebagai rahmatan lil alamin, Islam sebagai perekat dan pengayom kebhinekaan. Syafii lebih memilih jalan sebagai guru bangsa. Semua orang menghormatinya dan menyebutnya sebagai ‘’Buya’’, Abuya, bapak kita, bapak bangsa kita.
Sama-sama lahir dari rahim Muhammadiyah, dua tokoh ini memiliki ekspresi intelektual yang berbeda. Pak Amien lebih kental dengan intelektual gerakan yang sangat kritis dan revolusioner menyatu dengan massa. Sementara Buya Syafii adalah cendekiawan yang menebar kasih menjahit keindonesiaan. Teguh memperjuangkan hak-hak minoritas, pluralisme, dan menjaga kebhinekaan dengan tulus dan bijak.
Pak Amien lebih fokus pada gerakan massa, kepartaian, dan tidak segan untuk turun ke jalan. Buya Syafii hampir tidak pernah turun aksi ke jalan bersama massa menyuarakan aspirasi-aspirasi politik, menentang pemerintah, atau berorasi di tengah massa rakyat.
Sepulang dari Chicago pada 1980-an, Pak Amien lebih dikenal sebagai intelektual yang kritis yang tidak takut menyuarakan pandangan-pandangannya yang berseberangan dengan rezim. Buya Syafii lebih terinspirasi oleh pemikiran Fazlur Rahman, intelektual Pakistan yang menjadi suhu pemikiran pembaruan Islam yang lebih liberal.
Buya Syafii mengidolakan Bung Hatta. Dua-duanya sama-sama urang awak dari ranah Minangkabau. Di mata Buya Syafii, Hatta ialah sosok yang memiliki wawasan keindonesiaan dan berintegritas sebagai muslim. Bagi Buya Syafii, Bung Hatta merupakan seorang tokoh nasionalis religius yang inklusif.
Perbedaan itu tidak menghilangkan respek di antara dua pendekar itu. Bagi Buya Syafii, Amien punya jasa besar dalam hidupnya. Ia bisa kuliah di Chicago karena rekomendasi Amien. Peran Pak Amien besar ketika mendorong Buya menjadi Ketua Umum Muhammadiyah. Amien memilih turun ke jalan untuk melawan rezim Soeharto sampai akhirnya lahirlah reformasi 1998 yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto.
Rezim Soeharo yang sentralistik sedang berada pada puncaknya ketika dua cendekia muslim ini mulai menggarap agenda reformasi pada dekade 1990-an. Pasca-Tanwir Muhammadiyah di Semarang pada 1998, Amien memilih ijtihad politik dengan menggulirkan gagasan suksesi dan reformasi total.
Isu-isu sensitif kekuasaan Soeharto yang digulirkan Amien memperoleh respon luas dari kelompok muslim yang kemudian meluas ke kalangan mahasiswa dan kelas menengah perkotaan secara umum. Gerakan civil society memperoleh momentumnya dan Amien menjadi salah satu ujung tombak yang penting.
Buya Syafii lebih konsisten dalam menjaga nafas Muhammadiyah sebagai kelompok sipil yang aktif mendorong pembaruan Islam. Pak Amien pernah meminta Buya untuk jadi ketua partai yang direncanakan akan segera dibentuk, Buya menolak tawaran itu. Buya merasa tidak cocok terjun ke dunia politik praktis.
Buya lebih memilih jalan pemikiran intelektual yang lebih sunyi. Di bawah kepemimpinan Buya Syafii, Muhammadiyah bergerak cepat dalam perubahan politik global, bukan cuma di Asia Tenggara, Muhammadiyah bergerak ke arah internasionalisasi Islam. Buya sabar menempuh jalan sepi untuk mengampanyekan gagasan “Islam Keindonesiaan” sampai akhir hayatnya.(*)