.
Friday, November 8, 2024

Generasi Pascabuku

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Tangga 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional (Harbuknas). Pencanang Harbuknas adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2001-2004, Prof. Dr. H. A. Malik Fadjar, M. Sc. Peringatan Harbuknas tahun ini masih dengan kondisi tingkat literasi masyarakat yang masih sangat rendah.

         Kini banyak orang menunduk bukannya membaca buku, namun justru sibuk menatap layar smartphone bermedia sosial. Inilah era generasi pascabuku, dimana aktivitas membaca buku telah menjadi barang langkah. 

- Advertisement -

         Membaca buku adalah kegiatan yang sifatnya individu. Kegiatan ini sekarang justru bertolakbelakang dengan banyak aktivitas masyarakat yang kecederungannya secara rame-rame. Kegiatan yang sifatnya personal dan privat, seperti membaca banyak dijauhi orang.

         Banyak orang lebih memilih aktivitas di media sosial yang melibatkan interaksi banyak orang. Media sosial lebih berkembang ketimbang media individu. Situasi ini menjadikan aktivitas membaca buku semakin ditinggalkan banyak orang.

         Keengganan membaca buku juga dipicu oleh kemudahan mendapatkan beragam sumber ilmu dan informasi lewat internet. Saat ini banyak orang saat mencari informasi lebih mengandalkan mesin pencari (search engine) di internet. Orang cukup mengetikkan kata kunci tertentu di kotak mesin pencari seperti Google, Bing, Yahoo, Baidu, DuckDuck Go, Yandex, Ask, dan Ecosia. Melalui aneka mesin pencari itu orang tak hanya sekadar membaca, namun bisa melakukan copy dan paste materi yang didapat.

         Penetrasi internet telah mempermudah banyak orang mendapatkan sumber bacaan non buku. Internet juga melahirkan kebiasaan copy paste atau plagiasi tumbuh subur. Kenyataan ini melahirkan generasi pascabuku, yakni generasi yang tak lagi membaca buku namun membaca beragam sumber bacaan non buku yang tersedia secara digital. Masalahnya tak semua informasi yang secara digital tersaji di internet itu akurat kebenarannya.

         Informasi yang tersaji lewat sebuah buku akan lebih bisa dipertanggungjawabkan. Sementara di internet dan media sosial siapa saja dapat mengunggah apa saja. Tak semua ilmu dan pengetahuan yang tersaji di media digital itu teruji kebenarannya.

         Bisa jadi sebuah konten ditulis oleh seorang pakar padahal sesungguhnya mereka hanyaah pakar abal-abal. Karena saat ini telah terjadi era matinya kepakaran (the death of expertise) seperti yang dikemukakan Tom Nichol (2017).  

Digitalisasi Buku

         Karena kemajuan teknologi, format dan bentuk buku kini sudah tak lagi dalam wujud buku tercetak. Banyak buku yang sekarang dikemas dalam bentuk buku elektronik (ebook). Beberapa penerbit buku juga ada yang menjual buku dalam format audio (audiobook). Perkembangan inilah yang perlu direspon oleh para penerbit dan pengelola perpustakaan. Digitalisasi buku telah memberi kemudahan orang dalam mengakses buku. Buku tak lagi tampil dalam bentuk cetakan kertas.

         Digitalisasi buku disatu sisi merupakan sebuah kemajuan. Namun langkah ini ternyata dapat mematikan rangkaian proses penerbitan buku. Penerbit tak lagi membutuhkan kertas, hingga pabrik kertas omsetnya jatuh. Untuk membuat buku digital juga tak perlu mesin cetak dan pasukan distribusi buku. Digitalisasi telah memotong rangkaian proses penerbitan buku menjadi lebih simpel dan ringkas. 

         Sejatinya digitalisasi buku dapat mendongkrak minat baca masyarakat. Namun kenyataanya tidak demikian. Karena ternyata saat buku-buku itu didigitalkan, tak banyak yang berebut membacanya. Hal ini terjadi karena akar permasalahannya bukan pada kemasan bukunya, namun lebih pada minat bacanya yang rendah. Tak banyak masyarakat yang meminati bacaan yang serius. Kebanyakan yang dibaca masih seputar konten-konten di media sosial yang belum jelas kebenarannya.

         Pekerjaan berat terkait dengan minat baca buku tak hanya soal kemasan bukunya, sehingga dengan digitalisasi ternyata tak otomatis menyelesaikan masalah. Faktor lain seperti masih rendahnya jumlah penulis buku, termasuk minimnya jumlah penerbit juga menjadi persoalan serius. Tingginya pembajakan buku juga semakin memperburuk nasib para penulis dan penerbit buku. Bisnis penerbitan buku menjadi tak bergairah karena ekosistemnya kurang sehat.

         Kalau di Amerika Serikat (AS), digitalisasi buku memang telah mengeser buku manual. Buku dalam bentuk ebook sudah menjadi format tunggal di AS. Menurut Association of American Publisher (AAP), data penjualan eBook pada Februari mencapai 90,3 juta dolar. Angka ini akan terus meningkat seiring dengan kecanggihan teknologi informasi yang semakin maju pesat.

Soal Minat Baca

         Mengutip UNESCO yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi kedua dari bawah soal literasi dunia. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001 persen. Dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang membaca buku. Menurut UNESCO, setiap satu orang berhak tiga buku baru dalam setahun. Sementara di Indonesia satu judul buku ditunggu 90 orang. Tingkat rasio antara jumlah penduduk Indonesia dengan koleksi buku di perpustakaan umum masih 0,09 poin.

         Sementara menurut riset yang pernah dilakukan Central Connecticut State yang tertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

         Data ini bisa mengindikasikan bahwa masalah minat baca masih menjadi akar persoalan serius atas rendahnya tingkat literasi. Hal ini tak terlepas dari akar budaya masyarakat Indonesia yang lebih dominan budaya bertutur, mendongeng, dan bercerita ketimbang membaca. Karena itu saat ini banyak orang Indonesia yang dengan fasih mampu membuat aneka konten video dan diunggah di YouTube, Instagram, atau TikTok ketimbang membaca.

         Aktivitas membaca yang lebih personal, kontemplatif, dan sunyi menjadi kurang disenangi. Sementara aktivitas di media sosial yang lebih rekreatif dan menghibur lebih banyak digemari. Banyak orang yang tak rela mengeluarkan uangnya demi membeli buku, sementara banyak di antara mereka yang dengan gampang mengeluarkan budget besar demi membeli beragam gadget bermerek demi tampil eksis di media sosial.     

         Seorang proklamator, Muhammad Hatta, beberapa kali dipenjara oleh penjajah. Namun semangat perjuangannya tak pernah luntur. Beliau pernah mengungkapkan rahasia betah selama dipenjara, dengan kata-katanya yang menguatkan betapa pentingnya membaca buku.  Bung Hatta berucap “Aku rela dipenjara asalkan bersama dengan buku, karena dengan buku aku bebas.”

         Semua sepakat bahwa buku adalah cendela dunia. Siapa yang banyak membaca akan punya wawasan dan pengetahuan yang luas. Siapa yang menguasai informasi dia akan menguasai dunia. Buku bisa menjadi pintu masuk mendapatkan banyak informasi. Untuk itu membaca buku dalam bentuk dan format apapun sangatlah penting. Mari membaca buku. (*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img