MALANG POSCO MEDIA – Gunawan Multi Alam penuh tekad mengajari anak Sekolah Luar Biasa (SLB) ABD Negeri Kedungkandang. Dia bertekad anak didiknya paham betul jalan yang mereka lalui, terutama mengenali jalan yang berpotensi membahayakan. Ini supaya siswa dapat bergerak dengan aman dari satu tempat ke tempat yang lain.
Saat memasuki gerbang Sekolah Luar Biasa (SLB) ABD Negeri Kedungkandang, tampak siswa siswi sedang berkreasi. Ada yang di dalam kelas maupun ada yang di luar depan kelas.
Sementara itu, Gunawan Multi Alam sebagai pengajar tengah memberikan materi melalui dalam jaringan (Daring). Walaupun ia sendiri kondisinya berkebutuhan khusus, namun berusaha menatap layar laptop di hadapannya dengan penuh fokus.
Kendati seorang guru, Gun, sapaan akrab Gunawan Multi Alam diminta mengisi mata kuliah Orientasi Mobilisasi dan Sosial Komunikasi bagi orang yang berkebutuhan khusus di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Kota Malang. Dengan penuh ramah, ia menyambut Malang Posco Media memasuki ruangannya.
“Sambil saya pantau laptop gak papa, ya,” kata Gun, membuka percakapan. Di SLB ABD Kedungkandang ia mengajar siswa tuna netra dari kelas 1 SD sampai kelas 12 SMA. Di dalam pelajaran, Gun mengajari siswa secara mandiri untuk berjalan di ruang publik, terutama akses jalan yang berpotensi membahayakan seperti, saat berjalan di pinggir selokan.
“Tekniknya saya ajari secara langsung dengan praktik biar tepat jalannya. Menggunakan tongkat. Baru dicoba satu langkah-satu langkah. Makanya tidak memakai selokan beneran. Kami memakai lokasi yang kalau jatuh anak-anak tidak apa-apa,” jelasnya.
Tak hanya itu, pria 45 tahun ini juga mengajari siswa naik turun tangga hingga berjalan di tepi jalan raya. Gun memberikan penjelasan ke siswa mengenai bentuk tangga, ukuran dan bentuk trotoar jalan raya yang harus dilewati dengan baik.
Alumni Universitas Negeri Surabaya ini mengatakan, tidak semua anak tuna netra dengan mudah diajari berjalan. Terkadang siswa tidak berani berjalan. Karena itu butuh tekad untuk selalu berkomunikasi dengan mereka, termasuk dengan orang tuanya.
“Berkomunikasi dengan orang tua anak tuna netra sangat susah. Ada yang malu, terlalu disayang, takut anaknya jatuh, menumpah kopi, atau memecahkan barang, ini menghambat anak sulit bergerak. Sehingga anak-anak ragu-ragu,” urainya.
Warga Perumahan BTU Kedungkandang ini menuturkan, tuna netra itu kehilangan indera visualnya. Mereka tak dapat melihat. Namun mereka harus paham betul melangkah dan jalan mana yang harus mereka lalui.
Mengajar berjalan ini disebutnya tentu sangat perlu bagi anak yang memiliki hambatan pada penglihatan. Ini supaya anak tuna netra berjalan dan bergerak dengan aman dari satu tempat ke tempat yang lain.
“Sosial dan komunikasi juga juga saya ajari. Agar anak-anak bisa meminta bantuan ketika menyebrang di jalan raya. Sebab, sering kali tuna netra menabrak dagangan orang di trotoar misalnya. Apalagi tidak memakai tongkat. Sangat sulit. Karena itu idealnya tuna netra menggunakan tongkat jika berpergian, biar orang tahu juga,” sambung Gun.
Gun mengajari anak-anak teknik berjalan menggunakan tongkat setiap hari Jumat pagi dari pukul 07.30 WIB hingga 08.30 WIB. Kemudian dilanjutkan dengan evaluasi. Bila siswa yang belum paham teknik berjalan akan menyampaikan.
Nantinya akan diajari secara privat tanpa teman lainnya. Gun sendiri menyarankan agar untuk selalu dipraktikan, terutama di rumah dengan pendampingan awas. “Kami latihan dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di sekolah,” pungkas suami dari Anita ini. (den/van)