MALANG POSCO MEDIA-Menjadi seorang pebatik, tidak terpikir sedikitpun oleh Yusnani Dwiana. Meski warga asli Kelurahan Bunulrejo ini sangat mencintai dunia fashion, namun batik sangatlah berbeda.
Tidak cukup hanya mendesain motif dan menjahitnya menjadi sebuah pakaian. Perlu teknik khusus dan ketelatenan yang tinggi saat membuatnya.
Menurut Yusy sapaan akrab Yusnani Dwiana, kebiasaannya membuat batik juga melalui sebuah proses yang berat. Sebab memahami beratnya proses itu, Yusy justru saling berbagi ilmu dengan masyarakat luas. Ia justru senang makin banyak yang bisa membatik, sehingga budaya asli Indonesia ini bisa makin terjaga.
“Makanya saya rutin mengisi seperti workshop di hotel. Jadi biasanya saya mengajari tamu hotel dari luar daerah, luar negeri, untuk belajar membuat batik,” katanya. “Dalam satu sisi, itu sebuah tantangan dan satu kehormatan juga karena bisa mengajari para tamu. Satu sisi saya juga senang makin banyak yang bisa membatik,” sambung Yusy.
Biasanya workshop seperti di hotel itu ia melayani hanya pada hari Jumat, Sabtu dan Minggu saja. Yusy juga mengajak rekan satu timnya untuk mengajari membuat batik.
Menurut dia mengajari batik ini tidak mengganggu produktivitasnya dalam menghasilkan produknya sendiri.
“Mengajari mereka itu tentu gampang-gampang sulit. Kadang lebih enak itu mengajari anak kecil. Karena kalau orang tua itu banyak pertanyaan dan tidak fokus. Sedangkan anak kecil itu kan fokus,” sebut wanita yang hobi melukis ini.
Untuk pembelajaran membuat batik, tamu hotel biasanya hanya menggunakan media kain seukuran 30×30 sentimeter. Namun begitu, pembelajaran batik ini dipastikan Yusy tidak sekadar belajar saja.
Sebab kain yang digunakan sebagai bahan belajar itu ketika sudah menjadi batik bisa ditempel di beragam media. Misalnya di baju para tamu, totebag, hingga sarung bantal yang dibawa. Sehingga bisa menjadi oleh- oleh yang menarik dan pengingat kekayaan budaya batik yang ada di Kota Malang.
“Jadi siang bikin, besok paginya sebelum pulang sudah jadi. Karena biasanya butuh waktu seharian. Menunggu kering supaya maksimal. Kita mengajari motifnya pun macam-macam, sesuai keinginan mereka tapi juga menyiapkan motif batik yang bunga-bunga,” bebernya.
Tidak hanya di hotel, Yusy juga mengajari batik untuk masyarakat di dekat tempat tinggalnya. Ada workshop untuk lansia, ada workshop untuk ibu-ibu muda bahkan juga ada yang meminta untuk diajari secara privat.
Lebih dari itu, batik Kantil hasil buatan Yusy juga telah menarik banyak kampus untuk studi banding. Ada studi banding dari salah satu kampus di Kediri, Jakarta, dan terbaru dari Surakarta. Padahal, tempat pembuatan batik miliknya di rumah pribadi tempat tinggalnya yang tidak terlalu luas. Tamu yang studi banding bahkan jumlahnya pernah mencapai dua bus.
“Awalnya kalau sampai dua bus saya tolak. Karena dalam satu sisi saya harus izin RT RW kelurahan, dan tidak enak sama tetangga. Tapi kemudian dengan kita lebih serius, ternyata dari warga juga justru mendukung. Sekarang dua bus pun bisa,” lanjutnya.
Ia pun bersyukur dengan aktivitasnya yang padat itu bisa terus berkelanjutan. Sebab ia sendiri mengaku tidak begitu masif dalam mempromosikannya di media sosial. Kedepan dia masih mempunyai cita cita untuk mengajak milenial membatik. Tujuannya agar budaya batik bisa bertahan dari zaman ke zaman.
“Saya sangat bersyukur ketika ada studi banding karena secara tidak sadar itu promosi gratis karena batik Kantil ikut digambar mereka. Kedua saya bersyukur mereka semangat melestarikan batik,” pungkas Sarjana Ekonomi Studi Pembangunan Unmer ini. (ian/van)