Pasca terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 2023 semakin menutup peluang perkawinan beda agama di Indonesia. SEMA memiliki perintah kepada para Hakim pengadilan untuk menolak permohonan pencatatan perkawinan beda agama.
Melalui SEMA, MA menegaskan UU Perkawinan tidak memiliki ruang bagi perkawinan beda agama. Keinginan MA linier dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Tahun 2015 dan 2022 MK secara tegas menolak uji materil untuk membuka toleransi di UU Perkawinan agar memiliki ruang hukum untuk perkawinan beda agama.
Tidak dipungkiri meskipun UU Perkawinan dianggap melarang, akan tetapi putusan Hakim memiliki disparitas dalam merespon perkawinan beda agama. Misalnya Hakim Pengadilan Negeri Surabaya tahun 2022 berani mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Dan sempat viral di penjuru nusantara.
Meskipun sebenarnya peristiwa perkawinan beda agama di Indonesia tidak hanya terjadi pada tahun tersebut saja. Apabila merujuk data BPS tahun 2010, jumlah perkawinan beda agama di Indonesia mencapai 228.795 pasangan. Indeks perkawinan beda agama terendah berada di Aceh. Sedangkan angka tertinggi didominasi oleh wilayah dengan penduduk mayoritas non-muslim.
Beda Tafsir
Fakta di atas semakin memperkuat sebuah pertanyaan. Apakah perkawinan beda agama di Indonesia boleh dilakukan atau tidak? Apabila merujuk pada pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, syarat sah perkawinan dkembalikan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Koridor Agama tentu tidak bersifat absolut. Dalam disertasi Erika B. Seamon (Goergetown University, 2011) menyinggung soal pluralisme agama dalam perkawinan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan secara objektif hampir semua agama monoteis tidak absolut melarang perkawinan beda agama.
Islam sebagai agama monoteis tidak dipungkiri memiliki multiperspektif dalam merespon perkawinan beda Agama. Di Indonesia, beberapa kalangan mayoritas ulama sepakat perkawinan beda agama hukumnya haram. Apalagi dalam Inpres no. 1 tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam) juga mengakomodir larangan umat muslim menikahi umat non muslim. Apabila menggunakan rujukan tersebut, perkawinan yang sah bagi umat muslim menurut UU Perkawinan adalah perkawinan yang seagama.
Berbeda dengan pandangan ulama timur tengah. Ulama di sana mungkin sedikit memberikan toleransi terhadap perkawinan pria muslim dengan Wanita non muslim ahli kitab (C. Recep, 2015). Berdasarkan penelitian Alex B. Leeman (2009), selain Arab Saudi pandangan ulama tersebut diadopsi oleh negara-negara Islam untuk melegalkan perkawinan beda agama antara pria muslim dan wanita ahli kitab dengan catatan tidak sebaliknya dan selainnya.
Di Malaysia, kategori wanita ahli kitab harus berasal dari keturunan Nabi Yaqub (Maznah, 2009). Sedangkan di Tunisia justru memberikan lampu hijau bagi perkawinan antara wanita muslim dan non muslim (R. Khedher, 2017). Apabila menggunakan pandangan tersebut, tidak menutup kemungkinan tafsir pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dapat membuka toleransi terhadap perkawinan beda agama.
Dualisme Hukum
Perbedaan dualisme pandangan hukum perkawinan beda agama di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak dahulu. Pada tahun 1986, MA yang dipimpin oleh Ali Said mengabulkan perkawinan beda agama yang tertuang pada Putusan MA No. 1400 tahun 1986.
Putusan tersebut sebagai anulir Pengadilan Jakarta Pusat yang sempat menolak mengabulkan perkawinan beda agama oleh pemohon. Hakim MA menganggap UU Perkawinan tidak tegas melarang perkawinan beda agama. Kategori perkawinan campuran dalam pasal 57 dianggap tidak cukup mengakomodir karena memiliki syarat harus ada perbedaan kewarganegaraan.
PP. no 9 Tahun 1995 sebagai peraturan Pelaksana UU Perkawinan juga tidak mengatur ruang perkawinan tersebut. Akhirnya berdasarkan pasal 66 UU Perkawinan, Hakim memberlakukan Pasal 7 ayat (2) Gemengde Huwelijken regeling (GHR) untuk menerima permohonan perkawinan tersebut.
Berdasarkan peristiwa tersebut, secara yuridis Indonesia memiliki dualisme perspektif hukum dalam perkawinan. Tersedianya ruang untuk melangsungkan perkawinan beda agama karena UU Perkawinan yang memberikan celah tersebut.
Sebagaimana dalam pasal 21 ayat (3) UU Perkawinan, Pasal 35 a, dan pasal penjelasan 35 a UU. No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memberikan jalur hukum untuk melakukan permohonan pencatatan perkawinan beda agama kepada pengadilan.
Dalil-dalil hukum tersebut selalu menjadi rujukan aturan bagi pasangan di Indonesia yang akan melangsungkan perkawinan beda agama, jika sebelumnya mengalami penolakan pencatatan perkawinan oleh pegawai instansi yang terkait. Jika Pengadilan mengabulkan, perkawinan tersebut dapat dicatatkan di kantor catatan sipil sebagaimana perintah undang-undang.
Harmonisasi Hukum
Akhirnya, pengaturan perkawinan di Indonesia perlu ditinjau ulang untuk mewujudkan kepastian hukum. SEMA bukanlah opsi yang tepat sebagai solusi problematika hukum perkawinan di Indonesia. Dalam UU. No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, SEMA memang menjadi bagian produk hukum MA untuk penyelenggaraan peradilan.
Akan tetapi secara peraturan perundang-undangan, SEMA tidak memiliki syarat mutlak sebagai bagian dari aturan regelling maupun beschiking karena sifatnya hanya pedoman dan tidak dapat menjadi jalan tengah dualisme hukum perkawinan.
Apalagi perkawinan adalah bagian dari hak asasi manusia. Indonesia yang telah menundukkan diri terhadap Deklarasi Hak Asasi Manusia seharusnya dapat mencermati hak perkawinan yang tidak dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan maupun agama. Meskipun sebenarnya ada ruang pembatasan.
Dan hak perkawinan juga bukan bagian dari non derogable right (hak yang tidak dapat dibatasi). Negara bisa saja menjadikan agama sebagai batasan dalam perkawinan. Namun berdasarkan pasal 29 ayat (2) DUHAM dan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945, pembatasan HAM harus berdasarkan Undang-Undang, bukan SEMA.
Artinya, apabila ingin mengatur larangan perkawinan beda agama bukanlah melalui SEMA. Akan tetapi perlu melakukan harmonisasi aturan untuk mengakhiri dualisme hukum yang ada. Meskipun sebenarnya tidak menutup kemungkinan harmonisasi hukum tersebut dapat membuka toleransi perkawinan pluralisme. Mengingat Indonesia memiliki masyarakat yang heterogen.
Namun tetap perlu kajian mendalam melalui meaningfull participation agar menjadi landasan hukum yang proporsional dalam menegakan legal justice, moral justice,dan social justice pada ranah perkawinan.(*)