Menghitung bulan saja. Tinggal delapan bulan akan digelarnya pesta rakyat secara nasional Pemilihan Umum (Pemilu) DPR, DPD, DPR Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota, dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024. Terlihat bermunculan Bakal Calon Presiden dari partai pengusung, maupun gabungan Partai Politik (Parpol).
Partai Nasional Demokrat (NasDem) telah menjagokan Anies Bawesdan (mantan Gubernur DKI Jakarta), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memproklamirkan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Timur), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menggadangkan Prabowo Subianto Djojohadikusumo (Menteri Pertahanan) dan kemungkinan dalam bulan mendatang ada nama yang muncul.
Dalam perspektif Goffman, mereka telah memainkan sandiwara dengan peran berbeda-beda untuk pencitraan diri, politik identitas rajin mengunjungi daerah-daerah di tanah air. Panggung sandiwara ini, lebih terkenal dengan teori sosial “Dramaturgi” yang dipopulerkan oleh Erving Goffman buku berjudul “The Presentation of Self in Everday Life(Presentasi Diri dalam Kehidupan Sehari-hari)” diterbitkan tahun 1956, tetapi peran ini sampai sekarang dimainkan oleh elite politik, elite Parpol dengan gaya semakin modern. Bacalon Presiden menyapa masyarakat dengan cara berinteraksi secara kelompok, kedaerahan, komunitas, dan keagamaan.
Goffman menjelaskan dramaturgi bagaimana individu tampil dalam dunia sosial, berinteraksi tatap muka menjanjikan, menawarkan suatu pertunjukan, sehingga menimbulkan kesan (impression) diperoleh banyak orang terhadap pertunjukan. Setiap episode yang diperankan oleh mereka berubah lakonnya, tetapi orang yang berperan tetap sama memainkan. Setiap manusia diberi peran sebagai aktor menampilkan segala sesuatu untuk meraih tujuan tertentu yaitu akan terpilih menjadi presiden.
Sejumlah elite politik, elite Parpol, bahkan pendukung dana telah berkoalisi dalam memunculkan nama calon pemimpin mereka yang digadang-gadangkan sebagai pemimpin ideal masa depan. Berlomba-lomba membangun citra politik identitas untuk menanamkan kepada masyarakat/ publik, bahwa peran mereka sebagai aktor politik terbaik di media massa, televisi, radio, media internet, media sosial (Medsos).
Interaksi sosial sebagai pertunjukan sandiwara (play show) sehingga bagaimana memainkan peran/ lakon dalam kehidupan sehari-hari. Menganalisa interaksi sosial tidak terkecuali konsep dramaturgi dimainkan oleh elite politik, petinggi Parpol dengan bermacam peran dalamnya.
Panggung Sandiwara
Kita teringat lirik lagu “Panggung Sandiwara” yang dinyanyikan oleh Ahmad Albar dalam Grup Good Bless. “Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah, kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani. Setiap kita dapat satu peran, yang harus kita mainkan, ada peran wajar, ada peran berpura-pura. Mengapa kita bersandiwara. Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak, peran bercinta bikin orang mabuk kepayang, dunia ini penuh dengan sandiwara….”.
Lirik lagu ini, sangat cocok dengan situasi tahun politik akhir-akhir ini. Semua bersandiwara, ada yang berpura-puran menjadi jati diri, tetapi kepura-puraan itu hanya berupa semu (pseudo) dari kenyataan.
Elite politik dalam mengambil, berperan atau mempengaruhi keputusan sebuah pemerintahan/ negara. Elite politik bertindak sebagai pemimpin politik memegang peran penting dalam merumuskan kebijakan pemerintah/ negara. Pemimpin politik bertanggung jawab dalam membuat setiap keputusan politik menyangkut banyak orang.
Oleh karena itu, dramaturgi sebagai cermin memahami berbagai tingkah laku yang sebagai memanipulasi penampilan untuk mencapai tujuan tertentu yaitu merebut kekuasaan, serta bagaimana mereka mempertahankan kekuasaan.
Para elite politik, elite Parpol memperkuat citra/ identitas sebagai pemimpin yang kharismatik, berwibawa, berkompeten, dan peduli terhadap kepentingan masyarakat atau keberpihakan kepada wong cilik. Para elite politik menjadi panggung sandiwara sebagai pencitraan, sehingga mengadopsi atau menukarkan peran sosial melakukan pertunjukan yang telah dirancang agar mempengaruhi publik tentang mereka dan Parpolnya.
Mereka menyadari betapa pentingnya pencitraan diri, indentitas diri yang ditawarkan kepada publik/ masyarakat pemilih. Mereka menggunakan sebagai panggung depan diatur secara cermat oleh elite politik/ elite Parpol, juga berperan di belakang panggung, tetapi skenario sandiwara yang dilakoni hanya satu tujuan. Yaitu untuk meyakinkan kepada masyarakat/ publik, mereka yang terbaik dari yang lain, sehingga masyarakat menjatuhkan pilihan pada tanggal 14 Februari 2024 padanya.
Strategi dan Intrik
Dunia politik diwarnai strategi, taktik dan intrik syarat kepentingan untuk meraih suara dalam Pemilu. Kebanyakan pemilih tidak menyukai dan tidak mau terlibat dalam dunia politik praktis. Tetapi banyak orang juga begitu antusias, tertarik kepada dunia politik, sehingga mereka juga ikut dalam dramaturgi yang dimainkan oleh elite politik/ Parpol.
Teori Dramaturgi oleh Goffman tidak terlepas dari pengaruh Gooley yaitu “the looking glass self” yang dikembangkan oleh Charles Horton Cooley, diri seseorang tumbuh melalui interaksi interpersonal dengan masyarakat dan persepsi orang lain. Bagaimana kita membayangkan terlihat orang lain, membayangkan bagimana pendapat orang lain mengenai diri kita, dan kita mengembangkan berdasarkan penghakiman orang lain.
Gooley berpendapat gambaran seseorang hanya bisa berkembang dengan bantuan orang lain. Jadi, setiap orang menggambarkan diri mereka sendiri dengan cara bagaimana orang-orang lain memandang mereka.
Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian sesorang berupa biologis, lingkungan fisik, kebudayaan, dan pengalaman dari seseorang. Goffman dalam teori dramaturgi tidak semata menfokuskan pada struktur sosial, tetapi pada interaksi tatap muka atau kehadiran bersama (co-prensence). Hal ini, saling mempengaruhi tindakan-tindakan satu sama lainnya, ketika saling berhadapan.
Sandiwara ini, para elite politik/ elit Parpol menjadikan sebagai media menampilkan dirinya, sehingga ada yang menggunakan televisi, radio, Medsos yang dapat menonton mereka memperlihatkan kebaikan dirinya. Para Calon bermain sandiwara seiring dengan skenario atau ide yang dikonsepkan oleh tokoh Parpol yang bersangkutan.
Setiap orang melakonkan perannya sendiri-sendiri, seirama dengan pesan, visi, misi yang dimainkan dalam berpolitik. Mereka semua bersandiwara, tidak seperti kehidupan sehari-hari. Semata hanya pencitraan dan politik identitas membentuk para pendukung, kedaerahan, etnis, agama, ras, komunitas sebagi penonton setia.
Teori Goffman menggambarkan panggung sandiwara dimainkan oleh mereka, berlomba-lomba menampilkan yang terbaik agar pertunjukan berjalan sesuai skenario, dan berhasil kesuksesan (happy ending) terbaik dari diri mereka. Cara ini, lazim disebut pencitraan diri atau politik identitas. Goffman menjelaskan bagaimana perspektif ketika berinteraksi kepada masyarakat/ publik. Pesan yang disampaikan agar bermanfaat bagi masyarakat, sehingga tidak menimbulkan perpecahan, kebencian antara sesama anggota masyarakat. Semoga.(*)