Sejak kehadiranya pada 2004, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) justru menimbulkan polemik. Sebagian pihak menilai bahwa lembaga tinggi negara ini tidak memiliki fungsi dan tugas sebagaimana mestinya. DPD RI Sebagai Lembaga legislatif yang dipilih seperti halnya anggota DPR, namun telah dikunci menjadi utusan daerah yang tidak memiliki kewenangan yang sama dengan DPR.
Secara normatif, Dewan Perwakilan Daerah atau DPD memiliki kedudukan yang sangat kuat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, hal itu karena keberadaan DPD RI dibentuk berdasarkan amanat konstitusi. Konstruksi undang-undang yang mengatur tentang MPR, DPR dan DPD, dan DPRD (UUD MD3) justru menempatkan DPD sebagai lembaga negara yang tidak merdeka. Hal tersebut karena kewenangannya dalam legislasi DPD harus bergantung kepada DPR.
Pasal 22D UUD 1945 hasil dari amandemen sidang tahunan MPR 2001 menyebutkan bahwa kewenangan DPD di bidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut membahas bersama DPR dan pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu, pemberian pandangan dan pendapat terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu.
Dari pasal tersebut sebenarnya kewenangan DPD RI telah “dikebiri” sehingga tidak bisa maksimal mewujudkan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat di daerah. DPD seperti lembaga negara pelengkap saja. Dampaknya para kepala daerah yang memiliki program daerah untuk diperjuangkan di pusat lebih menyukai koordinasi dan menitipkan aspirasinnya melalui Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR yang memiliki kewenangan legislasi.
Capaian Kinerja DPD Minim
Kinerja capaian program legislasi nasional atau Prolegnas, rancangan undang-undang (RUU) yang menjadi usulan DPD pun kerap terabaikan tanpa pembahasan. Bahkan prolegnas jangka menengah yakni Prolegnas 2015-2019 dan 2020- 2024, RUU yang menjadi usulan DPD belum satu pun yang disahkan menjadi Undang-Undang.
Dalam lima tahun terakhir, yakni pada 2017-2022 DPD hanya mampu mengusulkan lima RUU, yaitu RUU tentang Daerah kepulauan, RUU tentang Bahasa Daerah, RUU tentang Badan Usaha Milik Desa, RUU tentang Ekonomi Kreatif, dan RUU teantang Wawasan Nusantara. Dari lima RUU tersebut tidak satu pun yang berhasil disahkan menjadi Undang-Undang.
Sehingga, DPD dalam proses legislasi menjadi lembaga yang minim kontribusi dan nyaris menjadi lembaga yang mandul dalam bekerja. Kewenangannya dalam pembahasan berupa menyampaikan pandangan/ pendapat dan mengajukan daftar inventarisasi masalah (DIM) secara tertulis tetapi tidak ikut dalam pengambilan keputusan.
DPD Melakukan Upaya Penguatan
Menanggapi kewenangannya yang terbatas tersebut, sebenarnya DPD telah berupaya melakukan penguatan yakni mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ke Mahkamah Konstitusi, pada 14 September 2012.
Permohonan tersebut oleh MK diputus pada 27 Maret 2013 melalui keputusan Perkara Nomor 92/PUU-X/2012. Dalam amar putusannya, MK menguatkan kewenangan DPD dalam empat hal: Pertama, DPD terlibat dalam penyusunan program legislasi nasional. Kedua, DPD berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Ketiga, DPD membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Keempat, Pembahasan RUU dalam konteks Pasal 22 D ayat (2) bersifat tiga pihak (tripatrit) yaitu antar DPR, DPD dan Presiden.
Putusan MK itu menjadi konsepsi teoritis pembentukan DPD yang dimaksudkan pada awal pembentukannya, yakni menjadikan parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameral), yang terdiri dari DPD dan DPR. Sehingga proses legislasi dapat terlaksana berdasarkan system double chek yang merepresentasikan kepentingan seluruh rakyat Indonesia, yakni DPD sebagai representasi teritorial dan DPR sebagai representasi dari politik.
Namun, putusan MK ini tidak diakomodir dalam UU MD3, kewenangan DPD telah kembali direduksi. Bahkan ketentuan yang sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK dalam putusan perkara Nomor 92/ PUU-X/2012 justru dihidupkan kembali yang menyebabkan DPD dalam ranah legislasi kembali nyaris tidak ada gunanya.
Menanggapi hal itu, DPD kembali mengajukan permohonan judicial review ke MK sesaat setelah UU tersebut disahkan. Melalui putusan perkara Nomor 79/PUU-XII/2014, MK kembali menegaskan kewenangan DPD, sejalan dengan keputusan sebelumnya. Meskipun sudah ada keputusan MK tersebut, kewenangan yang dimiliki DPD tetap bergantung pada kehendak DPR.
Sehingga DPD tampak semakin tidak berdaya, dan tidak jarang DPD justru menunjukkan ketidakmampuannya di ranah legislasi dengan cara-cara seperti yang dilakukan oleh LSM ataupun organisasi masyarakat sipil dalam melakukan advokasi dari luar ranah legislatif. Seperti misalnya melalui pernyataan sikap dan kampanye media.
Hal itu menjadi bukti bahwa fungsi dari DPD di ranah legislatif mengalami pergeseran. Yang semula ditempatkan sebagai penyeimbang kekuatan politik dan diharapkan menjadi wadah penyalur kepentingan daerah dalam proses pengambilan keputusan politik penyelenggaraan negara, justru menjelma menjadi lembaga negara yang tidak memiliki kemanfaatan.
Eksistensi DPD yang tidak memiliki kemanfaatan sebaiknya dibubarkan, atau jika tetap dipertahankan keberadaannya maka perlu membenahi sistem pemilihannya, tugas pokok dan fungsinya serta harus diatur hubungan kelembagaannya. (*)