.
Friday, November 8, 2024

Giat Literasi, Stop Book Shaming

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Malang Posco Media – Mayoritas kita pasti familier dengan istilah body shaming. Namun, pernahkan kalian mendengar istilah book shaming? Di dunia perbukuan, banyak istilah-istilah yang dipopulerkan oleh komunitas-komunitas pecinta buku, salah satunya yakni book shaming.

         Dalam Urban dictionary, book shaming adalah sebuah tindakan mempermalukan seseorang tentang buku bacaannya. Perilaku book shaming menunjukkan bahwa sebuah buku atau sebuah genre itu inferior daripada buku lain.

- Advertisement -

         Pelaku book shaming merasa bahwa buku-buku yang mereka baca lebih berfaedah dan bermakna dibanding buku tertentu. Umumnya buku yang menjadi korban book shaming adalah buku fiksi. Mereka beranggapan bahwa buku fiksi tidak memberikan sumbangsih apapun dalam perkembangan diri seseorang, tidak menstimulus otak, tidak menambah wawasan pembacanya, atau bahkan tidak ada gunanya sama sekali.

         Realitanya pembaca fiksi berpendapat bahwa mereka mendapatkan banyak hal positif dari buku yang dibaca. Pendapat paling umum yakni meningkatkan rasa empati. Mengapa demikian? Karena ketika kita membaca sebuah cerita, kita akan masuk ke dalam pikiran tokoh atau penulis.

         Kita ikut merasakan emosi-emosi yang muncul dalam diri tokoh dan kita juga melihat suatu hal dari perspektif yang bermacam-macam melalui tokoh-tokoh tersebut. Hal itu bukanlah omong kosong atau alibi semata. Caludia Hammond, dalam tulisannya yang berjudul Does Reading Fiction Make Us Better People mencantumkan beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa terdapat pengaruh membaca buku fiksi terhadap tingkat empati seseorang.

      Meskipun penelitian dalam hal ini idealnya membutuhkan waktu yang lama dan elemen-elemen yang rumit, seperti mengukur tingkat empati beberapa orang, menginstruksikan sebagian dari mereka untuk membaca novel dan sebagian yang lain tidak selama beberapa tahun, lalu mengukur kembali tingkat empati mereka, tetapi terdapat juga beberapa penelitian jangka pendek yang telah membuktikan hal tersebut.

         Salah satu contohnya yakni penelitian yang dilakukan oleh peneliti asal Belanda kepada para siswa. Mereka diminta untuk membaca artikel koran atau membaca bab pertama dari sebuah novel. Hasilnya tingkat empati siswa seusai membaca bab pertama novel tersebut meningkat.

         Bahkan seminggu kemudian, rasa empati mereka diuji kembali dan menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Selain meningkatkan empati, membaca fiksi juga dapat memperkaya kosakata, meningkatkan kreativitas, melatih kemampuan menulis.

         Mark Manson, penulis buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat menuliskan di dalam blognya bahwa membaca menjadi sebuah bentuk eskapisme yang sehat. Saat kita ingin mengistirahatkan otak dari memikirkan hal-hal yang berat, membaca fiksi merupakan salah satu solusi yang layak untuk dicoba.

         Hal ini tentunya disesuaikan pula dengan genre fiksi yang akan dibaca. Dalam kondisi yang demikian, kita membutuhkan buku-buku fiksi ringan dan jenaka untuk mengaktifkan kembali hormon-hormon bahagia dalam tubuh kita.

         Dalam perspektif lain, buku fiksi pun dapat menjadi trigger yang kuat bagi seseorang untuk menambah wawasan. Melalui buku fiksi, penulis dapat memantik rasa keingintahuan pembaca mengenai sebuah hal. Saat pembaca masuk ke dalam ‘dunia fiksi’ di dalam buku yang ia baca, terdapat kemungkinan ia menemukan hal-hal baru yang tidak ia ketahui sebelumnya. Hal itu pada akhirnya membuat pembaca mencari tahu lebih dalam tentang hal itu.

         Salah satu contohnya ketika membaca sebuah fiksi sejarah. Dari dalam negeri, terdapat banyak sekali bacaan fiksi sejarah yang melegenda, contohnya tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer dan karya-karya Ahmad Tohari. Meskipun karya-karya mereka ialah karya yang terbit berpuluh tahun lalu, nyatanya hingga saat ini karya-karya mereka masih sering diperbincangkan.

         Selain kedua sastrawan tersebut, karya-karya yang sering disebutkan oleh para pecinta buku jika menyebutkan fiksi sejarah adalah karya Leila S. Chudori. Dua bukunya yang berjudul Pulang dan Laut Bercerita menjadi buku yang sangat populer. Hal ini dibuktikan dengan Laut Bercerita yang hingga bulan ini masuk cetakan ke-48.

         Dalam novel Laut Bercerita, Leila mengangkat latar belakang sejarah pada masa 1998 yang sudah menjadi rahasia umum bahwa tahun tersebut menyimpan sejarah kelam untuk Indonesia. Tokoh dalam novel tersebut pun digambarkan sebagai seorang aktivis yang hilang.

         Sementara itu, dalam novel Pulang, Leila mengangkat latar belakang sejarah yang lebih lampau dibanding Laut Bercerita, yakni insiden tahun 1965. Tokoh utamanya pun digambarkan sebagai seorang eksil yang tidak ‘diharapkan’ oleh negaranya.

         Dari novel Laut Bercerita dan Pulang ini, pembaca yang mulanya awam atas insiden 1998 atau 1965 akan bertanya-tanya dan penasaran tentang fakta sejarah pada tahun itu. Karena rasa penasaran itulah, pembaca akan mencari berbagai informasi terkait peristiwa sejarah pada tahun itu. Akhirnya, bertambahlah wawasan tentang peristiwa sejarah Indonesia dalam diri pembaca lantaran buku fiksi yang ia baca.

         Alasan lain bahwa book shaming merupakan hal yang tidak perlu ialah kita tidak bisa memaksakan selera baca kepada seseorang. Apabila sebuah buku dianggap menarik bagi seseorang, buku itu belum tentu menarik di mata orang lain. Begitu pula sebaliknya.

         Jika kita merasa bahwa sebuah buku itu bukan selera kita, maka kita tidak seharusnya memandang sebelah mata kepada orang-orang yang menyukai buku tersebut. Karena di dalam sebuah buku, setiap pembaca akan menemukan pengalaman yang unik dan berbeda-beda. Pembaca yang satu dengan pembaca yang lain, kemungkinan besar akan mendapatkan value yang berbeda meskipun membaca buku yang sama.

         Dengan demikian, perilaku book shaming ini merupakan hal yang harus kita tiadakan agar pembaca tidak merasa insecure atau inferior apabila mereka membaca genre tertentu atau hanya membaca satu genre saja. Di samping itu, tingkat literasi di Indonesia masih sangat perlu ditingkatkan.        Kita semua perlu menggiatkan literasi demi masa depan masyarakat Indonesia yang lebih baik. Hal yang perlu kita budayakan adalah kegiatan membaca, bukan perilaku book shaming yang mengerdilkan pengalaman membaca orang lain.(*)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img