MALANG POSCO MEDIA – Kota Malang baru memiliki walikota dari kalangan pribumi secara resmi di era pasca kemerdekaan Tahun 1945. Sejak 1919, saat Malang ditetapkan sebagai Gemeente Malang jabatan Asisten Residen hingga kemudian Walikotanya masih dipegang oleh penduduk Eropa.
Barulah di era 1942 walikota dipimpin orang pribumi. Salah satunya M Sardjono Wiryohardjono. Pemerhati Sejarah Kota Malang Raymond Valiant Ruritan menjelaskan berkaitan dengan walikota pertama dari kalangan pribumi, ada hal yang perlu dijelaskan.
“Kalau kriterianya ada “pribumi” (bukan orang Belanda) maka RA Sam (Bupati Malang) pernah dijadikan caretaker Walikota Malang oleh Pemerintah Militer Jepang saat itu. Setelah itu ada Soewarso, yang ditetapkan menjadi Walikota namun kemudian hilang, dan kemungkinan besar terbunuh pada zaman pendudukan Jepang,” tegas Raymond.
Ia melanjutkan, saat Jepang menyerah pada 11 Agustus 1945, Kota Malang sempat mengalami kekosongan politik. Baru kemudian pada 21 Agustus 1945, Pemerintah Kota Malang diambilalih 3 tokoh yakni Soenarko, Poeger dan Imam Soedja’i.
Kemudian ketiganya mendeklarasikan Kota Malang bagian Republik Indonesia dan membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah sebagai bagian pemerintahan Republik Indonesia.
“Nah merekalah yang menetapkan M Sardjono Wiryohardjono sebagai Walikota Malang. Penetapan baru dilakukan akhir 1945,” jelas Mantan Direktur Perum Jasa Tirta I ini kepada Malang Posco Media kemarin.
Raymond mengakui, tidak banyak referensi asal muasal atau sejarah dari figur Sardjono. Akan tetapi diketahui bahwa Sardjono berlatar belakang pendidikan. Ia adalah seorang guru yang juga aktif dalam aktivitas birokrasi.
Sardjono, lanjut Raymond, bahkan sudah masuk dalam jajaran birokrasi pemerintahan Gemeente Malang saat kepemimpinan orang Eropa/ Belanda saat itu. Ia menjadi salah satu anggota Dewan Kota di era Tahun 1938 an.
“Sangat besar kemungkinan bahwa Sardjono Wiryohardjono ini memiliki pengalaman birokrasi. Ia adalah guru dan terlibat dalam berbagai aktivitas pada masa sebelum dan semasa pendudukan Jepang sehingga dianggap bisa berkomunikasi dengan baik dengan berbagai pihak,” tegas Raymond.
Ia meyakini saat itu figur Sardjono sangat terpandang. Selain Sardjono adalah guru ia juga aktif berpolitik sejak masa sebelum dan selama masa pendudukan Jepang. Kemudian masuk ke Dewan Kota Malang semasa penjajahan Hindia Belanda sebagai perwakilan unsur guru.
Raymond mengatakan, Sardjono memang anggota partai saat itu partainya Parindra (Partai Indonesia Raya). Dewan Kota ditunjuk mewakili berbagai unsur di masyarakat. Umumnya, lanjut Raymond, orang Indonesia yang masuk dewan tadi punya aktivitas politik atau menjadi kelompok priyayi yang dianggap elite masyarakat di Jawa.
“Jadi sangat besar kemungkinan Sardjono ini memiliki pengalaman birokrasi sebagai guru dalam sistem pendidikan saat itu. Dan dipilih jadi walikota,” tegasnya.
Kepemimpinan Sardjono saat memerintah tidaklah mulus. Bahkan, Raymond menjelaskan, saat ia menjabat Kota Malang juga memiliki walikota lainnya. Yakni di sekitar Tahun 1948, saat agresi milter berlangsung. Saat itu Sardjono harus mengungsi ke kawasan Sumberpucung hingga Gondanglegi. Pemerintahannya saat itu dalam pengungsian.
“Nah saat itu ada didirikan Negara Jawa Timur dipimpin Achmad Kusumonegoro. Dia kemudian mengangkat Ir Tahir menjadi Walikota Malang. Memerintah Kota Malang di bawah Jawa Timur. Jadi ada dobel walikota saat itu. Semuanya akhirnya beres di Tahun 1950 dilakukan penyerahan pemerintahan kembali ke Pak Sardjono,” pungkas Raymond. (ica/lim)