spot_img
Thursday, April 25, 2024
spot_img

Dikotomi Kendali

Berita Lainnya

Berita Terbaru

MALANG POSCO MEDIA – Di sebuah perbatasan utara Kekaisaran Romawi bernama Germania, pagi masih sangat gelap. Utusan tentara Romawi yang dikirim bernegosiasi dengan kaum Barbar pulang tanpa kepala. Kudanya membawa kembali membawa utusan malang yang tinggal jasadnya.

Jenderal Maximus (diperankan oleh Russel Crowe) tidak melihat jalan lain, kecuali menyiapkan ribuan leguin Romawinya untuk pertempuran tak terelakkan dengan kaum Barbar.  Anak panah dan busurnya disiapkan, ketapel raksasa diisi bola api. Para prajurit infanteri merapatkan tameng, menggenggam erat tombak dan menghunus pedang pendek dari sarungnya.

Usai memberikan instruksi pada pasukan infanteri, Maximus naik kuda, bergerak memutar memimpin pasukan kavaleri untuk menyergap kaum Barbar dari belakang. Begitu aba-aba ‘’serang’’ dikumandangkan, ribuan anak panah, ratusan bola api menyembur kaum Barbar yang memekik maju menyerang pasukan Romawi.

Dua bala tentara bertempur dalam gelapnya pagi buta, saling memotong, mengayunkan pedang, kapak dan apa pun yang bisa membuat lawannya terjungkal mati. Maximus dengan ratusan pasukan kudanya menembus gelapnya hutan, menyerang kaum Barbar dari belakang. Taktik Supit Urang (jepitan udang) membuat kaum Barbar kacau dan habis dibantai leguin Romawi di perbatasan utara Imperium Romawi, di daerah Austria saat ini.

Dari kejauhan, di atas sebuah bukit kecil, duduk tenang di kudanya, dikelilingi Pasukan Pretoria (penjaga Kaisar), Marcus Aurelius memperhatikan semuanya. Dialah yang memutuskan mengirim utusan untuk mencoba negosiasi dengan kaum Barbar. Sampai saat terakhir, ia mengharapkan perdamaian dengan mereka. Namun perang tak terelakkan. Ia hanya bisa menjalankan tugasnya sebagai kaisar: memerintahkan Maximus melakukan apa yang terbaik untuk Roma.

Pada saat fajar mereka, dengan lega ia menyaksikan keberhasilan Jenderalnya, Maximus mengalahkan kaum Barbar di Germania. Namun bukannya senang, ia malah bertanya kepada Maximus tentang perlu tidaknya peperangan tadi dilakukan. ‘’Saat orang merasa bahwa akhir hidupnya sudah dekat, Ia mulai bertanya-tanya apakah hidupnya memiliki tujuan…Apakah aku akan dikenang sebagai filsuf, prajurit atau tirani?’’

Kisah di atas adalah bagian film berjudul Gladiator yang disutradarai Ridley Scott tahun 2000 lalu. Pada 15 menit pertamanya, film ini menggambarkan Kaisar Romawi bernama Marcus Aurelius (yang diperankan oleh Richard Harris). Kaisar pemimpin pertempuran di Germania ini adalah seorang filsuf. Salah satu tokoh pengusung filsafat Stoa.

A Setyo Wibowo Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta menuliskan kisah di atas sebagai pembuka Kata Pengantarnya di buku Mega Best Seller Filosofi Teras yang ditulis Henry Manampiring dengan ilustrasi oleh Levina Lesmana.    

Setelah menang perang, Kaisar yang dikenal baik, adil dan belas kasihan ini bukannya berhura hura. Tapi ia justru melakukan permenungan diri. Apakah tindakannya tepat? Apa peperangan yang memakan korban jiwa perlu dilakukan?

Marcus Aurelius membutukan filsafat untuk melindungi kedamaian jiwanya.

Minggu (29/1) siang lalu, ratusan orang menyerang kantor klub sepakbola ternama. Terpaksa tidak saya sebut secara vulgar. Demi keamanan dan kenyamanan. Penyerangnya pun tidak saya tulis vulgar meski saat aksi mereka menyebut identitas mereka. Tapi identitas itu juga susah diidentifikasi.

Kekecewaan yang menumpuk dan merasa tak mendapatkan solusi kongkret dan tidak direspon tuntutannya, diduga menjadi penyebab penyerangan itu dilakukan dengan brutal. Padahal sejatinya aksi itu dilakukan dengan cara damai. Tapi yang terjadi di lapangan justru tindakan anarkis yang dilakukan sekelompok massa.

Tak hanya melempari dengan cat dan flare serta botol, aksi massa yang brutal ini juga merusak store dan merusak logo klub kebanggaan ini. Beruntung tak ada perlawanan dari kelompok lain saat itu. Sebelumnya manajemen klub juga sudah berusaha bernegosiasi, berdialog dengan baik di dalam kantor, tapi upaya itu tak wujud. Yang terjadi adalah penyerangan dan perusakan.

Apa yang terjadi Minggu siang lalu itu tentu mencederai karakter asli Malang. Malang memang keras. Tapi Malang sejatinya cinta damai. Malang tidak anarkis. Meski ditekan, meski diusik, meski dikuyo-kuyo, disudutkan, dicaci maki, sejatinya Malang tetap bisa adem seperti hawanya. Udara Malang sudah mengajarkan kepada masyarakat Malang untuk tetap dingin meski dalam kondisi panas sekalipun.

Apapun alasannya, kecewa seberat apapun, tak dibenarkan kalau aksi memakai kekerasan. Apalagi sudah merusak asset milik orang lain. Kalau aksi itu dilakukan dengan orasi keras, dialog meski berlangsung panas, adu argument dan saling debat asal tidak disertai pukulan dan tendangan, mungkin masih bisa diterima nalar dan akal sehat.

Tapi kalau sudah tidak ada dialog, tidak ada negosiasi dan langsung merusak, maka siapa pun pasti akan berurusan dengan hukum. Karena perusakan yang dilakukan itu masuk ranah pidana. Dan aparat kepolisian tanpa pengaduan pun bisa mengusut kasus perusakan dalam aksi apapun. Karena perusakan sudah keluar dari konteks aksi yang sesungguhnya. 

Epictetus dalam bukunya Enchiridion seperti yang ditulis Henri Manampiring dalam bukunya Filosofi Teras halaman 39, menyebutkan bahwa ‘’some things are up to us, some things not up to us.’’ Artinya Ada hal-hal yang berada dalam kendali kita, ada hal-hal yang tidak berada di bawah kendali (tidak tergantung pada) kita.

Prinsip ini disebut Dikotomi Kendali (Dichotomy of Control). Semua filsuf Stoa sepakat dengan prinsip fundamental ini bahwa dalam hidup ada hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan ada yang tidak. Dalam negara, dalam organisasi, dan dalam bisnis, juga ada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Tapi juga ada yang diluar kendali kita.

Agar hidup tenang, sejatinya kita kembali kepada prinsip hidup selaras dengan alam. Yaitu hidup dengan nalar yang baik dan pikiran yang baik. Yang membedakan kita dengan makhluk lain di dunia adalah, bahwa kita memiliki inti yaitu nalar.

Tugas kita sebagai makhluk adalah menjadi manusia sebaik-baiknya yang menggunakan nalar. Karena itu, segala hal yang dilakukan tanpa nalar, maka tindakan itu adalah irasional. Hidup damai dengan siapa pun adalah cara terbaik hidup selaras dengan alam.(*)      

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img