spot_img
Sunday, September 8, 2024
spot_img

Draf Rancangan Perubahan Undang-Undang Penyiaran yang Bocor Menuai Kontra

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Penulis : Rezqi Ramadhan R. Sudin
Mahasiwa Universitas Muhammadiyah Malang

Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dianggap merampas kebebasan pers dengan membatasi kinerja jurnalistik sehinga menuai protes masyarakat karena juga dapat membatasi hak publik memperoleh informasi. Berikut adalah pasal-pasal yang saling tumpah tindih mempunyai pengaruh pada kemerdekaan pers :

  1. Pasal 50B ayat (2) huruf c tentang larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
    Larangan pada penayangan eksklusif jurnalistik merupakan salah satu bentuk penutupan informasi secara eksklusif. Pemerintah Indonesia terasa ingin menghindari investigasi secara langsung, melainkan tidak menggunakan jurnalistik investigasi eksklusif untuk pembenahan penyelenggaraan negara dengan sarana check and balances terhadap suatu kasus. Selain itu, juga bersebrangan dengan Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 tentang setiap orang berhak untuk memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Hal tersebut akan berpotensi merusak demokrasi yang ada di Indonesia. Seharusnya tidak boleh ada pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik, apabila berita yang diterbitkan sesuai dengan fakta dan prinsip kode etik jurnalistik untuk keperluan publik.

  2. Pasal 8A ayat (1) huruf q tentang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran dan Pasal 42 tentang muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS (Standar Isi Siaran), dan ketentuan peraturan perundangundangan. Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal tersebut berisikan ketentuan KPI yang mempunyai kewenangan dalam mengatasi sengketa pers. Namun, revisi atau perubahan pada Undang-Undang tersebut menyebabkan perselisihan antara kewenangan KPI dengan Dewan Pers. KPI memang mempunyai kewenangan untuk menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah, dan masyarakat. Selain memberikan informasi dan hiburan, peran strategis Pers adalah pengawasan. Dewan Pers tidak termasuk yang memiliki kewenangan secara tegas dalam melakukan pengawasan seperti DPR, namun fungsi pengawasan yang dimiliki lembaga negara berlangsung tidak selalu efektif. Pasal tersebut dinilai sebagai usaha pemerintah mereduksi independensi Dewan Pers dan fungsi Undang-Undang Pers. Dalam pasal tersebut menghilangkan kode etik jurnalistik dan UU Pers sebagai acuan dalam mengevaluasi karya para jurnalistik dalam menyiarkan berita, mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan SIS (Standar Isi Siaran) yang berisikan Batasan, larangan, dan kewajiban penyelenggara penyiaran. Tumpang tindih hal tersebut dapat mempengaruhi ketidakpastian hukum dalam proses penyelesaian sengketa pers.

    Permasalahan yang tidak kunjung tuntas dalam bocornya perubahan Undang-Undang Penyiaran ini menuai desakan Pers kepada DPR RI untuk meninjau ulang atas urgensi atau keharusan adanya revisi Undang-Undang; dapat menghapus pasal-pasal yang dinilai problematik sehingga menimbulkan pelanggaran hak-hak kemerdekaan pers dan menghambat hak masyarakat mendapatkan informasi secara eksklusif; dan dapat mengikutsertakan Dewan Pers dan Masyarakat yang memiliki perhatian khusus pada isu-isu yang tumpang tindih. (*/nda)
- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img