Masalah melupakan dan dilupakan ternyata tidak hanya muncul di dunia percintaan. Di dunia hukum, perkara ‘dilupakan’ juga dibahas, bahkan seringkali menjadi perdebatan di berbagai belahan dunia. Terutama di era digital yang memungkinkan informasi dapat tersebar luas dengan cepat seperti sekarang. Apapun yang sudah terunggah di dunia maya, sepertinya akan selamanya ada di sana. Sayangnya, di sinilah masalah mulai bermunculan.
Seperti kasus yang dialami seorang warga negara Spanyol bernama Mario Costeja. Ia merasa dirugikan karena saat namanya diketik di mesin pencari Google, selalu ada berita yang menayangkan dirinya menjual aset karena terlilit utang. Padahal kejadian itu sudah berlalu satu dekade lalu dan sudah tidak relevan lagi dengan kondisinya sekarang.
Costeja akhirnya melayangkan permohonan ke badan perlindungan data pribadi Spanyol yang berisikan dua hal. Yakni meminta media bersangkutan untuk menghapus berita buruknya dan meminta Google Spanyol untuk menghapus tautan terkait dengan berita tersebut.
Namun, Badan perlindungan data pribadi Spanyol hanya mengabulkan permohonannya yang kedua. Putusan serupa juga diberikan oleh European Court of Justice (ECJ, Pengadilan Eropa) dengan menginstruksikan Google untuk menghapus tautan berita terkait.
Melihat kasus di atas, maka hak untuk dilupakan sepertinya memang penting untuk dibahas dan dipahami. Konsep ‘dilupakan’ ini biasa dikenal dengan Right to be Forgotten (RtbF). Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah hal ini juga sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan? Untungnya hal ini sudah tertera dalam Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tepatnya pada pasal 26 ayat 3 dan 4.
Secara garis besar, di dalamnya menyatakan bahwa seseorang bisa mengajukan permohonan penghapusan kepada penyelenggara sistem elektronik atas informasi tak relevan berdasarkan keputusan pengadilan. Jadi, pada dasarnya sudah ada aturan yang membahas terkait RtbF. Namun tentu saja masih perlu peraturan pemerintah yang menyebutkan secara jelas mekanisme pengajuan tersebut.
Serupa Tapi Tak Sama
Jika dibaca sekilas, peraturan yang diterapkan di Eropa dan Indonesia tampak sama. Padahal, ada perbedaan substansial yang memberikan efek berbeda pula. Yakni pada cakupan dan jangkauan peraturan RtbF.
Cakupan aturan di Eropa cukup khusus, yakni pada penghapusan informasi yang berada di search engine seperti Google saja. Hal itu bisa dilihat dari kasus Costeja yang sudah penulis ceritakan sebelumnya. Di mana ECJ hanya mengiyakan permintaan Costeja yang berkaitan dengan penghapusan informasi di mesin pencari, namun tidak dengan penghapusan di kanal berita.
Sementara itu, jangkauan aturan RtbF di Indonesia lebih luas. Hal itu tak lepas dari adanya sebutan ‘penyelenggara sistem elektronik.’ Dalam UU ITE, sebutan ini sebenarnya sudah dijelaskan pada pasal 1 ayat 6. Yakni setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik untuk keperluan dirinya dan/ atau keperluan pihak lain.
Ketentuan ini tentu berefek luas, tak terkecuali bagi praktik kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan berekspresi. Memang, di dalam pedoman pemberitaan media siber mengatur tentang kewajiban media untuk menghapus atau meralat berita yang tidak berimbang dan bahkan mengancam keselamatan atau masa depan seseorang.
Namun, penulis merasa pengaturan RtbF dengan cakupan terlalu luas ini seakan mempersempit ruang gerak media. Sedikit-sedikit dihapus, sedikit-sedikit diralat. Misalnya saja pemberitaan terkait pejabat yang melakukan korupsi di masa lalu dan ingin menghapus berita itu agar membersihkan nama baiknya untuk maju di pemilu.
Jika pihak media sudah menuliskannya dengan adil, berimbang, dan berdasarkan fakta, maka permintaan untuk menghapus berita di media tidak sepatutnya dilakukan. Dengan begitu, masyarakat juga bisa melihat rekam jejak pejabat secara komprehensif. Lagi pula, salah satu fungsi pers adalah sebagai pengawas penyelenggaraan kekuasaan, bukan?
Maka, penulis juga merasa, hal ini pula yang menjadi alasan mengapa pengadilan Eropa hanya mengabulkan permintaan untuk menghapus tautan di Google dan memberikan pengecualian penghapusan berita pada media jurnalistik.
Memang harus ada batasan dan kriteria yang memungkinkan sebuah informasi dihapus di jagat maya. Sayangnya, hal ini tidak diberikan oleh aturan UU di Indonesia, sehingga memberikan peluang para oknum untuk membersihkan namanya dari informasi kejahatan atau hal buruk yang sudah dilakukannya di masa lalu.
Hukum Harus Jelas dan Lugas
Kemajuan teknologi tentu menyebabkan banyak hal berubah dengan cepat dan melahirkan hal baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Begitu pun juga di dunia hukum, selalu ada kajian baru yang memerlukan solusi tepat. Termasuk mengenai RtbF yang semakin ke sini semakin mungkin peran penting di era digital.
Instrumen hukum yang mengatur memang sudah ada, namun perlu ada aturan khusus yang membahas lebih detail. Informasi atau berita seperti apa yang bisa dan mungkin untuk dihapus, siapa saja yang dituntut untuk menghapus, dan bagaimana mekanismenya. Apakah melalui pengadilan, atau hanya melayangkan pemberitahuan, dan lainnya.
Begitu pun dengan penyebutan ‘informasi tidak relevan.’ Harus ada kriteria-kriteria yang disusun agar tidak muncul keragu-raguan dan multitafsir. Lebih penting lagi agar tidak ada oknum yang mencari kesempatan di tengah ketidakjelasan atau kelugasan bahasa hukum.
Bukankah bahasa hukum harus jelas dan lugas agar kepastian hukum benar-benar ditegakkan. Lebih-lebih juga bisa mempengaruhi pada aspek pemahaman yang adil dan penerapan hukum yang efektif.(*)