MALANG POSCO MEDIA – Soal keberanian, harus diakui orang orang yang tinggal di daerah aliran sungai (DAS), apapun sungainya termasuk Sungai Brantas, adalah orang-orang yang punya nyali besar. Bisa dibilang punya ‘nyawa’ rangkap. Betapa tidak, hidup di DAS adalah taruhan.
Kenapa taruhan, karena selain taruhan nyawa, hidup orang orang ini dan keluarganya selalu dihantui rasa was was, khawatir, ketakutan dan penuh teror bencana yang datang bisa kapan saja. Bahkan saat tertidur pulas malam atau dinihari. Tak terduga meskipun sudah dipasang Early Warning System (EWS).
Seperti yang terjadi di kawasan Muharto Kota Malang diguncang longsor, Selasa (5/4) lalu. Enam rumah rusak, tiga di antaranya rusak berat. Video kejadian ini pun viral. Lokasi longsor terletak di wilayah Gang 5 RT 5 RW 6 Kelurahan Kotalama Kecamatan Kedungkandang.
Diduga karena tanah labil di pinggir sungai, longsor itu menyebabkan tiga rumah rusak cukup berat. Sedangkan tiga rumah lainnya rusak ringan dan kehilangan akses jalan. Longsor yang terjadi sekitar pukul 11.30 WIB telah diprediksi sebelumnya. Pasalnya tanda-tanda keretakan sudah tampak dua minggu lalu saat musim hujan deras.
Masyarakat yang hidup di DAS bukan tidak sadar dan tahu atas bahaya mengerikan itu. Tapi mereka tidak punya pilihan. Bisa jadi keberanian itu sudah turun temurun dan akhirnya merantak hingga rumah rumah yang dibangun hingga ke bibir sungai. Bahkan tak jarang nangkring di atas aliran sungai. Ngeri!
Sementara para pejabatnya, termasuk walikotanya juga bukan tidak tahu akan bahaya yang bisa merenggut nyawa warganya. Lagi lagi pejabat dan walikota berdalih tidak ada anggaran. Tidak ada lahan. Sulit untuk melakukan relokasi karena faktor sosial, budaya dan sebagainya.
Sama sama tak berdaya dan tak bisa melakukan apa apa, selain bantuan untuk para korban bila rumah mereka diterjang longsor, ambrol dan hanyut oleh derasnya banjir. Maka tentu, kalau masyarakatnya saja berani tinggal di rumah di pinggiran DAS dengan segala risikonya, termasuk nyawanya, maka walikotanya juga harus berani bersikap tegas.
Relokasi harus menjadi harga mati. Tinggal mekanismenya yang harus diatur dan dibicarakan dengan stakeholder yang lain agar persoalan ini juga tidak menjadi dosa turun temurun lintas generasi dan walikota.
Ini kesempatan terbaik untuk wali kota Sutiaji dan perangkatnya, membuat gebrakan relokasi untuk masyarakat yang tinggal di zona zona rawan bencana di aliran sungai. Saya sangat yakin dengan prinsip yang kuat dan teguh, Sam Sutiaji bisa mewujudkan itu sebagai program unggulan di akhir periodenya.
Kalau pun belum terlaksana, setidaknya program itu sudah digaungkan dengan keras seperti kerasnya upaya Sam Sutiaji membangun dua jembatan kebanggaan kota Malang. Jembatan Kedungkandang dan Jembatan Tunggulmas. Siapa pun harus mengakui itu, bahwa di periode Sutiaji lah dua jembatan itu terbangun indah dan sekarang menjadi akses utama masyarakat.
Kalau pun masih ada persoalan persoalan kemacetan dan kerawanan yang mengikuti, itu wajar. Tugas bawahannya, dinas perhubungan dkk yang harus menyempurnakan grand desain rekayasa lalu lintas untuk mendukubg keberadaan jembatan tersebut.
Bila ini diwujudkan, maka bisa jadi legacy yang ditinggalkan Sutiaji akan berdampak pada figur walikota penggantinya. Meski di awal awal masa kepemimpinannya, Sam Sutiaji menegaskan cukup satu periode, tapi bila program yang bisa menyelamatkan warganya berhasil diwujudkan, apapun bentuk relokasinya, maka tidak mustahil Sutiaji bisa tampil dan dicalonkan kembali sebagai walikota Malang. Apalagi sederet prestasi juga telah dikantongi mantan walikota Malang ini.
Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28 tahun 2015, penentuan garis sempadan pada sungai tak bertanggul di dalam kawasan perkotaan berbeda-beda tergantung kedalaman sungai.
Pertama paling sedikit berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan tiga meter. Kedua paling sedikit berjarak 15 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai dalam hal kedalaman sungai lebih dari 3 meter sampai dengan 20 meter. Lalu berjarak 30 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai dalam hal kedalaman sungai lebih dari 20 meter. Lebih dari itu, maka otomatis sudah menyalahi aturan.
Kalau mengacu aturan, maka tampak jelas banyak rumah rumah di DAS yang menyalahi aturan. Pemkot Malang melalui Dinas Permukiman dan Wilayah beberapa waktu lalu, sempat membuat survei dan mendapati data sedikitnya 1.000 rumah yang harus direlokasi di Rusunawa.
Bila data itu kembali diperbarui, benar benar disurvei berdasarkan zona zona wilayah, maka akan mendapatkan hasil yang lebih sempurna. Artinya penanganan perumahan di sepanjang DAS di Kota Malang bisa lebih tertangani dengan baik. Karena bencana akan terus menghantui dan relokasi sudah menjadi harga mati.
Kepala DPUPRPKP Kota Malang Diah Ayu Kusumadewi mengatakan, seharusnya memang tidak dibenarkan mendirikan bangunan di sempadan sungai. Diah juga mengatakan selain upaya kedaruratan yang harus dilakukan, pilihannya ada dua. Direlokasi atau diplengseng. Menurut Diah, di Kementerian PUPR bisa dianggarkan untuk pembangunan seperti rusunawa baru. Asalkan pemerintah daerah sanggup menentukan lokasi lahannya.
Bila sudah terbuka solusi pembangunan rusunawa, maka tugas Walikota dan perangkatnya bekerja keras untuk mencari lahan agar warga yang tinggal di DAS bisa mendapatkan tempat tinggal yang nyaman dan aman dari bencana. Kini pilihannya relokasi harga mati atau terus menerus menunggu bencana yang harus dibayar dengan kematian.(*)