Sebagai masyarakat biasa rasa syukur terucap atas selesainya perhelatan politik nasional dengan baik. Evaluasi terhadap kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tahun 2024 ini juga bagian dari rasa tersebut. Agar berbagai noktah yang sempat terjadi tidak akan terulang pada tahun-tahun yang akan datang.
Tidak dipungkiri KPU telah menjadi pilar utama dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Meskipun telah ada pencapaian signifikan, seperti peningkatan partisipasi pemilih dan upaya modernisasi teknologi, namun masih terdapat beberapa catatan evaluasi yang perlu diperhatikan.
Secara keseluruhan, pengakuan terhadap kinerja KPU memang pantas diberikan. Contohnya dari pengalaman di Kota Malang, di mana selama proses Pemilu, dari tahap pra hingga rekapitulasi di tingkat kecamatan, berjalan tanpa kendala yang berarti. Semua proses berlangsung sesuai mekanisme dan jadwal yang telah ditetapkan.
Meskipun KPU Kota Malang perlu melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di tiga Tempat Pemungutan Suara (TPS), namun rencana penghitungan dan rekapitulasi masih berada dalam jadwal yang telah ditetapkan. Media harian setempat bahkan melaporkan bahwa hasil rekapitulasi di tingkat kecamatan dapat dipantau secara langsung oleh masyarakat (Malang Posco Media,1/3/2024).
Pertama, mengamati kinerja KPU dari luar pagar, perlu diperhatikan aspek transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan serta pelaksanaan tugas dan tanggung jawab. Evaluasi ini mencakup transparansi dalam pengelolaan anggaran, keterbukaan dalam proses seleksi penyelenggara pemilu, dan kejelasan dalam komunikasi dengan publik.
Selain itu, penting juga untuk menilai kemampuan KPU dalam mengatasi tantangan-tantangan baru yang muncul. Seperti penyebaran disinformasi dan hoaks yang dapat mengganggu integritas proses pemilihan. KPU perlu dinilai dalam upaya mereka dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dan memerangi penyebaran informasi palsu.
Tidak kalah pentingnya adalah penilaian terhadap adaptabilitas KPU terhadap perkembangan teknologi. Meskipun terdapat langkah-langkah menuju digitalisasi dan pemanfaatan teknologi dalam proses pemilu, namun sejauh mana efektivitas dan keamanannya perlu diperiksa dengan cermat.
Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas kesehatan demokrasi di Indonesia, transparansi, adaptabilitas, dan efektivitas KPU harus tetap menjadi fokus evaluasi yang kritis dan komprehensif.
Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai institusi yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pemilu yang adil dan demokratis, memiliki tugas yang sangat besar. Seiring dengan evolusi zaman, KPU dihadapkan pada berbagai tantangan dan permasalahan baru yang muncul dalam upaya menggerakkan proses Pemilu.
Salah satu tantangan utama adalah peningkatan jumlah pemilih dari tahun ke tahun. Pada Pemilu 2024, jumlah pemilih melebihi 200 juta jiwa, meningkat dari sekitar 193 juta jiwa pada Pemilu sebelumnya pada tahun 2019. Peningkatan ini menuntut dukungan penuh dari pemerintah untuk memperkuat infrastruktur yang mendukung pelayanan publik.
Tantangan lainnya adalah kemajuan teknologi yang terus berlangsung. Sebagai badan penyelenggara Pemilu, KPU harus dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi tersebut. Pemanfaatan teknologi menjadi kunci dalam meningkatkan efisiensi penyelenggaraan Pemilu dari tahun ke tahun.
Selain itu, KPU juga dihadapkan pada tantangan disinformasi dan hoaks yang tersebar luas di media online. Penyebaran informasi palsu ini dapat mengganggu integritas Pemilu, karena masyarakat rentan terpengaruh dan kehilangan kepercayaan pada calon atau proses Pemilu.
Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, diperlukan reformasi dalam sistem birokrasi KPU. Fokus reformasi ini harus mencakup modernisasi infrastruktur dan sistem informasi, digitalisasi proses pemungutan suara, serta peningkatan aksesibilitas bagi pemilih, termasuk kelompok disabilitas dan masyarakat di daerah terpencil.
Selain itu, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) KPU juga menjadi prioritas. Pelatihan dan pengembangan kompetensi bagi seluruh staf KPU akan membentuk lingkungan kerja yang lebih profesional dan adaptif. Transparansi dan akuntabilitas juga harus ditingkatkan untuk meningkatkan mutu SDM KPU.
Pemanfaatan teknologi juga harus menjadi fokus utama. KPU perlu mengembangkan sistem pengawasan dan pemantauan untuk mendeteksi kecurangan dalam Pemilu. Edukasi dan literasi kepada pemilih juga penting untuk melawan informasi palsu yang beredar.
Survei yang dilakukan oleh Perludem pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 78 persen responden puas dengan kinerja KPU secara keseluruhan. Sebanyak 82 persen responden menilai bahwa KPU telah sukses menyelenggarakan Pemilu tahun 2019. Namun, 65 persen responden berharap agar KPU meningkatkan penggunaan teknologi dalam Pemilu mendatang.
Demikian pula, survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat pada KPU mencapai 72 persen pada tahun 2023. Namun, KPU masih perlu melakukan reformasi birokrasi untuk meningkatkan kinerja dan adaptabilitasnya dalam menghadapi tantangan di masa depan.
Modernisasi teknologi, penguatan SDM, dan peningkatan edukasi masyarakat menjadi fondasi utama dalam membangun Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang lebih adaptif dan modern. Dengan memperkuat infrastruktur teknologi dan sistem informasi, KPU dapat meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam proses pemilu.
Selain itu, investasi dalam pelatihan dan pengembangan SDM KPU akan menghasilkan personel yang lebih kompeten dan responsif terhadap tantangan yang berkembang. Peningkatan literasi politik dan pencegahan penyebaran informasi palsu juga menjadi langkah penting dalam memperkuat integritas Pemilu.
Reformasi birokrasi yang efektif akan membantu KPU dalam meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan pelayanan yang berkualitas kepada publik. Dengan demikian, KPU dapat menjadi lembaga yang dapat diandalkan dalam menyelenggarakan Pemilu yang adil, bermartabat, dan dipercaya oleh masyarakat di masa depan.(*)