spot_img
Saturday, July 6, 2024
spot_img

Halal Bihalal

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Oleh : Prof. Dr. H. Maskuri Bakri, M,Si

MALANG POSCO MEDIA – Pada pertengahan bulan Ramadan (1948 M), Bung Karno memanggil KH. Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat kala itu.

Kemudian Kiai Wahab Chasbullah memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahim. Sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahim. Lalu Bung Karno menjawab; “Silaturahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain.”

“Itu gampang,” kata Kiai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan, dan itu perbuatan dosa, dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas Kiai Wahab Chasbullah.

Dari saran Kiai Wahab itulah kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi nama halal bihalal. Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Sejak saat itulah istilah halal bihalal gagasan Kiai Wahab lekat dengan tradisi umat Islam Indonesia pasca-ramadan hingga kini.  Begitu mendalam perhatian seorang Kiai Wahab Chasbullah untuk menyatukan seluruh komponen bangsa yang saat itu sedang dalam konflik politik yang berpotensi memecah belah persatuan. Hingga secara filosofis, Kiai Wahab sampai memikirkan istilah yang tepat untuk menggantikan istilah silaturahim yang menurut Bung Karno terdengar biasa.

Kini, halal bihalal yang dipraktikkan oleh umat Islam Indonesia lebih dari sekadar memaknai silaturahim. Tujuan utama Kiai Wahab untuk menyatukan para tokoh bangsa yang sedang berkonflik menuntut pula para individu yang mempunyai salah dan dosa untuk meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti dengan hati dan dada yang lapang.

Begitu pun dengan orang yang dimintai maaf agar secara lapang dada pula memberikan maaf sehingga maaf-memaafkan mewujudkan Idul Fitri itu sendiri, yaitu kembali pada jiwa yang suci tanpa noda bekas luka di hati.

Dengan demikian, bukan memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka di hati dan jika masih ada dendam yang membara dalam hatinya.

Boleh jadi ketika itu apa yang dilakukannya baru sampai pada tahap menahan amarah. Artinya, jika manusia mampu berusaha menghilangkan segala noda atau bekas luka di hatinya, maka dia baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya.

Karena itu, syariat Islam mengajarkan bahwa seseorang yang memohon maaf atas kesalahannya kepada orang lain agar terlebih dahulu harus menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya. Kalau berupa materi, maka materinya dikembalikan. Kalau bukan materi, maka kesalahan yang dilakukan itu dijelaskan kepada yang dimohonkan maafnya.

Cinta Suci

Imam besar Masjid Istiqlal Jakarta Prof. Nazaruddin Umar mengatakan, inti halal bihalal ialah silaturahim. Silah, yang berarti sambung. Ibaratkan sebuah listrik, jika negatif dan positifnya putus, maka listrik tersebut akan padam. Lampu, internet, dan lainnya juga turut mati.  

Jika kita sambung, maka sudah barang tentu semuanya akan hidup. Jadi, dua istilah halal dengan yang pertama ialah “silah” yang bermakna selalu positif. Lalu kedua, “Rahim.” Ada sebuah hadits Nabi menjelaskan, jika Alqur’an 30 juz dipadatkan, maka pemadatannya ialah Surah al-Fatihah, dan jika Surah al-Fatihah dipadatkan lagi, pemadatannya ialah “Bismillahirrahmanirrahim” pada Surah Fatihah tersebut.

Kemudian jika dipadatkan lagi, maka intinya terletak pada dua kata yang disebut ummu sifat, ummul asma, di mana terdapat  99  nama Allah. Yang menjadi induknya, ialah Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

Dua kata tersebut, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, berasal dari bahasa Arab, akar kata sama; yaitu rahima, yang berarti cinta. Jika Alqur’an dipadatkan menjadi satu kata, maka kata itu adalah cinta atau kasih. Jadi sangat tidak beralasan jika ada yang melakukan gerakan atas nama Islam, jika menggerakkan kebencian. Itu sangat bertolak belakang dengan substansi Alquran itu sendiri, karena Alquran adalah cinta. Dengan demikian, silaturahim ialah menjalin cinta yang sangat suci.

Hal inilah, menurutnya yang harus dilakukan agar bisa menjadi simbol kebersamaan. Kita ingin sekali agar di seluruh Indonesia dengan halal bihalal menjadi satu memperekat suluruh unsur untuk bangsa Indonesia yang majemuk. Simbol pemersatu seperti halal bihalal tersebut, menurutnya sangat penting. Jangan hanya dianggap milik umat Islam saja, sekalipun namanya bahasa Arab, namun halal bihalal ini merupakan karya anak bangsa. Dan, sudah sejak awal untuk menghimpun umat beragama, untuk etnik yang berbeda-beda.

Jembatan Penghubung

Pakar Tafsir Alquran Prof. Muhammad Quraish Shihab memaknai halal bihalal sebagai jembatan penghubung silaturahim yang tidak ada kaitannya dengan persoalan hukum Islam. Karena halal pada tinjauan hukum Islam adalah lawan dari haram yang mengarah kepada timbulnya perbuatan dosa.

Meski begitu kata halal apabila ditinjau dari segi hukum, menurutnya, terbagi ke dalam empat aspek, yaitu, wajib, sunah, makruh, dan mubah. Namun tinjauan hukum ini secara hakikat belum menyentuh tujuan halal bihalal yang bertujuan mengharmoniskan hubungan. Karena dalam bagian halal terdapat satu hukum yang tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan, seperti memutuskan hubungan. 

Padahal tujuan dari halal bihalal ini adalah mempererat hubungan. Untuk memahami kata halal dapat lewat beberapa varian makna, antara lain menghangatkan yang dingin, mengurai yang kusut, melepaskan ikatan, mencairkan yang beku, dan membebaskan sesuatu.

Kita ingin halal bihalal ini dalam pengertian-pengertian tersebut. Apa landasan dari dianjurkannya halal bi halal? Sebab bila diibaratkan sekarang ini, bahwa dunia sudah menjadi desa kecil sehingga memampukan untuk semua orang berakrab sapa meskipun terpisah jarak bahkan waktu.

Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya mengistilahkan bahwa seluruh penduduk dunia berada dalam satu bahtera yang sama dengan makna lain adalah kian mengecilnya bumi. Sehingga penting menjaga keseimbangan bumi merupakan sebuah kewajiban setiap penduduknya.

Konteks pengertian hidup dalam “perahu” semakin nyata dengan hadirnya wabah Covid 19. Karena itu, perlu merekatkan persaudaraan untuk kemakmuran bumi ini. Perintah memakmurkan bumi banyak tertuang dalam ayat Alquran yang bukan hanya ditujukan kepada umat Muslim saja, melainkan kepada seluruh manusia yang menempati bumi.

Dengan demikian, melalui halal bihalal diharapkan dapat mengantarkan pelakunya untuk menyelesaikan masalah dengan saudaranya, meluruskan hubungan yang kusut, melepaskan ikatan dosa dari saudaranya dengan jalan memaafkan, mencairkan hubungan yang beku sehingga menjadi harmonis, dan seterusnya.

Kesemuanya ini merupakan tujuan diselenggarakannya halal bihalal.  Dan supaya bisa bekerja sama dengan baik, maka harus menghilangkan rasa ketidaknyamanan.(*)

spot_img

Berita Lainnya

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img