Acap kali kita menyukai hal-hal viral dalam jejaring media sosial untuk disimak baik di permukaannya saja ataupun menyibak dan mengulitinya lebih detail. Menjadi takdir manusia bahwa komunikasi yang terbangun dengan baik dan kesan nyambung akan membawa kita pada ruang percakapan lebih rinci baik dengan orang yang baru kita kenal maupun sudah lama kenal.
Komunikasi seperti ini tidak hanya terjadi saat moment yang mempertemukan dengan sengaja maupun tidak, namun di ruang maya kesan dari percakapan media sosial yang dibungkus rapi dalam kolom komentar seraya menjadi bentuk obrolan yang kuat menciptakan satu komunikasi verbal.
Terbaru kekerasan yang dilakukan seorang anak pejabat kepada salah satu anak dari pengurus ormas menjadi trending topic selama berhari-hari. Beribu-ribu komentar dengan berbagai nada aiuoeo. Doa terbaik serta perasaan sepenanggungan secara emosional jujur dikeluarkan oleh warganet. Semua berlangsung secara alami dan normal. Satu hal yang menjadi kewaspadaan kita pasalnya kekerasan bukanlah jawaban dari pemecahan sebuah masalah.
Pernah terjadi di Tiongkok tahun 2006, viralnya video online perempuan yang melakukan kekerasan terhadap hewan. Membunuh seekor anak kucing kecil dengan sepatu hak tingginya, warganet lantas marah dan mengutuk keras atas kejadian tersebut. Semua orang tergerak hatinya untuk ikut menjadi detektif atas kejadian ini. Kolaborasi kekuatan media sosial dipadukan dengan pelacakan di dunia nyata ini menghasilkan beberapa data di antaranya adalah diketemukannya identitas pelaku dan tempat kerja pelaku kekerasan tersebut. Sontak warganet memintanya untuk membuat permintaan maaf ke publik. (Giri Lukmanto, 2021)
Digital vigilantism muncul pertama kali atas definisi akademisi Daniel Trottier yang menyebut bahwa warga negara secara kolektif tersinggung oleh tindakan warga negara lain. Arah perkembangannya adalah menegakkan hukum dan norma yang berjalan di masyarkat dengan cara menyebut dan mempermalukan pelanggar hukum dan norma tersebut melalui media digital.
Fenomena inilah yang dikenal dengan istilah digital vigilantism dewasa ini. Secara istilah dapat diartikan bahwa digital vigilantism adalah sikap main hakim sendiri di dunia maya dalam tujuan untuk konteks kebaikan maupun keburukan.
Digital vigilantism menjadi menarik karena kini tumbuh subur di dunia digital. Praktik ini seakan memberikan kesempatan bagi siapapun untuk bisa mengekspresikan isi hati yang tidak akan mungkin dilakukan secara verbal dengan bertemu dengan pelaku pelanggar hukum dan norma masyarakat.
Belum lagi nama samaran akun (bukan nama sebenarnya) membukakan jalan bagi jiwa jiwa hipokrit tumbuh subur dan terus tidak bertanggungjawab dalam menghilangkan jejak. Damar Juniarto menyebut empat bentuk digital vigilantism yang umum dikenal saat ini adalah Flagging (menandai), Investigating (menyelidiki), Hounding (memburu), dan Organised leaking biasa dilakukan dalam paltform digital.
Negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat bukanlah hal baru mengenal digital vigilantism. Beberapa kasus kasus besar diselesaikan melalui fenomena ini. Kemampuan penyebaran informasi digital vigilantism dirasa cukup efektif karena mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Kasus pelecehan seksual yang dilakukan produser terkenal Harvey Weinstein terbukti efektif dengan dijatuhkannya hukuman selama 23 tahun. Hal lain yang perlu dicatat dalam digital vigilantism adalah kemampuan warganet bersatu pada memberikan komentar yang senada, beberapa media sosial mengenalnya dengan menaikkan tagar secara bersama-sama.
Dari beberapa hal di atas, contoh contoh digital vigilantism mampu mengarah kepada hal baik. Sugeng Winarno dosen ilmu komunikasi FISIP UMM menuliskan pemikirannya pada koran Malang Posco Media terbitan tanggal 2 Maret 2023 bahwa digital vigilantism mampu memberikan bukti dan informasi tambahan dalam kaitannya fakta hukum.
Namun tidak bisa dipungkiri ada pula digital vigilantism yang berjalan kepada arah keburukan semisal penyebaran hoaks, pencemaran nama baik, dan bahkan terjadinya kekerasan. Dengan kata lain sebagai warganet yang handal sudah sepantasanya menempatkan diri sendiri sebagai orang yang bijak dalam menentukan keikutsertaan dalam digital vigilantism.
Indonesia sebagai negara besar memiliki potensi akan hal tersebut. Kekuatan warganet saat bersuara jelas akan membuat jagad maya memperhitungkan. Potensi digital vigilantism bisa berkembang ke arah lebih baik jika didukung dengan cara yang arif dalam rangka pemanfaatan teknologi secara berkesinambungan.
Sebagai catatan pengguna internet di Indonesia sebesar 212,9 juta yang berarti 77 persen penduduk Indonesia telah menggunakan internet. Penggunaannya pun rata-rata adalah 7 jam 42 menit setiap harinya untuk berselancar bersama internet. (data we are social dalam Monavia ayu rizaty, 2023)
Diketahui pula warganet Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Catatan stock apps pengguna smartphone di dunia adalah 5,3 miliar pada Juli 2021. Hal ini menggambarkan separo dari populasi penduduk bumi yang berjumlah sekitar 7,9 miliar.
Di Indonesia sendiri perkembangan penjualan smartphone menurut data reportal adalah sekitar 370,1 Juta yang terkoneksi. Dari catatan ini sangat dimungkinkan kekuatan warganet Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Tidak terkecuali pula untuk digital vigilantism yang membela hak-hak kemanusiaan.
Sebaran warganet juga teranalisa dengan tingginya titik penjualan yang berada di Pulau Jawa. Sekitar 86,60 persen pengguna smartphone berdomisili di Pulau Jawa, disusul pada peringkat kedua adalah pulau Sumatera dengan presentase 84,14 persen dan pulau Kalimantan 43,82 persen. Hal ini dimungkinkan karena adanya akses telekomunikasi yang cukup baik secara infrastruktur pendukung jaringan internet serta semakin terjangkaunya harga smartphone.
Pada akhirnya digital vigilantism dipastikan berkembang baik dalam kurun waktu lambat maupun secepat kilat. Digital vigilantism pula akhirnya mengerucutkan kita pada dua hal yang baik dan buruk. Bergerak kepada arah kebaikan maupun yang ke arah yang buruk memiliki potensi yang sama pada tataran kehidupan masyarakat yang kian kompleks.
Semua tergantung dari cara pandang kita sebagai manusia yang mampu mengendalikan suara, ide perubahan atau hanya sekadar hanya bentuk cemoohan saja. Hidup terkadang memang penuh dengan pilihan pilihan sulit.(*)