Ing Ngarso Sung Tulodo
Ing Madyo Mangun Karso
Tut Wuri Handayani
(Ki Hajar Dewantara)
Ki Hajar Dewantara mengatakan guru memiliki tiga peran, yaitu di depan memberi teladan (ing ngarso sung tulodo), seperti juga dalam ungkapan Jawa, Guru (digugu dan ditiru). Di tengah membangun semangat (ing madyo mangun karso), guru merupakan pendidik yang selalu berada di tengah-tengah para siswanya dan terus membangun semangat dan ide-ide mereka untuk berkarya. Dan, di belakang memberikan tuntunan (tut wuri handayani).
Pendidiklah yang terus menuntun, mendukung dan memberikan arah yang tepat dan lebih baik bagi anak-anaknya. Pemikiran tersebut sangat relevan dengan Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan menciptakan pembelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, tugas guru bukan hanya mengajarkan mata pelajaran di sekolah, tapi juga mendidik moral, etika, juga karakter peserta didik. Saat ini, pendidikan di Indonesia juga harus beradaptasi dengan Era Society 5.0. Di Era Society 5.0, masyarakat harus dapat menyelesaikan berbagai tantangan dan permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era Revolusi industri 4.0 seperti Internet on Things (internet untuk segala sesuatu), Artificial Intelligence (kecerdasan buatan), Big Data (data dalam jumlah besar), dan robot untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Society 5.0 juga dapat diartikan sebagai sebuah konsep masyarakat yang berpusat pada manusia dan berbasis teknologi. Pendidik di era society 5.0, para guru harus memiliki keterampilan di bidang digital dan berpikir kreatif. Menurut Zulfikar Alimuddin, Director of Hafecs (Highly Functioning Education Consulting Services) menilai di era masyarakat 5.0 (society 5.0) guru dituntut untuk lebih inovatif dan dinamis dalam mengajar di kelas (Alimuddin, 2019).
Oleh karena itu ada tiga hal yang harus dimanfaatkan pendidik di era society 5.0. Di antaranya Internet of things pada dunia Pendidikan (IoT), Virtual/ Augmented reality dalam dunia pendidikan, Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) dalam dunia pendidikan untuk mengetahui serta mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran yang dibutuhkan oleh pelajar.
Guru di masa lalu ibarat bintang film yang penampilannya selalu dinanti-nantikan. Guru punya kekuatan dan dominasi. Siswa yang tidak disiplin, nakal, dan malas belajar bisa saja untuk dijewer telinganya, dipukul betisnya atau disuruh berdiri angkat kaki sebelah di depan kelas.
Dan menariknya, mereka tidak protes atau berusaha mengadu ke orang tua. Sebab mengadu berarti mendapat dua kali hukuman. Orang tua juga demikian. Hukuman yang diberikan terhadap anak-anak mereka dianggap sebagai pelecut semangat untuk belajar lebih giat dan lebih disiplin. Berbeda dengan di masa sekarang. Guru harus berpacu, baik berpacu dengan siswa, orang tua, dan pastinya berpacu dengan teknologi yang semakin laju. Guru tidak bisa lagi menganggap dirinya sebagai seseorang yang “Maha Tahu” (knowing everything). Sewaktu-waktu siswa bisa mencari informasi lewat gawai ponsel pintarnya. Sedikit kesalahan yang dilakukan oleh guru dalam materi ajarnya bisa mendapat sorotan tajam dari orang tua.
Dengan adanya perubahan ini banyak yang mempertanyakan apakah peran guru dapat tergantikan oleh teknologi? Sosok guru seperti apakah yang tetap dinantikan kehadirannya oleh peserta didik? Perlukah menjadi guru “ideal” bagi siswanya? Teknologi memang melaju dengan pesat, namun peran guru seperti berinteraksi secara langsung di kelas, ikatan emosional guru dan siswa, penanaman karakter, dan teladan tidak ada dalam aplikasi di gawai secanggih apapun.
Inovatif
Menurut Smeru Research Institute, guru ideal adalah guru yang mampu memilih model pembelajaran inovatif untuk menjadikan para siswa bersemangat mengikuti pelajaran. Melalui penerapan model pembelajaran yang inovatif ataupun penggunaan alat-alat peraga yang bervariasi, suasana belajar akan lebih bersifat student-centered (berpusat pada siswa).
Guru dituntut untuk mampu meningkatkan mutu pembelajaran melalui inovasi pembelajaran. Seperti alat peraga, model pembelajaran inovatif, dan metode atau strategi mengajar yang efektif. Semangat Sosok guru ideal tentunya memiliki semangat dalam mengajar; tidak ada kata menyerah dalam melakukan sesuatu.
Semangat adalah energi positif yang akan terus mendorong guru tersebut menjadikan para siswanya berhasil. Semangat yang guru miliki membuat mereka melakukan segala pekerjaan dengan senang hati meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi. Guru yang tidak memiliki semangat mengajar akan merasa pekerjaannya melelahkan dan membosankan.
Teladan
Guru ideal adalah teladan bagi siswanya. Guru adalah cermin bagi siswa untuk menerapkan nilai-nilai karakter yang baik. Semua yang dilakukan oleh guru akan begitu membekas dalam ingatan siswa, sehingga sebagai guru sebaiknya bisa memberikan contoh atau teladan yang baik bagi mereka.
Segala yang menjadi keberhasilan karakter guru tidak hanya diukur dari segi akademik, tapi juga non akademik yang berkaitan dengan kecerdasan emosional yang harus dimiliki para siswa.
Pembelajar sepanjang hayat
Sekalipun telah menjadi guru, tetap saja guru (masih) seorang pembelajar sepanjang hayat. Untuk bisa mengajarkan pengetahuan yang sejati, guru dituntut untuk terus menerus belajar. Ilmu pengetahuan pun terus berkembang. Maka, tidak ada lagi alasan seorang guru untuk berhenti karena lelah mengeksplorasi diri.
Jika guru tidak bisa meng-upgrade dirinya dengan ilmu dan teknologi bisa-bisa digantikan oleh peran media sosial yang lebih digemari oleh kalangan milenial. Guru adalah arsitek masa depan generasi muda, dan tugas guru adalah memastikan peserta didik memiliki landasan yang kuat untuk menjelajahi dunia yang penuh tantangan.
Itulah mengapa pembelajaran sepanjang hayat adalah suatu keharusan. Sebagai seorang guru, peran guru melebihi batasan ruang kelas. Guru yang terus belajar dan berkarya, juga akan memunculkan generasi pembelajar sepanjang hayat. (*)