.
Sunday, December 15, 2024

Empati dan Kepedulian Terhadap Perilaku Bunuh Diri

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Dalam beberapa pekan yang lalu, masyarakat geger dengan peristiwa yang terjadi di Jembatan Soekarno Hatta (Suhat) Kota Malang. Peristiwa yang memperlihatkan aksi bunuh diri seorang remaja berusia 18 tahun yang nekat menerjunkan diri dari atas Jembatan Soekarno Hatta (Suhat). Sebagai puncak dari kejadian tersebut, korban ditemukan dalam keadaan tak bernyawa dengan sebilah cutter dan bercak darah.

Selain itu, terdapat juga beberapa orang yang melakukan percobaan-percobaan bunuh diri setelahnya, namun beberapa berhasil digagalkan oleh warga yang menyadari dan segera mengambil tindakan pertolongan.   Mengutip detikjatim menyebutkan, sepanjang Januari hingga Mei 2023 terdapat empat kasus percobaan bunuh diri yang dilakukan di Malang. Tiga kasus dapat dicegah dan satu kasus tidak terselamatkan.

Sederet kasus bunuh diri yang menyebabkan Malang menjadi kota darurat bunuh diri ini menjadi problem bersama yang tentu harus dicari jalan keluarnya bersama-sama pula. Berlaku untuk semua pihak baik itu keluarga, masyarakat, dan pemerintah.

Menjadi suatu pertanyaan besar adalah apakah bunuh diri menjadi satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaan? Jawabannya tentu tidak. Maka, pencegahan bunuh diri hendaknya dimulai dari pemahaman akan gejala-gejala dan metode penanganannya, sehingga kita mampu sedikit banyak memberikan harapan optimisme bagi mereka yang merasa tertekan mentalnya.

Fenomena bunuh diri yang terjadi, setidaknya senada dengan apa yang disebut oleh Carl Gustav Jung sebagai masalah spiritual masyarakat modern. Manusia-manusia yang diibaratkan orang yang berdiri di atas puncak, atau di ujung dunia, dengan jurang masa depan di hadapannya, surga di atasnya, dan orang-orang yang tertelan kabut purba di bawahnya (Jung, 2022: 232).

Dari pernyataan Jung di atas, setidaknya ada tiga komponen yang mampu memengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri yaitu, (1) lingkungan; (2) persepsi tentang masa lalu dan masa depan; dan (3) spiritualitas diri. Ketiganya menjadi poros utama yang mampu mencegah atau justru memberikan dorongan bagi seseorang untuk memutuskan melakukan bunuh diri.

Terjadinya bunuh diri, tentunya bukan tanpa sebab. Pastinya ada berbagai macam faktor yang melatarbelakanginya yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari kondisi fisik dan mental seseorang. Sedang, faktor eksternal berasal dari luar diri. Dapat berupa lingkungan, dukungan sosial, dan lain-lain.  

Lingkungan disinyalir berkontribusi besar dalam memengaruhi pengambilan keputusan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Sehingga iklim lingkungan yang baik untuk kesehatan mental harus diciptakan sedemikian rupa, agar mampu mencegah perilaku bunuh diri.

Membangun Kesadaran Diri

Narasi Creating Hope Through Action”­ diusung oleh Internasional Association for Suicide Prevention (IASP), bekerjasama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang bermakna menciptakan harapan melalui tindakan nyata, menjadi spirit kolektif untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan ruang-ruang aman dari tekanan mental sebagai faktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri.

WHO menilai, kasus bunuh diri ini merupakan problematika yang kompleks dan butuh perhatian yang serius. Bahkan, untuk memberikan perhatian lebih secara universal, setiap tanggal 10 September diperingati sebagai hari pencegahan bunuh diri sedunia. Lantas, kewajiban dalam memberikan penanganan dan menciptakan iklim lingkungan yang baik menjadi tanggung jawab semua orang baik secara individu maupun kelompok.

Pada dasarnya, setiap manusia cenderung untuk mengembangkan dirinya untuk menjadi lebih baik setiap harinya. Tentunya, tindakan nyatalah yang ditunjukkan. Karena persoalan mental, tidak cukup hanya pada tataran teoritis belaka. Kekuatan besar yang dapat kita semai ialah rasa cinta terhadap sesama. Kekuatan rasa cinta itulah yang menggerakkan liku kehidupan manusia.

Ada satu strategi yang dapat dibangun untuk membentuk konsep di dalam diri, sehingga hal ini dapat menjadi manajemen diri dalam menghadapi segala problematika dan lika-liku kehidupan, yaitu membangun kesadaran diri (self awareness). Memahami diri sendiri dengan baik merupakan cara yang ampuh dalam proses penerimaan diri (self acceptance). Penerimaan diri sebagai langkah untuk mencintai diri sendiri (self love).

Memahami diri mencakup pemahaman apa yang ada di luar dan di dalam diri, juga mencakup hal yang bisa dikontrol dan hal yang tidak bisa dikontrol. Dalam mencapai kesadaran diri maksimal, kita seharusnya fokus pada hal-hal yang bisa dikontrol saja. Energi tidak terkuras habis, pikiran terjaga tetap pada kadarnya, dan mempermudah meningkatkan kebahagiaan diri.

Menciptakan Iklim Empati

Salah satu jenis empati adalah sifat, karakteristik kepribadian yang biasanya berkembang selama masa kanak-kanak. Seseorang mendapatkannya secara alami. Hal tersebut meniscayakan kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain dan membayangkan apa yang mereka alami. Inilah sebabnya, empati dapat menempatkan diri kita pada posisi orang lain dan mengidentifikasi diri dengan mereka.

Empati menjadi elemen penting dalam menciptakan iklim lingkungan yang baik bagi kesehatan mental seseorang. Selain kesadaran diri (self awareness), empati merupakan bagian penting dari dukungan sosial (social support). Menyemai rasa cinta kemanusiaan pada seluruh aspek kehidupan harus menjadi kesadaran dan etos kolektif dalam mencegah perilaku bunuh diri. Lingkungan yang baik adalah idaman semua orang.

Jadi, sebagai masyarakat yang optimis akan keberlanjutan hajat hidup kemanusiaan, harus benar-benar memperhatikan dan menjadi support system yang turut andil mengambil tindakan nyata dalam upaya mencegah terjadinya perilaku bunuh diri ini. Masalah hidup tentu ada dan niscaya. Tapi, bukanlah suatu kemustahilan masalah tersebut tidak ada jalan keluarnya. Karena di setiap kesulitan ada kemudahan.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img