Oleh: Azhar Muttaqin
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
Tentu ungkapan pada judul di atas sangat lah tidak populer saat ini. Bahkan bisa jadi penulis segera dicap sebagai kroni atau bagian dari sindikat Ferdy Sambo, atau yang diistilahkan Ketua Kompolnas Machfud MD sebagai Kerajaan Sambo.
Seharusnya yang menjadi korban itu Brigadir Joshua bukanlah Ferdy Sambo. Iya tentu saja semua sepakat, dan saya pun sangat sepakat akan hal itu. Tapi marilah kita lihat dalam persepektif yang lebih luas, lebih gradual dan komprehensif, apa sebenarnya yang menjadi akar masalah yang sesungguhnya dari peristiwa ini.
Artikel ini segera saya tulis setelah mendengarkan diskusi menarik antara beberapa mahasiswa di kampus saya mengajar di Malang. Mereka menyoroti dengan begitu emosional terhadap perilaku aparat hukum, dalam hal ini oknum anggota kepolisian yang menghilangkan barang bukti agar menjerat seseorang yang tidak bersalah menjadi bersalah, sekaligus membuat yang bersalah menjadi tidak bersalah.
Apa yang menjadi isu dalam diskusi mereka itu sebenarnya bukan perkara baru dan aneh di negeri ini. Di bulan Maret 2022 masih kuat dalam memori kita tentang viralnya berita tentang seorang warga Binjai yang ditahan usai “dijebak Narkoba” OTK oleh anggota kepolisian yang tertangkap oleh CCTV.
Ketika diusut, tidak ada keterangan yang melegakan banyak pihak, dan hingga kini masih diyakini bahwa warga Binjai itu sebagai korban penjebakan oknum kepolisian. Lebih jauh ke belakang, tentang secara kebetulan CCTV di tol KM 50 rusak saat terjadi penembakan 6 orang anggota FPI. Walaupun ini terjadi di akhir tahun 2020, tapi masih sangat segar dalam pikiran masyarakat tentang banyaknya kejanggalan dari proses penyidikan hingga putusan bebas pelakunya, karena dianggap sebagai tindakan membela diri (self defense).
Peristiwa yang paling viral saat ini juga sempat menampilkan drama yang sama. CCTV tiba-tiba dinyatakan rusak saat terjadi pembunuhan Brigadir Joshua di lokasi kejadian, rumah dinas Sambo Komplek Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Sampai akhirnya bisa terungkap kembali setelah kasus ini menjadi viral dan tekanan publik begitu kuat agar Polri bersikap lebih profesional dan transparan.
Perilaku mengadakan atau menghilangkan barang bukti seperti ini bukan lah hal baru terjadi di negeri ini. Karena seringnya terjadi, seperti sudah menjadi hal biasa dan mengalami pembenaran oleh oknum-oknum aparatur penegak hukum. Kalau tidak terekspos, bisa jalan terus.
Rusaknya sistem pengawasan atas prilaku di atas juga dipengaruhi oleh mudahnya seseorang memperoleh jabatan tinggi dan strategis di lembaga kepolisian. Misalnya ada orang yang naik pangkat menjadi Kapolres, Kapolda, dapat Bintang Satu, Bintang Dua, dan lain-lain, yang diperoleh melalui lobi-lobi, permainan uang, dan kenal atau dekat dengan orang dalam yang jabatannya lebih tinggi.
Pada akhirnya mereka, para oknum ini merasa bahwa hukum dan penegakan hukum itu milik mereka yang bisa diatur, bisa dibuat dan dipermainkan. Sehingga tidak heran dalam beberapa periode terakhir ini, ada seseorang yang umurnya relatif masih muda tapi pangkat dan karirnya begitu cepat melejit.
Padahal, banyak dari kalangan senior sebenarnya punya pengalaman yang pangkatnya masih Kombes, dan masih Bintang Satu. Sedangkan yang punya uang, punya kenalan dan lobi orang dalam, pangkatnya bisa begitu cepat, bahkan bisa berada di pucuk pimpinan di lembaga yang sangat strategis.
Ini adalah fakta yang sudah menjadi bahan gunjingan di mana-mana, bahkan di warung-warung kopi. Karena seringnya terjadi, terus dibiarkan, akhirnya menjadi kebiasaan dan mengalami pembenaran. Akibat lebih lanjut, mereka yang dengan begitu mudahnya mendapat jabatan tinggi dan memiliki kekuasaan tinggi di pucuk pimpinan, bisa menjadi hilang kendali, karena merasa penegakan hukum bisa begitu mudah dipermainkan.
Bahwa perkara itu bisa dibuat, dan bisa direkayasa semaunya sendiri, sebagaimana yang terjadi pada kasus pembunuhan Brigadir Joshua oleh Ferdi Sambo yang saat itu menjabat sebagai Kadiv Propam. Ini sekaligus membuka aib di tubuh Kepolisian, bahwa perkara itu bisa dibuat dan rekayasa sesuai dengan keinginan oknumnya. Padahal bahayanya hukum itu ketika berada di tangan yang salah dan digunakan secara salah.
Oleh karena itu, hendaklah masyarakat lebih mengerti dan memahami tentang hukum. Agar; pertama, supaya tidak melakukan tindakan-tindakan yang bisa berbuah pidana dan masuk penjara. Kedua, agar tidak dapat dimanipulasi oleh oknum-oknum aparatur penegak hukum. Akibat ketidakpahaman hukum, seseorang menjadi mudah dijebak dengan perkara yang mengakibatkannya mengeluarkan dana, pikiran dan tenaga agar bebas dari jeratan hukum.
Padahal bisa jadi masalah yang dihadapinya bukanlah masalah hukum, tetapi direkayasa dengan alat bukti, keterangan ahli, dan saksi-saksi yang disusun agar perkara bisa naik ke penyidikan hingga ke persidangan.
Berdasarkan fenomena ini, bisalah dikatakan bahwa Ferdy Sambo juga merupakan korban dari buruknya sistem, kedisiplinan dan penegakan hukum di Lembaga Kepolisian. Sangat mungkin masih ada Sambo Sambo yang lain yang mentalnya juga ikut terbentuk karena keadaan ini. Mereka masih terus bergerilya mencari keuntungan dari ketidaktahuan masyarakat tentang hukum dan naik jabatan karena ada uang dan permainan orang dalam.
Tidak bisa ditunda lagi, sudah saatnya Lembaga Kepolisian Republik Indonesia berbenah diri secara cepat dan menyeluruh, agar ke depan tidak ada dan terbentuk lagi oknum-oknum yang seperti itu, dan kepercayaan masyarakat kepada penegakan hukum di Indonesia bisa segera meningkat lebih baik.(*)