.
Friday, November 22, 2024

Pondok Pesantren Waqiah Indonesia

Habis Maghrib dan Subuh Istiqomah Baca Waqiah

Berita Lainnya

Berita Terbaru

“Orang sukses itu bukan hanya ditentukan oleh faktor nasab atau keturunan. Tapi ditentukan oleh faktor ilmu dan akhlak.”

MALANG POSCO MEDIA – Pesan itulah yang disampaikan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Waqiah Indonesia Ustadz Zainal Arifin (Pak Zen) ketika Malang Posco Media berkunjung di kediamannya di Perum Joyogrand Blok Uniga, Merjosari Kota Malang.

Pesantren Waqiah Indonesia adalah pesantren yang dihuni oleh mahasiswa dari berbagai kampus yang ada di Malang. Dipakainya nama Indonesia karena ingin membawa pesantren ini tetap cinta tanah air dan terus berkontribusi terhadap Negara.

Tidak seperti pesantren pada umumnya. Di sini para santri diajarkan untuk belajar kehidupan seperti memasak, mengikuti kegiatan warga, hingga membantu warga ketika ada hajatan.

Pak Zen juga tidak ingin dipanggil Kiai atau Gus oleh para santri dan jamaahnya. Menurutnya, panggilan “Pak” akan mempermudah dalam berkomunikasi kepada siapapun. Selain itu, ingin menjadi “orang tua” terhadap para santrinya.

Perjuangan Pak Zen dalam membangun Waqiah Indonesia sejak tahun 2013 ditempuh dengan perjuangan yang sangat tidak mudah. Tidak mudah bagi seorang anak petani yang bukan keturunan para kiai untuk membangun pesantren.

Dalam proses berjuang, ia sempat diremehkan oleh teman-teman sebaya ketika masih menempuh S2 di salah satu perguruan tinggi swasta di Malang. Saat itu, Pak Zen yang belum berkeluarga mengontrak sebuah rumah di Joyogrand untuk ditempati beberapa santri yang sama-sama berasal dari Kabupaten Nganjuk. Padahal kondisi keuangannya masih kurang. “Isih susah kok bantu wong liyo (masih susah malah membantu orang lain),” ucap Pak Zen menirukan kalimat dari temannya itu.

Kalimat itulah yang menjadi cambuk semangatnya untuk lebih sukses lagi agar bisa bermanfaat untuk orang banyak. Dia tidak memperdulikan omongan orang lain. Terus maju dan pantang mundur untuk menjadi lebih baik lagi.

Pak Zen juga pernah menjadi guru TK di salah satu sekolah terkenal yang ada di wilayah Sukarno Hatta Malang. Untuk membantu mewujudkan mimpinya, ia juga sering menjadi imam dan khatib sholat Jumat di masjid-masjid wilayah Merjosari, Lowokwaru Malang. Tidak memperdulikan apa kata orang. Meskipun sudah menyandang gelar S2, ia tetap menjadi orang yang sederhana dan rendah hati.

Setelah menikah pada tahun 2006 dan dikaruniai dua anak dalam waktu tiga tahun, perjuangan tersebut terus dilakukan bersama keluarganya. Para santri yang ada di kontrakan lama, diboyong untuk tinggal bersama keluarga barunya tersebut dengan mengontrak rumah yang lebih besar lagi.

Perjuangan dan doa tidak pernah lepas dari pria asal Nganjuk ini. Tepat pada tahun 2013 ia membeli tanah yang saat ini menjadi kediamannya sekaligus menjadi tempat para santri yang tidak pernah lebih dari 20 santri tersebut.

Meskipun sudah memiliki rumah tetap dan tidak lagi berpindah-pindah kontrakan setiap tahun. Pak Zen memposisikan rumahnya bukan sebagai pesantren, melainkan rumah yang kegiatannya ala pesantren. Untuk membentuk rumah ala pesantren, setiap habis Subuh dan Maghrib, para santri istiqomah membaca Surat Waqiah. Yang mana, surat ini sudah menjadi rutinan ketika Pak Zen masih muda.

“Surat Waqiah adalah amaliah saya, kebetulan sebelum berdirinya Pesantren Waqiah Indonesia, amaliyah saya ya ini. Jadi nama pesantren ini diambil dari amaliah saya dan santri setiap harinya,” ucap Pak Zen

Para santri juga tidak dibebani iuran layaknya pondok pesantren lainnya. Juga tidak ada ngaji dengan kitab-kitab kuning yang tebal. Para santri ini hanya wajib mengikuti aturan serta rutinan pembacaan surat Waqiah setiap selesai sholat wajib.

Untuk kebutuhan makan, para santri yang dominan laki-laki ini memasak ala kadarnya. Mereka belajar sendiri tentang cara memasak, mulai masak nasi, sayur mayur, hingga lauk pauk dan sambal. Meskipun hanya masakan ala kadarnya dengan bahan sederhana, para santri sangat menikmati. Kebersamaan inilah yang diciptakan oleh Pak Zen terhadap para santrinya.

Kebiasaan memasak dilakukan setiap pagi sebelum para santri berangkat kuliah. Begitu juga pada sore hari setelah para santri dari rutinitasnya mereka memasak kembali untuk dimakan bersama selepas sholat magrib.

Kebiasaan seperti ini setiap hari terus dilakukan dengan tujuan agar para santri bisa bekerjasama dalam hal apapun. Dengan saling membantu, rasa kepedulian terhadap pesantren maupun sesama santri akan muncul.

“Santri mahasiswa itu berbeda dengan santri yang masih pelajar. Cara membina juga beda. Kebanyakan, masalah mereka dimluar dari mata kuliah, jadi harus mempunyai solusi setiap masalahnya dan terus bersabar,” ungkap Pak Zen. (hud/lim/bersambung)

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img