spot_img
Sunday, September 8, 2024
spot_img

Generasi Cemas 2045

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh: Hassanalwildan Ahmad Zain
Humas UMM dan Alumnus Twinning FH-FAI


Indonesia berada di jalur menuju visi besar ‘Indonesia Emas 2045.’ Berbagai cara dan program dilakukan agar mampu mencapai status negara maju tepat saat berusia 100 tahun nanti. Usaha ini tentu patut diapresiasi. Namun sayangnya, generasi penerus kini diliputi sensasi kecemasan berkat kebijakan yang pada akhirnya tidak memberikan kepastian mereka di masa depan.

Padahal para milenial dan Gen Z menjadi tulang punggung dan kunci atas pertanyaan ‘mampukah Indonesia Emas 2045 diwujudkan?’. Jika diperhatikan, kecemasan ini tak luput dari pelbagai masalah yang terjadi belakangan. Paling tidak ada tiga aspek utama yang mengancam keberhasilan anak muda untuk berkiprah, yakni pendidikan, ekonomi, serta hukum.

Semua orang pasti setuju bahwa pendidikan merupakan pondasi dari kemajuan bangsa. Semakin baik kualitas dan sistem pendidikan sebuah negara, maka semakin besar pula kemungkinan negara dapat maju. Sebut saja Korea Selatan yang sukses melahirkan tenaga kerja terampil dan kompeten hingga akhirnya lahir raksasa teknologi seperti Samsung. Pada gilirannya, ini juga membantu Korsel jadi negara terdepan dalam hal inovasi. Ini tak lepas dari investasi besar dalam dunia pendidikan selama beberapa dekade terakhir.

Sayangnya, hal itu tidak kita temui di Indonesia. Kualitas pendidikan kita seringkali dianggap rendah. Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, sains, dan matematika berada di bawah rata-rata internasional. Belum lagi masalah putus sekolah karena ekonomi, kurangnya SDM pendidik yang unggul, hingga ketidakmerataan akses pendidikan. Kurikulum yang tidak relevan juga menjadi isu yang harus segera ditangani.

Kenyataan pahit itu semakin menyakitkan saat mendengar pejabat Kemendikbud yang menyebut bahwa kuliah adalah pendidikan tersier di tengah-tengah isu kenaikan UKT kuliah. Padahal untuk menyongsong dunia yang dipenuhi teknologi, wajib sekolah 12 tahun saja tidak cukup. Harus ada bekal kemampuan lain yang sesuai dengan kebutuhan industri dan masyarakat nanti. Salah satunya melalui pendidikan tinggi yang bisa diakses oleh berbagai kalangan, bukan hanya mereka yang memiliki uang.

Ketika pondasi sudah kuat, maka pilar dan temboknya juga harus dibangun dengan presisi. Dalam hal ini adalah penguatan di bidang ekonomi. Apalagi Indonesia mencanangkan dan diprediksi masuk ke lima besar negara dengan ekonomi terkuat di dunia. Sayangnya, ada berbagai masalah menghantui, termasuk problem pengangguran yang sering muncul ke permukaan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), per 2023, tingkat pengangguran terbuka berada di angka 5,45 persen, termasuk di dalamnya para anak muda. Selain itu, akan ada fenomena di mana banyak pekerjaan yang pada gilirannya diambil alih oleh teknologi dan perkembangan inovasi. Ini tentu membuat anak-anak muda cemas tentang masa depan. Mereka merasa takut apa yang sedang dipelajari di bangku sekolah maupun kuliah menjadi tidak berguna.

Rumah untuk Indonesia

Layaknya membangun rumah, proses membangun negeri juga memerlukan kehati-hatian dan keahlian. Keberhasilan Indonesia mencapai Indonesia Emas 2045 bergantung pada keberhasilan pemerintah mengambil kebijakan yang berpihak pada anak-anak muda. Jangan sampai mereka menjadi generasi cemas yang gagal mewujudkan Indonesia Emas.

Upaya tersebut bisa dimulai dengan membangun ‘pondasi’ melalui inovasi pendidikan. Misalnya dengan menyelaraskan kurikulum sekolah maupun kampus dengan kebutuhan masyarakat dan industri. Dengan begitu, anak-anak muda tidak akan bingung dan khawatir mendapatkan kerja di masa depan karena sudah memiliki skill yang tepat dan sesuai.

Salah satu program yang bisa dicontoh adalah Center of Excellence (CoE) yang dijalankan oleh Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Sudah berjalan sejak 2017, program ini sukses mempertemukan dunia usaha dan dunia industri dengan anak muda. Membuat mahasiswa lebih cepat selesai kuliah karena tidak diharuskan mengerjakan skripsi dan mempercepat proses mendapatkan pekerjaan.       Bahkan sebagian dari mereka sudah direkrut sebelum diwisuda sehingga turut membantu menekan angka pengangguran. Tentu program semacam ini bisa ditiru dan dikembangkan di daerah-daerah lain.

Hal lain yang bisa dicoba adalah dengan membentuk inkubator desa digital yang mendorong kreativitas dan potensi anak muda di berbagai lokasi. Di program ini, pemerintah bisa menyediakan pelatihan teknologi yang mencakup coding, pemasaran digital, desain grafis, dan lainnya.

Selain itu juga dapat mendatangkan mentor untuk membantu anak-anak muda di desa agar mampu mengembangkan ide bisnis serta memberikan akses ke pasar yang lebih luas. Kemudian, pembuatan pasar online keterampilan lokal juga bisa dicoba sebagai wadah bertemunya customer dan anak muda berkemampuan digital. Program-program itulah yang diharapkan mampu memperkuat ‘tembok’ ekonomi Indonesia.

Untuk melengkapi pondasi dan tembok di atas, adanya ‘atap’ hukum tentu akan memperlancar prosesnya. Apalagi hukum memang memiliki peran sebagai tool of social engineering atau alat untuk merekayasa sosial agar bergerak menuju keadaan yang lebih baik. Dengan hukum, masyarakat dipaksa untuk turut serta dan mematuhinya semata-mata agar visi Indonesia Emas tidak hanya menjadi angan belaka.

Sebagai penutup tulisan ini, penulis ingin menegaskan bahwa pemerintah memang mengemban peran penting untuk memuluskan Indonesia Emas 2045, tapi partisipasi masyarakat terutama anak muda jauh lebih penting. Pemuda juga harus turut bergerak dan berinovasi membantu negeri mencapai visi bersama. Senantiasa berupaya menekan kemungkinan munculnya generasi cemas agar bisa mencapai Indonesia Emas.(*)

- Advertisement -spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img