Miris, tiga tahun terakhir Indonesia mencetak rekor terbanyak kasus bunuh diri dan perundungan hingga meregang nyawa. Lembaran media koran, ratusan reels Instagram, puluhan fyp TikTok, halaman-halaman Facebook, dan postingan-postingan Twitter (X) tidak habis-habisnya menayangkan berita duka yang menggores dan mengoyak-oyak relung dada.
Dilansir dari BBC News Indonesia, seorang santri pondok pesantren bernama Bintang harus meregang nyawa karena pemukulan yang dilakukan oleh seniornya. Belum sembuh luka batin akan kekerasan yang merjalela, berita baru mengabarkan Baim seorang bocah SD berusia 8 tahun dari Medan juga direnggut nyawanya akibat perundungan yang dilakukan oleh teman-temannya.
Seakan tidak ada habisnya, bahkan datang dari kalangan artis dan sekolah elite pun terjadi perundungan yang membahayakan fisik dan mental seorang anak. Apakah ini yang diharapkan oleh bangsa Indonesia setelah merdeka? Apakah ini yang diajarkan oleh agama kita? Apakah nyawa seseorang sebegitu bercandanya?
Dewasa tidak seindah sinetron dan drama korea. Ungkapan itu memang benar adanya. Jika lembaga pendidikan berbondong-bondong mengusung pendidikan karakter untuk diterapkan kepada para siswa, namun bagaimana dengan berita seorang laki-laki dewasa yang bekerja sebagai ojek online dengan sadisnya meludahi seorang penumpang wanita dan melakukan pemukulan tanpa belas kasih?
Akun @infomalangraya juga memberitakan seorang laki-laki yang merokok saat sedang berkendara hingga abu rokok mengenai mata seorang wanita, namun justru laki-laki itu tidak terima saat diingatkan bahkan melontarkan makian-makian yang sangat tidak pantas.
Mengapa negara Indonesia yang katanya cinta damai kini berubah 180 derajat menjadi negara yang suka ramai? Ramai saling mengolok-olok, ramai menyuarakan keegoisan, ramai saling menyalahkan, ramai perundungan, dan ramai buruknya kesehatan mental.
Tidak ada asap jika tidak ada api. Sama dengan fenomena ini tidak mungkin akan terjadi jika tidak ada penyebabnya. Bunuh diri juga menjadi penyebab utama kematian di Amerika Serikat. Pada tahun 2020, hampir 46.000 orang Amerika meninggal karena bunuh diri, dan tambahan 1,2 juta orang dewasa dan 629.000 remaja mencoba bunuh diri.
Meskipun tidak ada penyebab tunggal dari bunuh diri, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), dengan menggunakan data dari Sistem Pelaporan Kematian Akibat Kekerasan Nasional (National Violent Death Reporting System), memperkirakan bahwa 46 persen orang yang meninggal karena bunuh diri diketahui memiliki kondisi kesehatan mental.
Bulan Mei menandai Bulan Kesadaran Kesehatan Mental, waktu untuk merenungkan dan memberikan dukungan kepada jutaan orang di seluruh dunia yang terkena penyakit mental. Istilah ini mengacu pada berbagai kondisi kesehatan yang memengaruhi suasana hati, pemikiran, dan perilaku.
Kondisi ini dapat menyebabkan kesusahan dan masalah dalam berfungsi dalam aktivitas sosial, pekerjaan, dan keluarga. Satu dari lima orang dewasa Indonesia, atau hampir 53 juta orang, mengalami kondisi kesehatan mental pada tahun 2023. Dan digitalisasi telah memperburuk tantangan ini bagi banyak kelompok masyarakat.
Lalu apa yang harus kita lakukan dengan orang mengalami gangguan kesehatan mental? Haruskah kita acuh dan menutup mata dengan efek dari gangguan tersebut dan membiarkan orang lain banyak yang semakin terluka hingga mengorbankan nyawa? Tentu saja tidak. Lantas bagaimana kita sebagai manusia mencegahnya?
Don’t treat people the way you don’t wanna be treated. Sebagai manusia biasa dan makhluk sosial, tentu kita mengharapkan perlakuan baik dari orang-orang yang kita temui. Mudah saja, namun banyak yang tidak aware dengan hal ini. Menjelang lebaran Idul Fitri, pasti banyak remaja yang pasti akan mendapat pertanyaan “Kapan nikah?” Basa-basi klasik tapi sangat mengusik.
Nah, mari kita mulai dengan lebih mengapresiasi usaha-usaha yang sudah orang lain lalui. Alih-alih menekan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan tentang capaian yang belum terpenuhi, rangkul mereka dengan kalimat pujian yang memotivasi dan membuat mereka tidak merasa sendiri.
Bijak dalam bersosial media.
Ketika mulut tak dapat berucap, jemari yang akan bertindak. Ungkapan tadi bukan ucapan template selamat Idul Fitri. Akan tetapi ini adalah senjata dan penyakit netizen yang gemar sekali berkata kasar, mengolok-olok, judgemental, sok tahu, dan merasa paling benar di dunia ini.
Tahukah kalian, butuh keberanian dan trial-error yang memakan waktu bagi seseorang untuk dapat memupuk tingkat kepercayaan dirinya. Mengapa dengan tega usaha itu dimusnahkan dengan satu kalimat seperti “gitu doang pamer”, atau “ya ampun gendut banget sih?”
Silence within love.
Jika dengan tidak mengusik dan menyakiti orang lain saja sulit, maka diamlah. Diam tidak selalu buruk. Dengan diam kita tidak selalu menjadi orang yang underestimated. Terkadang dengan diam, kualitas diri semakin berkobar. Jika tiga hal tadi sudah berusaha kita terapkan, maka secara tidak langsung kita membantu individu untuk menekan emosional yang meluap-luap, meringankan tekanan hidup, dan membuat mereka lebih bahagia.
Jika seorang individu sudah bahagia dan cukup dengan dirinya, maka tidak ada waktu lagi untuk menyakiti atau niat menghancurkan orang lain. Jika rasa minder, cemas, takut, iri, dan tidak bahagia musnah, maka bisa jadi negara kita bebas dari bunuh diri, perundungan, maupun kekerasan-kekerasan lainnya.
Marilah kita mulai dari hal kecil. Kita memang bukan superhero yang menyelamatkan dunia. Namun bayangkan jika satu nyawa orang bisa terjaga dengan pilihan kalian hari ini. Itulah empati yang tak kasat mata.(*)