.
Thursday, December 12, 2024

Etos Kerja

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M.Si

MALANG POSCO MEDIA – Dalam Islam, kerja memiliki nilai yang sangat tinggi. Dalam beberapa hadits, Rasulullah mengatakan sebaik-baiknya orang adalah yang makan hasil kerja dengan tangannya sendiri. Bahkan, terdapat sebuah hadits qudsi yang menerangkan bahwa ada dosa yang hanya bisa dihapus dengan cara mencarikan nafkah untuk keluarga dan orang yang ditanggungnya.

Melihat bagaimana Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja, tentu umat Muslim juga diajarkan untuk memiliki etos kerja yang tinggi. Lantas, bagaimanakah konsep etos kerja dalam Islam? Mengutip buku Etika Bisnis Islam: Meneladani Etos Kerja Nabi dan Rasul oleh Budi Asyhari, konsep etos kerja dalam Islam adalah memperhatikan kehalalan sebuah pekerjaan. Sebab, bekerja memiliki nilai ibadah dan dianggap sebagai jihad.

Rasulullah SAW bersabda, “barang siapa bekerja untuk anak dan istrinya melalui jalan yang halal, maka bagi mereka pahala seperti orang yang berjihad di jalan Allah” (HR. Bukhari). Lalu, Rasulullah SAW juga bersabda, “mencar kerja yang halal itu adalah fardhu selepas fardhu” (HR. Baihaqi).

Menurut Yusuf Qardawi, konsep etos kerja dalam Islam tidak hanya sekadar bekerja, namun bekerja dengan baik dan tekun. Untuk mencapai ketekunan dalam bekerja, salah satu pondasinya adalah amanah, ikhlas, dan berusaha semaksimal mungkin dengan berharap mendapatkan keberkahan Allah SWT.

Etos kerja dalam Islam juga berarti bekerja bukan hanya untuk duniawi, namun untuk akhirat. Maka, hendaknya bekerja secara jujur, menghargai waktu, dan memperhitungkan segala hal. Hal ini berdasarkan beberapa ayat Al Qur’an berikut; “Wahai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya serta melaksanakan Syariat-Nya, taatilah Allah dan jauhilah kemaksiatan kepada-Nya, agar kalian tidak ditimpa hukuman-Nya, dan ucapkanlah dalam segala urusan kalian dan keadaan kalian kata-kata yang lurus sesuai dengan kebenaran, bersih dari kedustaan dan kebatilan.” (QS. 33 : 70).

Manusia adalah makhluk yang paling mulia di antara makhluk-makhluk Allah SWT yang lain. Manusialah yang sanggup mengemban amanat Allah SWT. Di atas pundaknya terdapat tugas-tugas mulia, kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan dengan baik. Baik kewajiban kepada Khaliqnya (sang pencipta), maupun kewajiban terhadap dirinya atau kepada orang lain, bahkan terhadap alam sekitar. Terutama kewajiban kepada orang yang menjadi tanggungjawabnya atau keluarganya, baik tanggung jawab dalam masalah pendidikan maupun nafkah sandang, pangan dan papan sesuai dengan kesanggupan.

Untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut manusia harus berusaha dan berikhtiar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya menurut kemampuan yang ada. Kemudian dari mana kebutuhan nafkah itu diperoleh kalau tidak bekerja sambil mengharap rahmat dari Allah SWT. Bekerja yang dilakukan itu namanya ikhtiar. Dan sebagai orang beriman, ikhtiar itu harus disertai dengan tawakkal kepada Allah SWT juga disertai dengan penuh keikhlasan dan kerelaan mengemban tugas mulia, untuk modal beribadah kepada Allah SWT.

Bekerja dan berusaha adalah sesuatu yang sangat mulia. Bekerja apa saja asal dengan jalan yang benar dan halal disertai dengan tidak mengabaikan kewajiban kepada Allah SWT dan tidak melupakan kepentingan akhirat. Sebab tidak sedikit orang yang bekerja mencari kekayaan duniawi tetapi melupakan kepentingan dan keselamatan ukhrawi. Karena sibuk bekerja sehingga mereka rela meninggalkan kewajiban kepada Tuhannya, seperti salat, puasa, zakat, dan lain sebagainya.

Islam mendorong umatnya untuk bekerja agar menjadi manusia mulia dan mandiri serta tidak membebani orang lain. Oleh karena itu bekerja tercatat sebagai ibadah karena sebagai bukti menjalankan perintah Allah SWT.

Islam menghendaki agar semua muslim memiliki etos kerja, agar kerja tidak sekadar memperoleh hasil maksimal tapi juga ada tujuan yang lebih mulia dan esensial yaitu munculnya keyakinan kuat bahwa setiap usaha atau pekerjaan apa pun akan berakhir menuju Allah SWT. Ada beberapa ciri umum yang bisa dijadikan ukuran apakah kita memiliki etos kerja tinggi atau rendah.

Orientasi ke Masa Depan

Muslim yang beretos kerja tidak hanya bermodal semangat tapi harus memiliki orientasi ke masa depan. Ia bekerja berdasarkan perhitungan dan rencana yang matang untuk terciptanya masa depan yang lebih baik. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an; “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. 59: 18).

Sebagai seorang muslim, orientasi kerjanya tidak hanya terbatas pada kehidupan di dunia tapi juga demi membangun kehidupan akhirat. Seluruh aktivitas kerja di dunia harus disadari sebagai perjalanan menuju kehidupan akhirat yang hakiki. Seorang Muslim yang beretos kerja memang harus berorientasi masa depan. Tetapi jika orientasinya terbatas di dunia, maka akan melahirkan sikap-sikap yang kontraproduktif dari kesungguhan bekerja. Sikap ini hanya akan melahirkan para pekerja-pekerja keras yang berjiwa sekuler, bahkan bukan mustahil cenderung serakah dan egois.

Kerja Keras

Al Qur’an selalu memotivasi setiap pemeluknya untuk senantiasa berkreasi dan berinovasi. Bahkan Islam memberi landasan yang mendasar, bahwa sebuah kerja keras harus dilandasi niat yang benar, serta sadar bahwa setiap prestasi kerja akan dinilai oleh Allah SWT dan Rasul SAW serta orang beriman.

Dalam hadist Nabi dijelaskan bahwa seseorang akan dicintai oleh Allah SWT jika mengerjakan sesuatu dengan penuh ketekunan, optimal dan mempersembahkan karya yang terbaik. Dari Aisyah r.a., sesungguhnya Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional.”

Hadist ini jelas memberi apresiasi kepada setiap muslim yang bekerja dan berusaha. Islam membenci umatnya yang menganggur dan berpangku tangan menunggu belas kasihan orang lain. Sahabat Umar ibn Khattab pernah berkata, saya benci melihat salah seorang di antara kalian menganggur tidak melakukan pekerjaan yang menyangkut dunianya tidak pula kehidupan akhiratnya. Islam tidak pernah membatasi jenis pekerjaan seseorang, yang penting halal.

Islam juga tidak pernah mengukur kualitas pekerjaan dari hasilnya tapi dari sisi kontinuitasnya. Seperti dalam sebuah hadist dari Aisyah ra yang diriwayatkan Abu Dawud bahwa “Bekerjalah semaksimal mungkin yang kamu bisa lakukan, karena sesungguhnya Allah tidak pernah bosan sampai kalian bosan sendiri. Hanya saja, amal perbuatan yang paling dicintai Allah adalah sedikit namun kontinu.” Dalam QS. 94 : 7-8 yang artinya : “Apabila engkau telah selesai (dengan suatu kebajikan), teruslah bekerja keras (untuk kebajikan yang lain) dan hanya kepada Tuhanmu berharaplah.”

Ayat di atas memberikan petunjuk bahwa seorang muslim harus memiliki kesibukan. Bila telah selesai satu pekerjaan, ia harus memulai pekerjaan lain sehingga kita tidak akan pernah menelantarkan waktunya yang sangat berharga.

Menghargai Waktu

Islam mengajarkan kepada umatnya agar setiap detik dan waktunya harus diisi dengan hal-hal yang bermanfaat. Manusia akan mengalami kerugian jikat tidak benar benar memanfaatkan secara optimal kesempatan hidupnya, sebab waktu tidak akan terulang (QS.103:1-3).

Dan dalam menjalani waktu pasti ada naik dan turunnya. Karena itu, orang yang beretos kerja tinggi akan selalu mampu mengisi waktunya dengan hal-hal yang lebih penting dan esensial: meningkatkan keimanan, beramal saleh, dan membina komunikasi dengan siapapun dengan baik.

Bertanggung Jawab

Etos kerja tinggi yang dimiliki seorang Muslim tidak hanya ditunjukkan dalam hal keseriusannya dalam pekerjaan namun semuanya dilakukan dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab. Seorang Muslim yang beretos kerja harus berani menanggung setiap risiko apa pun atas segala yang diperbuat setelah melalui perhitungan dan pemikiran yang mendalam. Ia harus berani menghadapi kemungkinan buruk yang akan terjadi. Ia tidak boleh mencari perlindungan ke atas dan melemparkan kesalahan ke bawah (QS.2:286).

Pada akhirnya serangkaian pekerjaan yang dilakukan mensyaratkan keikhlasan. Bekerja tidak melulu soal mencari uang dan keuntungan tapi lebih daripada itu, adalah kewajiban seorang manusia kepada Allah SWT untuk bekerja, untuk mencari nafkah, serta untuk menunaikan kewajiban-kewajiban Islam yang lainnya. Karena itu, agar bernilai ibadah, bekerja harus ikhlas lillahi ta’ala. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist Nabi yang artinya: “Berapa banyak amal-amal yang kecil menjadi besar karena niatnya (yaitu kadar keikhlasannya). Dan berapa banyak amal-amal yang besar menjadi kecil di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala juga karena kadar keikhlasannya.”

Berbicara masalah keikhlasan, ada dua sisi; Pertamaadalah ikhlas merupakan syarat diterimanya sebuah amal. Kedua bahwa ikhlas merupakan salah satu barometer tinggi rendahnya sebuah amal. Semakin tinggi kadar keikhlasan, maka semakin tinggi nilainya di sisi Allah SWT. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img